Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Taiwan, Jalan Menuju Pencarian Identitas Diri

7 Oktober 2016   12:47 Diperbarui: 7 Oktober 2016   13:00 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media di Tanah Air selalu menggambarkan bahwa hubungan China dan Taiwan bagaikan hubungan antara adik dan kakak yang sedang bersengketa. Tidak dipungkiri, pada tahun 1949 ketika pemerintah China nasionalis/Kuomintang di bawah pimpinan Chiang Kai Shek kalah dari pihak komunis yang kemudian mendirikan Republik Rakyat China menggantikan Republik China, Chiang Kai Shek yang saat itu hijrah ke Taiwan dan menyatakan Taipei adalah ibukota sementara China, tetap mengklaim bahwa daratan utama China adalah bagian yang sah dari pemerintah Chinese nasionalis atau Kuomintang. Klaim-mengklaim yang terjadi antara dua pemerintah China (nasionalis dan komunis) itulah yang di kemudian hari menjadi bumerang sendiri bagi Taiwan. Kelompok pro kemerdekaan Taiwan, yang selalu ingin menyatakan kemerdekaan Taiwan, selalu terhambat oleh isu “identitas chinese”.

Memang bukan salah kelompok pro kemerdekaan yang sebagian besar adalah keturunan etnis han/hokkian yang hijrah ke Taiwan pada masa dinasti Qing. Pemerintah Kuomintang yang sebagian besar adalah etnis han yang ikut Chiang Kai Shek hijrah ke Taiwan pada tahun 1949 selalu bercita-cita bahwa suatu hari akan mengambil kembali daratan China dan mengalahkan partai komunis yang berkuasa, selalu menekankan bahwa diri mereka sendiri dan penduduk di wilayah Taiwan adalah bangsa China. Kelompok pro kemerdekaan yang mendapat tekanan dari pemerintah Chiang Kai Shek di kemudian hari semakin mendapatkan simpati dan dukungan dari generasi-generasi yang lahir pada era 70 an dan 80 an.

Tahun 80 an Presiden R.O.C (Taiwan) saat itu, Chiang Ching Kuo yang merupakan putra dari presiden Chiang Kai Shek melakukan reformasi politik. Kelompok pro kemerdekaan kemudian mendeklarasi berdirinya Democratic Progressive Party (DPP) yang dikemudian hari menjadi partai oposisi terbesar Kuomintang. Setelah DPP berdiri, gema kemerdekaan Taiwan yang tadinya tidak kedengeran mulai membawa satu perubahan dasar dalam kehidupan sebagian besar rakyat Taiwan, terutama yang lahir pada era 80-an. Pada tahun 1980-an hampir 90% rakyat Taiwan menyatakan identitas diri mereka sebagai orang/rakyat China, tetapi seiring bergulirnya reformasi politik dan meningkatnya pengaruh DPP, di era tahun 2000-an rata-rata rakyat Taiwan menyatakan diri mereka sendiri adalah orang Taiwan dan Taiwan bukan China.

Pertentangan identitas ini semakin membesar, terlebih mesin politik terkuat di Taiwan, yang masih mendominasi pemerintah Taiwan tetap bersikukuh bahwa Taiwan adalah bagian dari China, dan pemerintah China yang sah tetap adalah pemerintah Kuomintang yang suatu hari akan mengambil kembali daratan Tiongkok. Masalah identitas ini semakin membesar, ketika para generasi muda menyatakan diri mereka adalah “orang Taiwan” dan bukan “orang China/Chinese”. Di satu sisi mereka tetap memegang paspor dan kartu tanda penduduk “Republik of China”, tetapi disisi lain mereka menyatakan bahwa “Republik of China”, adalah pemerintahan pengungsi dan telah berakhir pada tahun 1949.

Masalah identitas diri mendapat angin segar ketika pada tahun 2000 di mana presiden Chen Shui Bian dari partai DPP terpilih menjadi presiden ROC (Taiwan) yang ke-10. Presiden Chen yang selalu menyatakan diri sendiri adalah orang Taiwan dan bukan orang China ini mulai melakukan amandemen undang-undang dasar R.O.C, mengusahakan Taiwan diterima kembali sebagai anggota Persatuan Bangsa-Bangsa, dan mulai menghidupkan kembali Bahasa daerah penduduk Taiwan yang sebelumnya sempat dilarang penggunaannya di sekolah-sekolah pada era Kuomintang. Usaha Chen untuk “mencari jalan kemerdekaan” Taiwan mendapat hambatan dan tekanan bukan hanya dari Republik Rakyat China yang berkuasa di Beijing, tetapi dari dalam negeri Taiwan sendiri, dimana Kuomintang yang tetap menentang gerakan pro-kemerdekaan. 

Kuomintang yang sebelumnya bersikukuh bahwa Republik of China adalah pemerintah China yang sah, mulai melunak terhadap daratan Tiongkok, terlebih setelah Konsensus tahun 1992 yang diadakan di Hongkong, dimana pertemuan tidak resmi antara pemerintahan Kuomintang dan partai Komunis yang menghasilkan beberapa kesepakatan yang salah satunya berbunyi “bahwa kedua pihak tetap mengakui [satu China] yang masing-masing pihak boleh mempunyai interprestasi yang berbeda dari definisi “satu China” tersebut.

Usaha presiden Chen Shui Bian untuk mendapat dukungan internasional akhirnya juga mengalami kegagalan. Sebagian besar Negara yang tidak mempunyai hubungan diplomatic dengan Taiwan tetap beranggapan bahwa masalah Taiwan adalah masalah dalam negeri china. Bahkan Amerika Serikat yang merupakan sekutu terbesar Taiwan sekalipun menyatakan bahwa hubungan antar Taiwan dan China adalah hubungan satu etnis dan menyerahkan penyelesaian sepenuhnya kepada rakyat Taiwan untuk menentukan pilihan mereka sendiri. 

Tahun 2008 presiden Chen Shui Bian digantikan oleh presiden Ma Ying Jeou yang merupakan seorang nasionalis/Kuomintang sejati. Usaha presiden sebelumnya, Chen Sui Bian yang selalu ingin merdeka dan lepas dari China ini, bertolak belakang dengan Ma Ying Jeou. Ma Ying Jeou lebih pro China dan seperti laiknya pemikiran Kuomintang lainnya, bahwa Taiwan dan daratan utama China adalah satu kesatuan dan rakyat dikedua wilayah masing-masing adalah rakyat China dan beretnis Chinese.

Tentu saja propaganda dari Ma Ying Jeou mendapat perlawanan yang sengit dari sebagian rakyat Taiwan, terutama partai DPP. Sampai akhirnya, tahun 2016 DPP kembali berkuasa di Taiwan. Presiden Tsai Ying Wen, seorang reformis sejati dari partai DPP, yang terpilih pada bulan Mei tahun 2016 menegaskan tidak mengakui consensus 1992 yang menyatakan bahwa Taiwan adalah bagian dari China. Perang propaganda pun tak terhindarkan, bahkan terkesan akan adanya penghilangan kata “china/Chinese” dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Taiwan, meskipun presiden Tsai sendiri belum berani mengubah nama Negara mereka, Republic of China. 

Di tengah krisis ekonomi yang melanda Taiwan, dan usaha akankan usaha presiden Tsai Ying Wen berhasil menarik simpati rakyat Taiwan? Atau dukungan dari masyarakat internasional maupun etnis Chinese yang ada di seluruh dunia?. Kalau untuk dalam negeri Taiwan sendiri, mungkin sangat jelas, bahwa keinginan sebagian besar rakyat Taiwan untuk merdeka sangat besar, tetapi untuk mendapat dukungan internasional sepertinya Taiwan masih harus mengalami jalan yang panjang dan berliku-liku. Di satu sisi sekutu Taiwan sendiri, Amerika Serikat juga belum berani untuk mengakui Taiwan dan tidak berani mendukung Taiwan secara terbuka, Taiwan sendiri juga mulai kehilangan dukungan dari overseas-chinese yang notabene adalah pendukung utama Taiwan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun