Siang tadi (20/7/2016), sekitar pukul 14.00 WIB, telah dibacakan hasil putusan sidang International People's Tribunal 1965 (IPT 65) yang berlangsung 10-13 November 2015 di Den Haag, Belanda. Ya, butuh waktu 8 bulan pasca persidangan untuk Zak Yacoob, selaku Ketua Majelis Hakim menelurkan 9+1 tindak kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang terjadi pada Indonesia tahun 1965 dan setelahnya.
International People's Tribunal 1965 adalah sidang Mahkamah Rakyat Internasional yang berkonstrasi untuk  memeriksa juga mengadili orang-orang yang terlibat, maupun bertanggung jawab atas peristiwa 1965.
Hasil putusan sidang IPT 65 ini amat penting, setidaknya untuk mengingatkan bahwa pelanggaran HAM yang terjadi tahun 1965 belum diselesaikan. Hak-hak para korban, trauma yang sampai sekarang belum juga tersembuhkan, hingga pengakuan atas tindak kejahatan itu mesti diperjelas.
Saya sepakat pada apa yang JJ. Rizal, seorang sejarawan, kicaukan di twitter: "Bangsa besar bukan hanya terus menghormati jasa pahlawan, tapi berani hadapi dan terangi sejarahnya. Karena dengan itu tidak ingin terus gelap-gelapan."
Menghormati pahlawan beserta jasa-jasanya, yes. Namun, membiarkan sejarah tanpa pernah dikaji ulang, itu sama saja menerima tanpa pernah kita tahu asal-usul dan gunanya. Buat saya itu berbahaya.
Tentu ada yang mengecewakan saat jalannya sidang IPT 65 pada November 2015: kursi yang disiapkan untuk Pemetintah Indonesia selalu kosong. Padahal, yang menjadi terdakwa adalah Negara Indonesia.
Dari keseluruhan temuan yang Majelis Hakim dapat, akhirnya merekomendasikan kepada Pemerintah Indonesia supaya segera dan tanpa pengecualian:
*) Minta maaf pada semua korban, penyintas dan keluarga mereka atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh negara  dan tindakan kejahatan lainnya yang dilakukan negara dalam kaitanya dengan peristiwa 1965.
*) Menyelidiki dan menuntut semua pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.
*) Memastikan akan adanya kompensasi yang setimpal dan upaya ganti rugi bagi semua korban dan penyintas.