1/
"Tidak ada tulisan yang sempurna,kecuali yang belum ditulis.”
Entah di mana saya temukan kutipan itu. Ditulis oleh siapa dari buku apa. Hal semacam ini selalu menyusahkan tatkala saya ingin membuat catatan. Ternyata menulis bermodal ingatan malah bisa semakin memperburuk keadaan.
Dan itu mengganggu. Sungguh.
2/
Draft catatan ini saya buat pada awal 2016 lalu; 3 Februari, tepatnya. Lebih tepatnya lagi, setelah saya membaca cerpen "Siapa Namamu, Hugo?" yang ditulis Adri Wahyono di kanal Fiksiana. Dengan segala khayalan kala itu, tiba-tiba saya ingin bisa membuat dokumentasi seperti halnya HB. Jassin. Tidak. Tidak sama sekali ingin menyamai HB. Jassin, namun, barangkali, dengan upaya seperti ini saya jadi sedikit memudahkan untuk mencari atau mengetahui atau mengenal siapa-siapa saja pelakunya itu sendiri; karya-karya macam apa yang mereka telah buat; sampai seberapa jauh "bentuknya" sekarang ini.
Dan kemudian ada yang saya tunggu setiap hari setelah itu: cerita-cerita di kanal Fiksiana dan 2016 segera berakhir –karena saya tak sabar membuatnya.
Dalam salah satu wawancara dengan Harian Kompas, Agus Noor pernah pernah ditanya seperti ini: bagaimana sebenarnya perkembangan pembaca sastra beberapa tahun belakangan?
Buat saya itu menarik. Bukan karya sastranya, melainkan karakter pembacanya. Itu juga penting, saya kira. Memang untuk apa menulis kalau tidak ada pembacanya? Pembaca adalah harta karun bagi penulis. Dan mengetahui karakter pembaca jadi perlu-tidak-perlu. Saat itu saya suka jawaban Agus Noor. Katanya, dengan berkembangnya sosial media, maka secara langsung atau tidak, pembaca kita ternyata lebih suka sebuah karya yang "quote-able".
Artinya dari sebuah karya, paling tidak ada satu atau dua kalimat yang bisa dikutip, yang barang tentu akan pembaca salin-tempel –dengan atau tanpa motif tertentu. Itu hanya tafsir saya sahaja. Jika merujuk benar atau tidak, untuk saat ini saya hanya bisa mengamininya.
3/