Orang itu langsung menceritakan kedatangan pertama saya dulu. Katanya, dulu saya suka sekali ke sungai, mandi, sampai susah diajak pulang. Saya tidak bisa berkata apa-apa, mengelak apalagi. Sebab saya tak ingat sama sekali. Saya tanya saja apa sungai itu masih ada? Ada, jawabnya.
"Hayang diantarkeun?" tawar orang itu. Saya tolak dengan baik saja. Takut merepotkan. Cukup tunjukkan saja jalannya. Ia menunjukkan arahnya, saya dan Peang ke sana. Berdua.
Jalan menuju sungai tidak terlalu rusak. Sudah dipelur. Sampai anak tangganya juga. Pelan-pelan kami menuruni itu. Takut tergelincir walau jalanannya kering. Setibanya di ujung jalan, baru saya tahu kalau ini adalah proyek PNPM. Ada nama dan tanggal pembuatannya.
Peang tak sabar ingin segera mandi. Main air. Ia sudah di air. Saya hanya duduk-duduk di batu. Melamun. Harum sekali sungai itu. Lebih harum dari tanah yang baru dipeluk hujan. Saya menduga: rasa-rasanya penyair akan mudah merampungkan puisinya di sini.
Saya masih melamun dan Peang melempari saya batu ke air. Cipratan airnya membuatnya tertawa. Saya tidak peduli. Saya masih ingin melamun. Entah apa yang saya lamunkan, seperti ada yang menjumpai saya di sana, tapi tak tahu apa. Suara air yang mengalir lalu menumburkkan dirinya ke batu. Semacam orkestra yang tak dipimpin dirigen.
Tak lama, Peang haus. Saya juga. Ternyata melamun pun butuh tenaga. Saya keluarkan air mineral untuk Peang dan Redler untuk saya. Kami minum-minum di sungai. Saya keluarkan rokok, Peang minta permen lollipop. Nikmat betul.
Saya kembali melamun. Membayangkan apa yang saya lakukan dulu di sungai ini. Mungkin mandi; mungkin hanya cuci muka dan kaki; mungkin sekadar gosok gigi; mungkin mengintip orang mandi. Mungkin saya lakukan semua dalam satu kedatangan. Bisa saja.
Saya turun ke air. Membasuh muka. Airnya dingin dan jernih. Seketika saya seperti dilahirkan kembali. Kemudian saya sadar dua hal: pertama, bahagia memang sederhana; kedua, ternyata semakin mudah membuat dosa, semakin mudah juga menghapusnya --saya kira begitu.
Airnya sedikit deras. Apalagi dengan banyak batu-batuan besar. Hampir saya khanyut karena terpeleset. Kembali saya naik ke batu. Duduk-duduk.
Peang masih melempar-lempar batu. Ke mana saja, sambil tertawa. Saya jadi ingat permainan semasa kecil: batu berjalan. Entah apa namanya, baru ini saja saya namakan.
Permainannya sederhana, cukup melemparkan batu ke permukaan sungai secara horizontal dan batu itu akan seperti berjalan di atas air minimal tiga langkah. Biarpun sederhana ini bukan perkara mudah. Batu yang digunakan mesti pipih, tipis. Melemparnya juga selayaknya seorang ninja melempar senjata. Dulu saya bisa, namun ketika saya ingin praktikkan depan Peang, saya gagal. Dia menertawai saya sambil berkata, oon.