Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Hal-hal yang Pantas Dirindu di Panggung Open Mic

3 Februari 2017   02:28 Diperbarui: 3 Februari 2017   10:16 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: @StandUpIndo_BGR

Apa yang cepat terlintas dalam pikirkanmu ketika: pertama kali datang ke satu tempat makan seperti pecel ayam, misalnya, yang sudah jadi incaranmu sejak lama, lalu pada satu malam saat lebaran perutmu sudah tak sanggup menerima ketupat dan sejenis pertemanannya itu, dan kamu putuskan keluar rumah untuk mencari makanan lain, namun yang kamu dapatkan  seperti berada dalam sajak Sitor Situmorang Malam Lebaran –kecuali pecel ayam incaranmu– kemudian kamu pura-pura malu masuk tempat pecel ayam itu, memesannya, dan kamu hanya disuguhkan sepotong ayam bagian dada yang garingnya amat kriuk itu, hambar tanpa rasa dan tidak sesuai khayalanmu tentang pecel ayam-yang-amat-enak-itu?

Bagaimana?

Maksudnya, bagaimana baca satu paragraf tanpa titik?

Tapi serius. Jika itu terjadi pada saya, maka saya akan mengumpat: “kalau sekedar garing, mending datang ke open mic. Di sana saya bisa dapat hal serupa, bahkan dengan porsi yang jauh lebih banyak.”

Tak ada yang lebih garing dari panggung open mic. Sungguh. Coba saja tanya Komika yang hampir setiap bulan mencoba open mic barang dua atau tiga kali. Atau penonton open mic yang hanya datang demi melihat Komika idolanya menguji materi. Pasti yang kamu dapat akan sama, seperti saat kamu makan di tempat pecel ayam tadi.

Namun, dari semua itu pula, panggung open mic memang pantas dirindukan.

Kamu tidak akan bisa melihat seorang komika tiba-tiba lupa materi saat sedang seriusnya memaparkan set-up. Reaksinya yang tak terkontrol, bahkan ada yang malah tertawa sendiri melempar jokes-nya seperti Dzawin, atau melongok kanan-kiri dengan mulut nganga mencari petunjuk seperti Bakriyadi.

Hanya di panggung open mic kamu bisa temukan suasana hening ketika tiga sampai empat komika, secara berurutan nge-boom. Penonton yang semula memperhatikan Komika malah alih perhatian ke makanan yang ada di mejanya. Kadang makanan sisanya diambil gambarnya untuk dipamerkan di akun sosial media, kadang ada juga yang masih menyedot minumannya yang telah habis sampai menimbulkan bunyi gaduh sendiri.

Entah seberapa sering kamu melihat Komika yang selesai open mic dimintai foto bareng, tapi selang berapa lama, yang meminta foto itu malah tidak kenal oleh Komika barusan. Biasanya dalam kasus seperti ini Komika tersebut sangat lucu daripada Komika lainnya, atau Komika tersebut paling ganteng (maksudnya fotogenic).

Open mic memang sering menuntut rindu. Jumlah penontonnya yang tak bisa diperhitungkan di tiap minggunya, Komika mana yang sedang bagus, antrian Komika yang daftar untuk menguji materi di meja admin, dll., dst., dsb.

Barangkali kesalnya menonton open mic adalah puncaknya. Bayangkan saja, ketika kamu sudah mengajak teman atau lawan PDKT-an untuk menonton open mic ternyata yang diajak malah memasang muka bete. Tapi ketika mengantarnya pulanglah saat yang ditunggu: giliran kamu yang menghiburnya sampai temanmu itu ceria seperti biasa. Ini bisa dijadikan siasat caper paling maksimal dengan mengkambing hitamkan open mic demi mendapat hati pujaan juga pujian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun