Kali pertama menginjakkan kaki di Jogja, dalam bayangan saya: seperti ini tanah mimpi rupanya. Pada saat itu juga, saya langsung tidak mebayangkan sedang di Jogja. Saya pun masih ingin memperjuangkan atau jika ingin berlebihan: mempertahankan mimpi saya.Â
Baru saya tahu ketika di taksi melihat sebuah gapura bertuliskan motto kota itu "Berhati Nyaman". Betapa konkret, jelas dan barangkali juga mudah untuk diterapkan. Berbeda dengan motto tempat saya tinggal: Tegar Beriman. Sampai sekarang saya tidak tahu maksudnya apa.Â
Berhati Nyaman. Ya, paling tidak dari motto itu saya tahu, siapa pun pendatang ke kota tersebut akan merasa nyaman, seperti halnya sedang di rumah sendiri. Bila menjadi tamu, dijamu. Bila sekadar datang, disambut dengan senang. Benar juga, bila hati sudah nyaman, apapun serasa tenteram.
Rasa-rasanya saya tidak salah memiliki mimpi. Mengharapkannya terwujud di kemudian hari.
Jadi, mana mungkin ada pendatang, siapa dan untuk melakukan adapun itu, akan diusir atau diberlakukan tidak sebagai mana mestinya. Wong kota itu kota yang berhati nyaman. Harapan saya, bukan seperti apa yang Aan Mansyur tulis pada puisinya yang berjudul "Pulang ke Dapur Ibu": aku hidup di antara orang-orang yang memilih melakukan usaha lebih keras untuk menyakiti orang lain dari pada menolong diri sendiri.
Semoga saja Jogja masih baik-baik saja; semoga Jogja setia menunggu saya.
Perpustakaan Teras Baca, 19 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H