Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Judy Carter dan Guyonan Kanal Humor Kompasiana

7 Januari 2015   12:53 Diperbarui: 21 Agustus 2015   03:31 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Barangkali Judy Carter ketika sedang santai-santainya menikmati teh sore hari, lalu melongok kanal humor Kompasiana, tiba-tiba akan terbersit dalam pikirannya untuk membuat buku “Teka-teki Silang” –yang dipenuhi gambar-gambar perempuan seksi a la model kalender warteg– dan tak akan pernah mengakui kalau ia pernah menulis buku “The Comedy Bibel”.

Seperti halnya saya –dan yang lain mungkin– merasakan sesuatu yang janggal ketika membuka kanal “Humor” di Kompasiana: “baiklah, di mana bagian lucunya?” Atau, itu hanya saya yang berlebihan atas ekspetasi kanal tersebut karena labelnya.

Ada yang beranggapan kalau “komedi itu selera”; apabila kita suka yang ini, sedangkan yang lain tidak, yasudah. Namun perlu juga diketahui juga, yang pasti dalam komedi itu, “lucu ya, lucu. Titik. Tidak ada lagi pengecualian.”

Di halaman pertama buku The Comedy Bibel, pada kalimat yang pertama, Judy Carter menuliskan sebuah kalimat bersayap, “There are a lot of ways to make a living from comedy. You can perform it, write it, draw it, or manage if.” Itu seperti menegaskan bahwa setiap orang bisa berkomedi dengan cara yang beragam –salah satunya menulis.

Menulis humor memang tak semudah menulis nama kita dan pasangan kita di pohon, lalu di lingkari dengan bentuk hati. Tapi segalanya bisa dipelajari. Di situlah alasan Tuhan menciptakan Judy Carter dan bukunya The Comedy Bibel.

Sering kita dapati artikel-artikel di kanal humor berbentuk cerita. Entah cerita itu fiksi atau tidak, yang jelas lebih membingungkan dari cerita-cerita di kanal fiksi sekalipun. Seperti ini misalnya, ada cerita tentang seorang anak kecil yang merengek minta uang jajannya ditambah menjadi 100.000 ribu. Tapi Ibunya bingung, untuk apa anak SD minta uang jajan sebesar itu? Ternyata anak SD itu sempat melihat tayangan kesehatan di televisi kalau mesti makan makanan yang berserat. Dan yang berserat itu SERATus ribu. Akhirnya anak itu hanya dikasih uang SERATus perak, bukan ribu.

Lucu? Semestinya plesetan-plesetan seperti itu lucu. Namun, yang kurang dari lelucon itu adalah “sikap”. Sikap yang dimaksud ialah sudut pandang penulis terhadap kasus yang akan dibangun (atau diceritakan). Saya pikir, untuk menulis apapun dibutuhkan itu, tidak hanya untuk menulis humor saja.

Lalu, memilih kata/diksi pada kalimat yang dijadikan bagian lucu. Masih dari cerita yang sama, membuat plesetan dari “banyak makan makanan serat” dan “uang SERATus ribu” itu tidak berkesinambungan. Saya paham, penulis memfokuskan pada kata “serat”, tapi tetap terdengar aneh ketika membuat plesetan dengan kata yang berbeda jumlah suku kata. Teori sederhana dari plesetan yaitu, memberi makna yang baru pada yang makna yang sudah ada. Contohnya: Jeremy Tomas menjadi Jeremy Monas; antangin menjadi gantengin; tolak angin menjadi tolak miskin; dan lain-lain.

Saya baru tahu kalau menulis sebuah lelucon itu ada rumusnya. Setidaknya ketika Stand-up Comedy mulai marak dan berkembang. Begini rumusnya: Premis – Set-up – punchline. Raditya Dika pernah bilang begini, “Saya selalu percaya tulisan yang paling baik (buku, skenario, dll) biasanya yang paling sederhana. Tulisan komedi, apalagi.” Mungkin yang dimaksud sederhana yang diucapkan Radit tidaklah sesederhana ketika itu dilakukan.

Misalnya saja ketika saya membuat lelucon tentang daerah Citayam yang jauh dari mana-mana.

Premis: Citayam itu jauh.

Set-up: Jauh dari mana-mana. Jauh dari Bogor. Jauh dari Jakarta. Paling Citayam itu deketnya

Punch: sama Jembatan Sirotol mustaqim.

Kalau itu dibuat jadi satu kalimat menjadi begini: Citayam itu jauh. Jauh dari mana-mana. Jauh dari Bogor. Jauh dari Jakarta. Paling Citayam itu deketnya... sama Jembatan Sirotol Mustaqim.

Lelucon itu masih bisa ditambah dengan kalimat: dari Citayam ke jembatan Sirotol Mustaqim paling kalo pake ojek payung ongkosnya gak sampe ceban. Udah gitu bisa ditawar.

Premis menunjukan sikap. Set-up membangun sikap. Dan, fungsi punch "membelokan" dari apa yang sudah dibangun di set-up. Sungguh sederhana. Jika terlalu pendek, buat lagi dengan pola yang sama tapi, dengan kasus yang berbeda. Misalnya perilaku orang-orang Citayam kalau naik CommuterLine. Atau, orang-orang Citayam yang suka menginjak bagian belakang sepatu. Dan lain-lain.

Untuk menilai tulisan itu lucu atau tidak, bisa dimulai dari diri sendiri. Kalau ketika kita menulis itu tertawa, maka tulisan itu memang lucu. Tapi, ketika tulisan kita dibaca orang lain tidak lucu, barangkali mesti dipertanyakan 'sence of humor'-nya.

Perpustakaan Teras Baca, 7 Januari 2015

*) Keterangan Gambar: Humor Bukan Bully-an

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun