Masih segar dalam ingatan ketika saya menjawab pertanyaaan seorang teman dosententang apa yang akan saya lakukan setelah resmi bergelar Magister Pendidikan. Tanpa berpikir panjang, saya langsung menjawab, ” Saya akan kuliah S-3 dengan beasiswa ALA ke Australia”. Sontak beberapa teman yang mendengar percakapan itu langsung tertawa dan salah satu nyletuk sambil bercanda, ” Ha...ha...ha...dengan Beasiswa ALA?Australian Leadership Award? Yang benar saja, mas. Jangankan dapat, nglamar saja sulit dan prosesnya rumit. Apalagi jurusan Mas banyak pesaingnya, ribuan. Sorry, sepertinya agak Mission Impossible deh.”
Tepat lima tahun setelah peristiwa itu, saya memperoleh beasiswa PhD di Australia melalui program Australian Leadership Award (ALA)pada tahun 2010. What a sweet revenge, isn’t it? Sampai sekarang pun saya yakin teman-teman tersebut belum tahu kalau saya telah memperoleh salah satu beasiswa paling bergengsi se-Asia Pasifik itu.
Banyak suka duka yang saya alami ketika melamar beasiswa nomor wahid di Australia tersebut. Namun kuranglah bijaksana bila saya membahas semua pengalaman di tulisan yang singkat dan sederhana ini. Lebih bermanfaat bila saya berbagi tips dan strategi dasar bagaimana mendapatkan Beasiswa ALA yang setiap tahun bisa diakses di http://australiaawardsindo.or.id/
STRATEGI DALAM PROSES ADMINISTRASI
Sebagaimana lazimnya beasiswa pascasarjana di luar negeri, ALA juga menerapkan proses administrasi yang ketat. Semua pelamar beasiswa ALA wajib mengisi form aplikasi secara online dan melampirkan semua dokumen secara online pula (diantaranya sertifikat IELTS, fotokopi transkrip, fotokopi ijasah, research proposal dan surat rekomendasi. Semua dokumen tersebut harus diketik, diterjemahkan dalam Bahasa Inggris, dan di-scan sebelum dilampirkan secara online. Kelihatannya ribet ya? Disinilah dituntut kesabaran ekstra dan perencanaan yang matang (Sebagai informasi sekarang formulir beasiswa ALA dan semua dokumen bisa diisi dan dikirim dalam bentuk 'hard copy').
Dengan waktu kurang lebih dua bulan, saya menyiapkan semua dokumen tersebut dengan menyusun ’daftar kebutuhan’. Persyaratan yang berhubungan dengan legalisir transkrip dan ijasah serta memperoleh LOA (Letter of Accepatance) dari universitas di Australia, saya dibantu oleh Mbak Yuli Istiana dari IDP Malang. Surat rekomendasipun tidak terlalu sulit karena saya masih menjalin hubungan yang intens dengan pembimbing thesis saya. Yang menjadi sedikit kendala adalah membuat PhD research proposal, mengisi form aplikasi dan mendapatkan nilai IELTS 6.5.
Untuk mengatasi masalah pertama dan kedua, saya meminta saran beberapa dosen dan rekan yang pernah berhasil mendapatkan beasiswa S-3 keluar negeri. Dalam penyusunan proposal penelitian dan pengisian form beasiswa ini, saya banyak diberi masukan oleh profesor dan dosen senior di Jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Malang. Saran dan masukan dari dosen-dosen tersebut sangat penting karena research proposal danbeberapa pertanyaan dalam form aplikasi tersebut butuh jawaban dan key words yang strategis. Hanya orang yang pernah dapat beasiswa S-3 keluar negeri saja yang tahu membuat a marketable research proposal danmenyiasati pengisian form aplikasi tersebut.
