Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mereka Sudah Mati dan Menunggu Kuburannya Digali

19 Maret 2017   21:27 Diperbarui: 19 Maret 2017   21:54 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya yang tadinya sedang menulis di meja kerja tiba-tiba menoleh ke sumber suara itu. Arra sudah bangkit dan duduk di bibir tempat tidur. Tidak. Saya tidak langsung menimpali ucapannya, karena saya tahu kalimat itu belum tuntas. Saya tunggu dan Arra malah diam. Saya menghampirinya. Duduk di sebelahnya. Memandang wajahnya yang cantik dari samping. Arra merebahkan kepalanya di pundak saya. Saya cium rambutnya. Dua kali. Saya selalu melakukan itu padanya dan ia suka. Arra mengangkat kepalanya. "Ewok pun melakukan hal yang sama pada Imas."

Oh. Ayolah. Ewok dan Imas lagi?

***

Pagi dengan hujan yang mengamuk. Ewok tahu, hari itu Imas akan pergi. Namun, menerobos hujan adalah tindakan bodoh, apapun alasannya. Cinta dan pengorbanan, cuma menjadi sebuah guyon yang Ewok dan Imas sering tertawakan bersama, dulu.

Semesta seperti menghalangi Ewok menemui Imas walau itu untuk yang terakhir kali. Imas akan pergi, melanjutkan sekolah dalam waktu yang tidak tentu. Sebab katanya, ingin sekolah sampai bosan. Dan itulah masalahannya: Ewok paham betul Imas itu tidak tahu bagaimana caranya agar supaya bosan. Bosan samacam kata asing untuk Imas. Barangkali bisa ia temukan di kamus hidupnya, tapi tidak pernah ia gunakan.

Ewok juga tahu, bahwa sekolah adalah sebuah pintu pertama --mungkin utama-- supaya Imas akan meninggalkannya, selamanya. Biar bagaimanapun hubungan mereka tidak direstui. Biar bagaimanapun Ewok hanyalah musisi yang tidak juntrung masa depannya. Biar bagaimanapun orangtua mana yang ingin melepas anak satu-satunya itu hidup tidak karuan kelak.

Hujan semakin deras. Tidak ada sedikitpun tanda bahwa ada niatan baik untuk sedikit mereda. Tidak perlu behenti, pinta Ewok dalam pikirannya.

Lambat-laun, entah dorongan darimana, tiba-tiba Ewok memberanikan diri untuk menerabas hujan. Dalam berita yang Ewok dengar sudah terjadi banjir di beberapa titik. Baru satu langkah dari rumah kontrakannya, suara petir bergantian menggelegar.

Tuhan, jika dengan menulis puisi adalah cara untuk merayakan sepi, apa dengan hujan-hujanan adalah cara terbaik merayakan kesedihan? Itu Ewok teriakan dalam hati. Berkali-kali. Dengan kekesalan yang sudah mendekati perlawanan atas tindak Tuhan.

"Jawab, Tuhaaaaaaan?" akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutnya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun