"Soalnya di sekolah prosentase mainnya mesti jauh lebih banyak daripada belajar. Sedangkan nanti kalau mau masuk SD, anak-anak dites baca-tulis-hitung. Jadi mau-tidak-mau cara kami melatihnya dengan begitu (memberi PR)," kata Kepala Sekolahnya Peang.
Bobrok betul semua. Andai waktu itu Peang tidak minta sekolah, barangkali sampai sekarang tidak saya sekolahkan. Dan sekarang, suka-tidak-suka Peang sudah masuk ke dalam sistim tersebut. Apeu.
Yha, PR. Karena PR akhirnya saya bisa kenalkan Peang perihal konsekuensi: kalau terus-terusan main tablet dan tidak mengerjakan PR bisa dimarahi guru (meski belum pernah sekalipun saya lihat gurunya di sekolah marah, sebandel apapun muridnya). Hasilnya: Peang yang mengatur waktunya sendiri. Ia membagi waktu untuk main dengan teman jam berapa, main tablet jam berapa dan mengerjakan PR jam berapa. Semua teratur dan semua Peang yang mengatur. Tugas saya: mengawasi.
Pola tersebut berjalan dengan sendirinya sampai sekarang Peang kelas 2 SD. Bahkan sebelum kenaikan kelas 2 ini, saya pernah bertaruh sama Peang: kalau peringkat di kelas meningkat, akan saya berikan tablet yang baru. Seperti yang sudah pernah ceritakan: saya kalah!
***
Barangkali saya keliru telah mengenalkan hal-hal seperti gadget atawa perangkat lainnya sejak Peang kecil. Anggaplah demikian. Tapi saya percaya: ada yang jauh lebih berbahaya dari itu, membiarkannya main tanpa diawasi. Saya sadar, semakin besar tanggungjawab yang Peang dapat, maka akan berbanding lurus dengan tingkat mengawasinya.
Sebagai kakak, semoga yang saya lakukan benar, tugas utamanya mengawasi bukan membatasi. Malah banyak hal-hal yang tidak Peang dapat dari saya atau sekolah, justru ia pelajari sendiri dan pahami dari bermain gim.
Terpaksa saya belikan gadget baru. Tablet lamanya rusak. Kalaupun diperbaiki tidak sebanding dengan performanya. Dengan alasan seperti itulah akhirnya saya berani memasangkan aplikasi komunikasi pada gadget Peang. Sebelumnya ia sudah bisa menggunakan, tanpa pernah menjalankan (atau mengoperasikannya).
Saya tidak ingin Peang mesti menunggu saya pulang atau di rumah untuk mengabari hal-hal (yang sekiranya) penting. Tentu saya tidak ingin kejadian serupa berulang. Dan yang menyenangkan: saya bisa bertanya pada Peang apa di rumah Gomah masak atau tidak? Kalau tidak, saya bisa beli makan di luar dan sampai rumah tidak kelaparan.
when peang tak tanya barusan: pic.twitter.com/HVZOoxanew— Kangmas Harry (@_HarRam) March 1, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H