Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Cukup Diam dan Duduk Manis Mendengarkan

16 Februari 2015   02:26 Diperbarui: 13 Agustus 2015   02:01 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1424002085398338998

 

Selalu ada pertanyaan yang tak pernah bisa saya jawab: sampai kapan setiap pergi yang dibawa bukan buku, tapi tangan kekasih.

Kadang resah memang melihat orang-orang bisa mesra-mesraan di mall, di kereta, di bus kota, bahkan di dalam biokop. Ngng... tidak! Di dalam bioskop meraka tidak hanya mesra-mesraan, tapi juga cium-ciuman dan lainnya yang jauh lebih menggelikan bila dituliskan.

Ketika berpergian dan membawa buku, saya memang terlihat sendirian. Tapi sungguh, dengan buku, saya seperti menenteng dunia yang lain dalam genggaman: saya dan orang-orang yang hidup dalam buku itu. Kalian tahu, dalam satu buku, ada dunia yang jauh lebih ramai ketimbang lingkungan sekitar. Karena saya lebih suka menggunakan kereta, ketika membaca buku kadang suka asyik sendirian. Bahkan pernah kebablasan.

Akan saya ceritakan saat membaca buku kumpulan cerpen ‘Cerita buat Para Kekasih’ anggitan Agus Noor di kereta. Ini bukan perkara biasa, sebab pada buku itu bukan hanya banyak cerita romansa, tapi gambar-gambarnya pun cukup menggoda.

Satu waktu, ketika saya membaca yang judulnya Kunang-kunang Kuning Kemilau, ada bapak-bapak di sebelah saya –yang tidak saya kenal– langsung komentar: baca buku begituan, kok, di tempat umum, di sini banyak anak kecil.

Entah apa maksudnya, tapi saya bisa duga, bapak-bapak itu hanya melihat gambarnya saja. Barangkali teralalu seronok dan bisa mengundang siapapun yang melihatnya langsung berpikir jorok.

Baiklah, saya sadar, saya gagal (bercerita)

Ah, saya jadi ingat sebuah penelitian beberapa tahun lalu di sebuah Universitas, di Amerika, yang membedah isi otak manusia dan melihat apa saja yang masih tertinggal setelah mati. Ada alat untuk melacaknya. Dan hasilnya, rata-rata yang masih tersimpan di otak mayat manusia adalah segala hal yang berbau pornografi. Seorang peneliti beranggapan, pornografi sudah jadi “makanan harian” umat manusia, sehingga setelah mati pun itu masih tersimpan di otaknya. Pornografi, secara tidak sadar sudah ter-default di pikiran kita. Bagi saya itu bahaya, sehingga apapun yang langsung dikait-kaitkan ke arah “sana”. Melihat perempuan memakai pakaian ketat dikit, celana laki-laki mendadak sempit. Melihat ada yang memakai rok mini, nafas sudah beradau yang kanan dan kiri. Begitulah manusia jaman sekarang. Itulah hasil penelitian.

Kunang-kunang Kuning Kemilau, bagi saya, benar-benar menggambarkan isi buku itu. Agus Noor, sebagai penulis, membuatnya dengan menarasikan; sebagaimana kita menceritakan sebuah kisah pada seseorang. Di sebuah kamar, sepasang kekasih menghabiskan malam dengan cerita-cerita yang selalu membuat penasaran. Ya, setiap cerita pasti menyimpan penasaran yang besar bila tidak diselesaikan. Dan, Agus Noor, benar-benar memainkan penasaran itu.

Hidup, tak lain, hanya diisi seputar cerita, cerita, dan cerita. Namun dalam hidup kita diberi dua pilihan: yang bercerita dan mendegarkan cerita. Membaca Cerita buat Para Kekasih, saya dipaksa memilih nomor dua: sebagai orang yang cukup duduk manis dan diceritakan. Tak perlu banyak komentar, sebab cerita-ceritanya menarik dan Agus Noor menceritakan dengan baik.

Zen RS, pada salah satu cuitannya saat wawancara novel Jalan Lain ke Tulehu, menuliskan, “tugas penulis itu bercerita, yang memberikan pesan moral dan sejenisnya itu tugas pendakwah.” Benar saja, saya sama sekali tidak merasa digurui dengan pesan-pesan moral ketika membaca Cerita buat Para Kekasih, lalu setelah itu saya jadi manusia yang akan melakukan banyak hal. Saya cukup menikmati cerita-cerita di sana dan Agus Noor memberi saya pilihan setiap akhir cerita untuk mengambil sikap seperti apa setelah membacanya.

Seperti pada Kunang-kunang di Langit Jakarta, saya menikmati bagaimana nasib perempuan yang punya pasangan seorang zoologist. “Kau harus lebih dulu menjadi primata yang menarik untuk membuat tertarik bercinta denganmu (hal. 113).” Lalu dilanjut kisah asal-muasal kunang-kunang dari kuku orang yang sudah mati. “Saya tiba-tiba ingat peristiwa yang menyebabkan kunang-kunang itu muncul. Apakah anda masih ingat itu? (hal. 121).” Manusia memang tempat segala lupa, maka dari sanalah kita tahu tugas penulis yang sebenarnya: bercerita.

Agus Noor, setahu saya, adalah penulis surreal dan satiris. Namun, banyak penulis yang ada di genre itu yang kadang –gagal, istilah jahatnya– kurang bisa membawa pembaca sampai akhir cerita. Baru sampai dua atau tiga paragraf, sudah ingin berhenti membacanya. Curangnya Agus Noor, menurut saya, meramu cerita-cerita sureal dan satir dengan menabur kalimat-kalimat puitik di tiap paragraf. Kalimat puitik selalu menarik. Lihat saja pada cerita Gerimis dalam E Minor. Itu sarangnya kalimat puitik. Pertama: jarimu seperti kaki hujan yang ringan. Dalam nada-nada yang kau mainkan, terasa ada kekosongan yang tak terduga (hal. 135). Kedua: Ah, barangkali, semua kesedihan hanyalah variasi dalam melankoli. Dan kehilangan tak pernah lebih pedih dari mencintaimu. Sementara melupakanmu, hanyalah caraku menipu rasa sakit (hal. 136). Masih banyak lagi kalimat-kalimat semacam itu di sana. Seperti yang saya bilang tadi, (hampir) ada di setiap paragraf.

Buku Cerita buat Para Kekasih sungguh cocok dibaca orang-orang yang tidak punya pasangan. Setidaknya dalam kesendirian mereka, hidup akan serasa dua arah: cerita dari kehidupannya dan ada cerita yang lain dari yang ia baca. Etnahlah, setelah membaca buku Cerita buat Para Kekasih, perempuan dengan rambut sebahu seperti terlihat jauh lebih menarik dan cantik. Iya, kamu.

 

Perpustakaan Teras Baca, 15 Februari 2015 | Gambar: Agus Noor File

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun