Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Dialog di Toko Kado

10 April 2015   09:06 Diperbarui: 31 Agustus 2015   06:19 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sisy menjual bunga, buku, dan sepatu. Di tokonya ia hanya menjual itu. ‘’Selama orang-orang masih suka memberi kado, entah saat ada yang ulang tahun, mendapat peringkat satu-dua di sekolah, atau yang lain, maka toko ini tidak akan pernah sepi,” kata Sisy, sambil tangannya yang lentik itu melipat kertas kado. “Percayalah!”

O ya, Sisy mengurus tokonya sendirian. Dulu ia memang pernah punya dua karyawan: satu bertugas sebagai kasir dan satunya lagi pramuniaga. Urusan membungkus kado, tetap dilakukan Sisy. Tapi, setelah bekerja hampir setahun, diam-diam karyawannya itu saling jatuh cinta, sampai akhirnya menikah dan lalu keluar dengan sendirinya. Sisy memakluminya, mereka butuh hidup yang layak dan sejahtera ketimbang sebagai pelayan toko.

Saat pernikahan mereka, Sisy memberi kado berupa buku puisi anggitan Khirsna Pabichara: Pohon Duka Tumbuh di Matamu. Kado itu berbungkus kertas hitam dengan lukisan tangan sebuah pohon beringin yang menangis. Diwarnai putih dan abu-abu. “Aku pikir tidak ada yang lebih rimbun dari beringin. Barangkali kepergian kalian ingin buatku mengalami sedih yang menahun. Tapi tak apa, ketika kalian sudah punya momongan aku akan beri potongan harga kalau membeli sepasang sepatu bayi di toko nanti,” katanya ketika itu, sambil ketiganya tertawa.

Entah kenapa, melihat Sisy membungkus kado seperti ada yang berbeda –seakan tidak sama dengan orang-orang pada umumnya. Ia seperti melipat kesedihannya dengan rapih pada kado yang dibungkusnya. Dan lagi, kuku jari Sisy dikuteks hitam. Ah, perempuan memang terlihat seksi ketika bersedih, bukan?

“Ingin diberi kartu ucapan apa?” tanya Sisy.

“Apa saja, tapi tanpa kartu ucapan pun kado ini sudah terlihat istimewa. Apalagi kalau ia tahu yang membungkus kado ini kamu,”

“Tidak! Kado ini mesti ada kartu ucapannya,”

“Ya sudah, isi saja sesukamu. Saya tidak tahu-menahu tentang itu.”

“Dengan potongan larik puisi?”

“Boleh,”

Sisy masuk ke ruangan yang ada di sebalah meja kasir. Dan ia kembali sudah dengan sebuah buku dengan sampul berwarna kuning.

“Silakan pilih-pilih saja puisinya dari buku ini,”

“Ini buku puisi?”

“Ya,”

Saya tertawa. Sisy nampak bingung melihat reaksi saya.

“Apa ada yang lucu?”

“Tidak,”

“Mengapa tertawa?”

“Terakhir melihat rupa puisi, seingat saya, ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Di buku pelajaran Bahasa Indonesia dan soal-soal Ujian Negara.”

Sisy membuka lembar-lembar buku puisi itu, mencari larik puisi mana yang sekiranya pantas buat kado saya ini.

“Seperti yang tadi saya bilang, kado ini sudah amat istimewa. Ditambah larik puisi apa pun nampaknya akan cocok-cocok saja,” kata saya.

Sisy membungkuk. Rambut sebahunya itu menutupi sebagian wajahnya ketika menuliskan larik puisi dari buku yang ia bawa tadi. Setelah selesai menulis itu, Sisy mengecup kertasnya dan meninggalkan ceplakan bibirnya yang di-lipstick merah.

Diberikannya kertas itu. Saya baca dan kertas itu tertulis: Jari-jari mungil pagi menggelitik jantung sepimu, ialah tangan kanak-kanak yang lucu dan menggemaskan, kebahagiaanmu. “Kalau saya boleh tahu…,”

“Tak perlu kamu tanyakan arti puisi itu…,” tiba-tiba Sisy memotong perkataan saya yang belum selesai.

“Bukan. Bukan itu maksudnya,” saya pun memotong perkataan Sisy. “Kalau saya boleh tahu, ini puisi siapa? Apa di sini masih ada buku puisinya? Kalau ada, saya juga mau beli satu,”

“Ya, masih beberapa. Ini buku puisi Agus Noor. Biar nanti saya bungkuskan.”

“Tidak, buku itu tidak perlu dibungkus kado. Akan tampak aneh bila menghadiahi buku puisi tapi ada kartu ucapan puisi juga,”

Toko ini tidaklah semegah toko-toko hadiah yang sering saya jumpai. Toko hadiah milik Sisy tampak minimalis. Bahkan beberapa buku sampai ada yang menumpuk tak beraturan. Di tiap sudut ada saja potongan kertas-kertas kado yang sudah tak terpakai.

“Apa kamu suka bunga?” tanya saya.

“Ya,”

“Selama kamu menjualnya, apa ada yang pernah memberimu bunga?” sambil saya mengambil bangku plastik dekat meja kasir. “Biar saya tebak, pasti belum pernah, kan?”

“Ini,” ujar Sisy, yang memberi kado dan buku yang sudah selesai dibungkus, “semua jadi 690 ribu.

“Maaf kalau saya sedikit lancang. Namun saya hanya kasihan saja pada para pembeli bunga di tokomu ini yang meminta saran dari seorang yang sama sekali belum pernah dihadiahi bunga. Ibarat menanyakan enaknya cokelat pada orang yang tidak pernah merayakan valentine-an.”

“Ngng…,”

Sisy bangkit dari balik meja kasir, berpindah ke hadapan saya dan duduk di meja. Rok sepadan yang sedikit tertarik ke atas itu dan harum tubuhnya, membuat saya tak kuasa menahan diri.

“Mawar ini biasa saja,” kata saya yang akhirnya malah mengambil bunga yang terpajang di dekat jendela toko karena tak kuat melawan birahi. “Ini untukmu. Saya mengambilnya secara asal dan hanya setangkai bunga mawar tanpa duri yang ini yang pertama terlintas dalam pikiran saya. Sialnya, begitulah caramu memilihkan bunga untuk pembeli bunga di toko ini, bukan?”

“Hebat! Kamu sungguh hebat. Analisismu itu seperti analisis detektif yang baru saja membongkar kasus pembunuhan paling kejam. Semua yang kamu ucapkan benar adanya. Tapi ada yang kamu lupa,” Sisy mengambil bunga dari tangan saya dan berdiri tepat di mana saya berdiri. Kami hanya berjarak satu tangkai bunga mawar. “Kado, apapun itu, bukan dilihat dari bentuknya, bukan juga dilihat dari harganya, namun kado itu dilihat dari bungkusnya. Dari saat kamu mulai melipat tiap bagian kertas ini menjadi sebuah kado. Itulah yang membuat kado berkesan. Kamu mesti tahu, kalau kado yang kamu berikan sama sekali tidak membuat penasaran akan isinya, maka kamu gagal menghadiahi yang kamu beri kado ini.”

Saya terkagum dan tertegun dengan apa yang Sisy katakan.

“Itu yang aku jual di toko ini,” ucap Sisy sambil berbisik. Suaranya mendesah dan hangat terasa di dekat telinga saya, “bunga ini untukmu saja!”

“Kau tahu, saya baru dua kali mendapat hadiah. Pertama saat saya ulang tahun ke-17 dan yang kedua bunga darimu ini. Terimakasih.”

“Sungguh? Barangkali istrimu bukannya tidak ingin memberimu hadiah, tapi kamu yang terlalu cerdas untuk sekedar diberi sebuah hadiah. Apa yang ingin istrimu berikan sudah terlebih dulu kau tebak,”

“Ada dua hal yang tidak tepat dari pernyataanmu, Sisy. Pertama, saya belum beristri. Kedua, orang-orang di sekitar saya terlalu sibuk untuk sekedar menghadiahi sekotak cokelat.”

“Tidak pernah mendapat kado tapi ingin memberi kado! Seperti…,”

“Sudahlah. Untuk itu saya datang ke tokomu ini dan menemui orang yang memang ahlinya. Selebihnya tidak ada.”

“O ya, tadi aku lupa menuliskan nama orang yang ingin kamu beri kado sepatu, siapa namanya?”

“Andrea Hilman Damayanti,”

“Hah? Namanya mirip kedua karyawan toko ini dulu,”

“Mungkin!”

Kado. Buku. Bunga. Sepatu. Dan Sisy lupa, kalau kebahagiaan tidaklah bisa dibungkus kertas kado jenis apapun. Sedangkan pertemuan saya dengannya, jauh lebih megah dari semua yang dijual di toko miliknya.

*) Keterangan Gambar: kado. shuterstock | Kalimat yang ditulis miring dari puisi Agus Noor: Aubade

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun