Saat itu saya membaca cerpen "Tiga Lelaki dan Seekor Anjing yang Berlari". Itu cerita tentang Sungu Lembu, Raden Mandisa dan Loki Tua yang ingin menempuh padang gurun sambil membawa dua ekor anjing pemalas. Selama perjalanan mereka menggendongnya. Di perjalanan itu, seekor anjing kabur. Hanya menyisakan satu, Si Manis. Anjing satunya melarikan diri saat mereka tengah istirahat.
Pada hari keempat, barulah mereka mendapat tempat singgah untuk bermalam. Sebuah gubuk yang hanya dihuni sepasang kakek nenek. Loki tua sebelumnya sudah mengingatkan kepada kakek nenek itu supaya besok pagi dibuatkan sarapan bubur.
Kakek nenek pemilik gubuk menyodorkan mangkuk-mangkuk tanah ke hadapan kami. Bubur. Oh, ternyata ada irisan-irisan dagingnya. Bubur terasa lembut dan hangat di perut. Irisan dagingnya enak sekali. Gurih pedas. Mereka pintar mengolah daging kambing, pikirku. Mereka juga makan. Kami berlima makan dengan lahap dan gembira.
Baru ketiga lelaki itu pamit, Loki Tua sadar kalau anjingnya tidak ada. Loki Tua marah, bahkan ingin membunuh kakek nenek itu. Raden Mandisa mencegah, "jangan, kasihan mereka. Lagi pula Si Manis rasanya enak."
Ada juga cerpen lainnya. "Telur Rebus dan Kulit Kasim". Masih tentang ketiga lelaki itu; Sungu Lembu, Raden Mandisa dan Loki Tua. Kali ini pertemuan dengan Kasim U, seorang lelaki tua yang sudah tidak punya apa-apa, selain mati. Namun bukan itu. Yang membuat alarm di perut saya berbunyi adalah pembuka cerita itu. Seperti ini:
Kami bertiga sedang enak-enaknya makan kari kepala kambing muda. ... Kari berteman nasi maryam ini terlalu lezat untuk tidak dinikmati dengan khidmat. Paduan bunyinya sangat pas; manis, gurih dan pedas yang menghangatkan tubuh. Potongan kuping, lidah dan matanya kenyal, enak digigit-gigit, sementara daging pipinya sedemikian lembut sehingga lumer di mulut.
Masih ada beberapa cerita lagi. Tapi, rasa-rasanya cukup ini saja. Kalian bisa membelinya sendiri jika ingin merasakan hal serupa, seperti apa yang saya dapatkan. Sungguh, cerita-cerita ini membuat kalian tahu: bahwa kuliner bisa dinikmati dari sebuah karya sastra.
Oia, katanya juga, kalau ingatan saya tidak berkhianat, pernah diadakan event fiksi kuliner yang dibukukan. Wah, saya tidak sabar membacanya.
Commuterline Tanah Abang - Bogor, 4 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H