Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Siaran Pagi Prambors dan Lelucon Verbal yang Menyakitkan

29 Januari 2015   20:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:08 2698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ilustrasi

Ada yang semestinya saya lakukan ketika baru pulang ngantor pukul 6 pagi lalu mengantar adik saya berangkat sekolah: tidur. Tapi sepertinya itu tidak bisa saya lakukan kalau sudah menyalakan radio dan mendengarkan siaran pagi di Prambors. Tidur pun bisa saya entar-entarin. Desta dan Gina telah berhasil membuat saya tidak dulu tidur –setidaknya dihampir satu bulan ini.

Untuk ukuran prime-time di sebuah radio, maka itu ada di siaran pagi (dari pukul 6-10) dan siaran sore (dari pukul 16-20). Sebab itulah saat-saat di mana orang baru saja memulai aktivitas dan mengakhiri aktivitasnya seharian. Maka tidaklah perlu heran kalau setiap radio berlomba untuk mencari penyiar kondang buat mengisi prime-time tersebut supaya bisa bersaing menarik perhatian.

Jujur, saya baru (kembali) mendengar Prambors pasca siaran pagi mereka ditinggal Dagienkz dan Desta, lalu digantikan Cici Panda. Setelah mereka-mereka ini tidak lagi siaran, saya tidak lagi mendengarkan. Entah itu berapa tahun yang lalu? Yang jelas, cara Ibu saya membangunkan saya untuk sekolah ketika itu, ya, dengan menyalakan radio Prambors. Saya pun tidak tahu kalau Desta kembali siaran di sana. Sebab yang sering saya kunjungi hanya situsnya di pramborsfm.com : sekedar untuk melihat lagu-lagu apa yang terbaru, lagu-laagu apa yang sedang nge-hits, dan pastinya untuk tahu tangga lagu “Top 40” – lalu saya buru-buru ke warnet untuk mengunduhnya. Perlu kalian tahu, standar ketinggalan jaman itu diukur bukan dari barang canggih terbaru apa yang dipunya, tapi dari seberapa tahu kita akan lagu-lagu terbaru dan nge-hits.

Saya tidak ingin dianggap ketinggalan jaman melulu. Saya tidak ingin selalu kena “Jebakan Umur” karena cuma tahu lagu Teh Dessy, Tenda Biru, dan lagu-lagu seangkatannya itu. Malu.

Tapi, mendengar radio bukanlah semata soal mendengar lagu. Mendengar radio itu satu-satunya cara romantis yang masih tersisa dari kepunahan yang ditimbulkan kemajuan teknologi yang makin tak terbendung perkembangannya. Hanya di radio kita masih bisa mendengar orang yang menyampaikan perasaannya yang dipendam terhadap seseorang lewat lagu yang diminta. Dan, lagu tersebut seakan bisa mewakili perasaannya. Hal-hal semacam itupun dibahas oleh Presiden Jancukers, Sudjiwo Tedjo, melalui bukunya untuk yang masih ber-IQ Melati: Jiwo J#ncuk. Ia menceritakan bagaimana lagu itu dipesan dan diminta sambil menaruh harapan yang besar supaya orang yang disuka mendengarnya. Ah, saya pikir tak ada yang lebih romantis dari itu.

Bukan hanya itu. Bukan. Radio, bagi saya, adalah cara menyalurkan informasi yang baik. Televisi memang lebih visual daripada radio, tapi cara delivery penyiar membuat informasi jauh lebih menarik. Caranya, dengan memberi hal-hal yang lucu tentu. Dari informasi yang kita dapat dari radio bisa membuat penerima pesan terpingkal. Bahkan dari sebuah informasi yang remeh seperti tips tidak telat datang ke kantor.

Konsep melucu penyiar saat siaran, rasa-rasanya itu yang menjadi pakem stand-up comedy di Indonesia. Melucu dengan mengkonsepkannya (ditulis) terlebih dulu. Susah, tapi pasti bisa. Begitu mungkin kalau saya boleh meminjam semangat Pandji Pragiwaksono dari buku Merdeka Dalam Bercanda. Sebuah buku yang mendokumentasikan perjalanan stand-up comedy berkembang pesat di sini. Penyiar dan comic (sebutan buat stand-up comedian) adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan: keduanya melucu menggunakan kekuatan verbal (ucapan atau kata-kata). Setidaknya para pendiri stand-up comedy Indonesia itu memiliki latar belakang sebagai ex-penyiar. Pandji, Ernest Prakasa, dan Isman H. S (eh, Kang Isman penyiar bukan, sih?).

Namun sayang, pagi ini, kamis (29/01), Desta dan Gina melakukan sebuah lelucon yang tidak etik. Tidak baik malah untuk ukuran siaran prime-time seperti mereka yang sudah punya nama. Perlu diingatkan kembali, baru satu bulan ini saya mendengar mereka siaran. Saya tidak tahu konsep mereka seperti apa saat siaran. Saya tidak tahu apa Desta masih menggunakan caranya yang lama ketika tandem dengan Dagienkz; di mana Desta yang memberi umpan (atau setup) dan Dagienkz yang membuat lucunya (atau punch) seperti dulu. Saya juga tidak tahu apa siaran pagi mereka selalu seperti ini?

Entah, sudah dua hari ini saya mendengar sebuah segmen di mana Desta menanyakan sesuatu pada Gina tentang perilaku teman-temannya itu. Meski saya tahu, itu tidak benar-benar terjadi. Misalnya, “ada, tuh, temen gue pengen keliatan langsing terus dia pake baju item, tapi pas dicuci bajunya luntur”. Dan tugas Gina di sana untuk menjawab secara lucu, “itu namanya pembantu temen lu kelupaan. Udah diingetin nyucinya jangan dicampur sama baju yang gampang luntur.” Anti-jokes memang. Tapi itu dilakukan secara terus menerus sehingga membentuk eskalasi. Maksudnya eskalasi, menambahkan sesuatu yang tingkat lucunya lebih tinggi dari sebelumnya, makanya dibuat secara berulang.Dan itu mesti terus ditambah hingga mencapai puncak lucu dari sebuah kasus.

Barangkali tadi Gina masih ingat bagaimana ia menutup siaran paginya dengan Desta. Ketika berkali-kali Desta bertanya tentang teman-temannya itu, dan terakhir Gina menjawab, “matiin aja ikannya. Daripada terus ngerepotin.”

Entah kenapa saya jadi kaget mendengar kalimat: matiin aja ikannya…. Bagaimana mungkin kalimat itu keluar dari mulut seorang Gina, seorang penyiar kondang nan-lucu itu, dan secara tiba-tiba langsung menutup siaran tanpa terlebih duu menetralkan. Apa mesti melucu dengan seperti itu? “Matiin aja ikannya…” Greg Dean memang menghalalkan itu dibukunya Step by Step to Stand-up Comedy. Pada bab 4, From Funny to Funnier, menggunakan tata bahasa dan pemilihan kata yang tidak tepat itu boleh, karena cara orang bicara berbeda jauh dengan cara orang ketika menulisnya. Karena membuat leluconsecara rapih malah akan terlihat aneh dan tidak lucu.

Pada satu sisi memang lucu. Tapi apakah Gina lupa atau tidak tahu soal faktor sekutu? Faktor sekutu itu perlu ketika melucu. Itu digunakan untuk mencari kesamaan dan kesepakatan antara dia dan pendengarnya.Sedangkan bagaimana bisa mendapat faktor sekutu dari pendengar kalau konsep “ikan” sudah terlebih dulu ditanam dalam pikiran bahwa itu adalah hewan yang lucu, imut, dan tidak bisa diajak bicara (hanya di film Nemo kita bisa jumpai ikan bisa bicara). Membunuh hewan seperti itu tidaklah lucu. Lebih jauh dari itu, di Indonesia pun hanya ada satu daerah yang diperbolehkan menangkap ikan (anggaplah Pau situ ikan meski sebenarnya mamalia. Sebab buat apa mereka hidup di air kalau bukan ikan?) dengan membunuhnya.

Saya pikir tidak ada yang lucu dari pembunuhan. Mungkin bisa kalau Gina dan Desta itu Komeng dan Cak Lontong. Di mana bisa melihat suatu pembunuhan dari hal yang absurd tapi, nyata. Komedi adalah fakta, bukan mengada-ada. Apakah Gina lupa kalau pendengar radio itu bersifat heterogen? Mungkin di antara jutaaan pendengarnya ada yang mencintai ikan seperti halnya mereka mencintai pasangannnya.Apa Gina berani melihat raut wajah mereka yang menyayangi ikan itu setelah ia mendengar “matiin aja ikannya…”? saat itu saya hanya berpikir, apa konsep kalian siaran itu ditulis dulu? Sepertinya tidak!

Sebagai pendengar baru, saya hanya berharap Desta dan Gina tidak lagi melakukan hal serupa untuk yang kedua kalinya. Malah semestinya saya berterima kasih pada kalian berdua karena sudah menghibur saya dari pagi buta, bukan mengkritiknya. Karena mendengar kalian siaran, membuat saya mulai hari ini mentahbiskan diri untuk menjadi pendengar setia. Setidaknya saya bisa dianggap “Kawula Muda” meski tak lagi muda.

Perpustakaan Teras Baca, 29 Januari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun