Buat saya, Jogja tetaplah tujuan. Semacam mimpi yang mesti didapat dari sebuah pencapaian. Kelak saya ingin ke sana bersama istri saya. Semoga saja Jogja masih baik-baik saja; semoga Jogja setia menunggu saya.
Entahlah, tapi itu terjadi begitu saja. Barangkali cita-cita semasa kecil, namun lambat laun, cita-cita itu menjadi mimpi. Saya sendiri tidak bisa membedakan keduanya. Yang jelas, sampai sekarang masih dan sedang saya perjuangkan.
Saya sendiri bingung, bagaimana sedari kecil sudah berpikir demikian: mendatangi Jogja bersama istri. Barangkali dari tontonan, atau bacaan, atau mungkin sebatas angan-angan belaka.
Namun, seingat saya, yang pertama kali membuat saya terpesona adalah gambar-gambar candi, pantai dan panorama pegunungan di Jogja. Itu pun dari Atlas atau RPUL. Selebihnya, para penduduk pribumi Jogja.
Sudah dari kecil saya membayangkan datang ke sana, berdua saja dengan istri saya, berkeliling seharian lalu istirahat di sekitar pantai. Melamun berdua ketika senja tiba dan melepas lelah setelahnya. Masa kecil saya rusak sekali. Tapi begitulah adanya. Semakin sering saya membayangkan itu, semakin yakin saya pada mimpi itu.
Pernah ketika SMP kelas dua ada study tour ke Jogja. Hal yang selalu guru lakukan, barangkali sampai sekarang, cara mewajibkan sebuah program pada muridnya adalah tidak mendapat nilai. Take it or leave it. Untunglah sejak kecil saya tidak terlalu silau pada nilai, jadi saya tidak peduli. Silakan beri nilai jelek, toh itu memang hak guru. Namun, yang membuat kepikiran malah: perempuan yang saya suka --sebelum lulus akhirnya saya tahu, ternyata dia pun suka kepada saya-- dari pertama kali bertemu di hari pertama sekolah, kelas 1, ikut ke Jogja.
Kami tidak berjodoh. Sepulangnya dari Jogja, perempuan yang saya suka sudah pacaran dengan teman saya.
Bandung memang romantis, tapi Jogja selalu bisa tinggalkan kenangan manis.
Ya. Larik di atas itu saya dapati di toilet umum kantin kampus. Tepat di bawah itu, ada nomor telepon lengkap dengan caption yang seronok: Kalau mau di****** buruan sms.
Larik itu sering saya ucapkan ketika sedang senang. Lebih sering saya ucapakan ketika sedang suka dengan seseorang. Semacam mantra, mungkin. Saya ingin ke sana, suatu hari nanti dengan istri saya.
Satu waktu, pada akhirnya saya ke Jogja. Tidak dengan istri saya. Tapi untuk urusan tertentu, yang tidak mungkin bisa saya tolak dan elak.