Sejak kecil, saya selalu percaya satu hal: siapa berani bermimpi, siap tersesat di kemudian hari. Kalimat itu pernah Gopah ceritakan pada saya saat selepas ibadah maghrib berjamaah di rumah. Sebelum saya membuka tas sekolah dan mengeluarkan buku yang di dalamnya ada pekerjaan rumah, Gopah rutin membacakan cerita-cerita islami. Namun, saya lupa kalimat itu hadir pada cerita apa.
Saya bahkan tidak pernah ingat bagaimana Gopah meminta saya "untuk jadi apa" di kemudian hari. Atau mungkin tidak pernah? Entah. Ingatan tak pernah solid dan stabil; ingatan dengan mudah melayang tertiup, kata Goenawan Mohammad pada Catatan Pinggir: "Origami".
Gopah bukan tipe Ayah yang pandai bercerita. Apalagi cerita-cerita yang mengguhan inspirasi dan sarat akan motivasi. Gopah lebih sering menceritakan hal-hal yang lucu. Sebenarnya tidak lucu-lucu amat, namun cara Gopah menekankan bagian lucunya dengan mengulang-ulang --sampai saya sadar kalau ceritanya lucu.
Old jokes, candaan lawas jika saya boleh meminjam istilah itu.
Berkat jasa Gopah, saya kira, semua menjadi serba lucu di mata saya. Paling tidak menggelitik isi kepala saya.
Saya sering tertawa melihat orang yang tertidur di kereta dengan kepala yang mengganggu penumpang setelahnya. Ketika seperti itu, saya membayangkan Gopah sedang menceritakan adegan itu.
Atau, ketika buang air di toilet-tempel-tembok. Saya sering menahan tawa saat seseorang buang air kecil sambil melihat kemaluannya sendiri. Apa yang saya bayangkan pasti sama seperti yang kalian bayangkan.Â
Kembali soal mimpi tadi. Kadang saya iri, tentu setiap orang bisa "iri" karena semua baru setara hanya di hadapan Tuhan --bukan di hadapan ciptaan-Nya-- pada teman saya yang sudah menyiapkan masa depannya jauh-jauh hari. Seperti teman SD saya, Yudhistira, yang ingin menjadi musisi di kemudian hari. Maka sejak kecil, ia sudah main banyak alat musik. Khususnya gitar dan piano --atau keyboard? entahlah apa bedanya.
Setiap saya main ke rumah Yudhis (panggilannya Yudhistira di sekolah) pasti selepas ia berganti seragam langsung mengambil gitar. Genjreng lagu ini-itu yang saya tidak tahu. Kadang ia mengajarkan saya main gitar, tapi saya selalu pura-pura sedang baca komik. Oia, salah satu yang membuat saya suka main ke rumah Yudhis adalah koleksi bukunya. Buku yang tidak pernah bosan saya pinjam: serial cerita bergambar para Penemu, Ilmuwan dll.
Lama saya tidak bertemu Yudhis. Sampai sekarang malahan. Namun, dari beberapa cerita yang saya dapat, kini ia jadi pengisi band sebuah kafe di Jakarta. Saya tidak tahu tempatnya.
Aldo, juga. Ia adalah teman saya saat kelas 3 SMP. Kelihaiannya mengolah bola sudah terdengar saat saya kelas 1. Bahkan, dulu Aldo digadang-gadang sebagai penerus Hidotoshi Nakata asal Indonesia. Bisa satu kelas bersamanya ketika kelas 3 adalah kesenangan tersendiri.