Yang paling menantang adalah memperoleh skor IELTS seperti yang dipersyaratkan panitia besiswa ALA. Pertama kali mengikuti latihan tes IELTS di sebuah pameran pendidikan Australia di Surabaya, saya yakin mencapai skor tersebut. Tidak seperti yang diharapkan, ternyata saya gatot alias gagal total. Dengan semangat maju tak gentar, saya mengikuti latihan tes yang kedua di sebuah pameran pendidikan Australia di Malang. Kali ini dengan persiapan yang lebih matang. Saya belajar strategi pengerjaan soal IELTS dari buku-buku strategi IELTS. Sayang, tes kedua ini hasilnya juga tidak terlalu menggembirakan. Sayapun sempat frustasi. Untungnya saya tidak menyerah. Alhamdulillah, pada tes IELTS tanggal 9 Januari 2010 di IALF Surabaya saya berhasil meraih skor 7. Thus, never give up with IELTS test!
STRATEGI DALAM UJIAN IELTS DAN INTERVIEW
Setelah mengirimkan semua persyaratan administrasi beasiswa tersebut secara online pada bulan Juni 2010, Alhamdulillah, dua bulan kemudian saya memperoleh surat invitasi untuk mengikuti tes interview sebagai tahap seleksi kedua di Jakarta (Hebatnya beasiswa ALA adalah semua biaya tiket pesawat terbang, akomodasi dan uang saku di Jakarta ditanggung oleh panitia ALA, padahal ini masih proses seleksi. Salut!).
Sekali lagi, saya berkonsultasi dengan dengan beberapa dosen dan teman yang sudah berpengalaman untuk menyiasati tahap kedua ini. Selain berkonsultasi, saya juga mendownload strategi dan tips wawancara dibeberapa website beasiswa dalam dan luar negeri. Setelah melalui beberapa proses belajar dan 'tirakat', saya mantap untuk mengikuti tahap seleksi kedua beasiswa ALA di Jakarta pada bulan Agustus 2010.
Pada saat tes wawancara, saya 'berhadapan’ dengan dua professor dari Australia dan Indonesia serta seorang perwakilan panitia beasiswa ALA. Untuk tahap ini, strateginya sederhana saja JANGAN GROGI, bersikap yang wajar-wajar saja (wong profesor juga manusia). Saya menjawab semua pertanyaan dengan dengan jelas dan apa adanya serta ’membagi’ pandangan mata pada ketiga orang tersebut selama proses interview. Selain itu, saya juga menghafalkan proposal penelitian (berjudul Critical Thinking Skills Used by Asia-Pacific Students in Australia) dan semua jawaban di lembar aplikasi (termasuk program studi, nama supervisor penelitian dan nama universitas Australia yang dituju, plus leadership experiences/perspectives in the past, present and future). Strategi hapalan ini ternyata berhasil. Hampir semua pertanyaan dalam wawancara tersebut tidak terlalu jauh dari poin-poin utama di proposal penelitian dan form aplikasi. Hanya ada sedikit pertanyaan yang ’diluar konteks’ wawancara, misalnya hubungan luar negeri antara Indonesia dan Australia. Untungnya, saya sering membaca berita-berita internasional di http://internasional.kompas.com/ sehingga bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan umum itu dengan meyakinkan.
KESIMPULAN
Setelah melalui proses yang panjang dan melelahkan plus ditunjang puasa sunnah dan sholat malam, pada bulan Oktober 2010 saya memperoleh surat dari Panitia ALA di Jakarta. Saya dinyatakan sebagai salah satu dari 24 orang yang memperoleh besiswa PhD ALA ke Australia. Sebuah prestasi yang luar biasa mengingat jumlah pelamar yang mencapai ribuan orang. Keberhasilan ini diraih saya setelah berkali-kali gagal dalam proses seleksi beasiswa luar negeri, baik proses administrasi maupun wawancara (diantaranya Endeavour Scholarship, IIEF Fellowship, ADS Scholarship, dan Fulbright Scholarship). Alhamdulillaahirrobbil`alamiin.....Allaahu Akbar.
Dari pengalaman saya di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa dengan usaha keras, amalan yang istiqomah dan semangat pantang menyerah, siapapun sebenarnya berpotensi untuk meraih beasiswa ALA atau beasiswa luar negeri lainnya. Sekarang terserah anda. Mampukah anda membuktikan? Insya Allah, Anda bisa! Why not? IMPOSSIBLE IS NOTHING!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H