[caption id="attachment_254488" align="alignnone" width="150" caption="Agen perubahan kecil"][/caption]
“Pa Dok,Mama ada sakit kaki bengkak”Katanya terburu-buru saat dia memasuki ruangan kecil 3x3 tempat ku berpraktek di Puskesmas Boganatar,Kab Sikka,Nusa Tenggara Timur.
“e mama dimana ko?”tanyaku balik karena kulihat dia datang seorang diri
“Di kringa pa dok,mama son bisa jalan”jawabnya polos.
“Baik sudah, pa dok selesaikan dulu pasien disini lalu kita pi ke anak pu rumah”jawabku seraya mencoba tersenyum menenangkannya.
Hari itu hari Sabtu dan biasanya pasien tidak terlalu banyak yang berobat ke Puskesmas sehingga siang hari selepas pelayanan aku bisa turun ke kota untuk bertemu dengan teman-teman dokter PTT lainnya sekaligus membeli barang kebutuhan. Maklum di desaku bertugas yang terletak di atas gunung sulit mendapatkan barang kebutuhan pokok.
15 menit kemudian aku bergabung dengan berto,anak kecil itu kulihat duduk dengan rapi di bawah pohon beringin didepan Puskesmas. Aku mengenalnya karena dia dan teman-temannya sering main di pekarangan puskesmas sore hari,biasa mereka bermain bola plastik atau menggelindingkan ban bekas untuk kemudia menangkapnya lagi. Pernah kuajak mereka kerumahku dan kuberikan biskuit dan permen, hari berikutnya meminta “snack sore” kerumahku menjadi kegiatan rutin bermain mereka.
“Mama pung kaki bengkak dimana ko?”tanyaku seraya berjalan bersamanya kerumahnya yang tidak terlalu jauh dari Puskesmas namun cukup menanjak.
“di jari pa dok,ujung jari bengkak dan sakit,mama son bisa jalan,su 3 hari”dengan lugas ia menjelaskan
“Kau pi(pergi) sekolah tadi pagi?”tanyaku karena kebetulan kami melewati Sekolah dasar satu-satunya di desa itu,dan Berto termasuk salah satu murid yang beruntung karena rumahnya terletak tidak terlalu jauh dari sekolah,saat upacara hari pendidikan nasional aku bertemu dengan seorang murid yang harus berjalan kaki hampir 1 jam dari rumahnya ke sekolah.
“Pi pa dok,tapi telat”jawabnya sambil tertawa
“Kenapa ko”tanyaku
“Mama sakit pa dok,beta pi ambil mete dulu dan masak nasi,jadi telat”jawabnya. Mengumpulkan (kacang) mede atau biasa mereka sebut mete merupakan salah satu mata pencaharian yang banyak dilakukan warga disini,mereka biasa kumpulkan dari kebun dan pada akhir pekan turun ke kota untuk menjualnya. Di kota ada pengusaha India yang mengumpulkannya dan mengirimkannya ke India. Usaha ini sebenarnya cukup menjanjikan tetapi tanpa dibekali ilmu pengetahuan seringkali panen mereka gagal atau terserang hama.
“Mama kemungkinan sakit asam urat,nanti hari senin saya pinjam alat buat ukur asam urat,sementara saya kasi obat mama minum dahulu ya,makanan juga dijaga kurangi melinjo dan daging merah”ujarku setelah selesai memeriksa Mama Erin.
“Terima kasih pa dok,terima kasih mau datang”Ujar mama Erin sembari tersenyum
“Diminum teh nya pa dok”Tidak kusadari berto sudah muncul sambil membawa 2 cangkir teh dan biskuit.
“Terima kasih berto,kau su bisa putar(buat) teh juga ternyata”Candaku sambil mengelus kepala mungil anak 6 tahun tersebut.“Kau jaga mama baik baik ya, jangan sampai mama lupa minum obatnya”ujarku seraya berpamitan pulang.
Berto tinggal bertiga dengan mama erin dan noel adiknya yang masih berumur 2 tahun. Kakanya densi sudah tinggal di kota untuk belajar di Sekolah menengah atas. Ayahnya pergi merantau ke Malaysia sebagaimana banyak pria di desa ini bekerja sebagai buruh disana. Kilau ringgit di negeri tetangga memberikan pengharapan untuk hidup yang lebih baik walau pada kenyataanya banyak pula yang gagal. Lapangan pekerjaan yang minimdisertai pendidikan yang kurang menjadi faktor pemicu. Berto seringkali harus bertindak sebagai kepala keluarga di usianya yang masih belia. Mama yang sakit-sakitan dan adik yang masih kecil menempa dirinya menjadi dewasa sebelum waktunya. Beberapa kali kulihat dia mengumpulkan kayu api atau membawa adiknya yang sakit ke puskesmas. Menanak nasi dan membersihkan rumah sudah menjadi pekerjaan rutin layaknya sekolah baginya.
Sepanjang perjalanan pulang ke puskesmas aku merenung betapa beratnya perjuangan anak-anak di desa ini, tidak heran mereka masih kesulitan membaca walau usia sudah menginjak 7 tahun karena waktu untuk belajar mereka pun sedkit. Jumlah guru yang terbatas sejalan dengan infrastruktur sekolah menjadi faktor lainnya. Keadaan telah menempa mereka menjadi pribadi yang tangguh, mungkin itu sebabnya banyak orang besar lahir dari sini, Frans Seda salah satunya. Aku percaya ketertinggalan dibidang keilmuan bisa mereka kejar suatu saat nanti,ditambah tempaan dari “sekolah kehidupan” dan dukungan yang baik dari semua pihak aku yakin anak anak kecil berkulit hitam,berambut keriting,dengan ingus menempel di lubang hidung tetapi memiliki hati seputih kapas ini suatu saat akan menjadi penerus tongkat estafet bangsa ini. Agen perubahan kecil dari desa Kringa,semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H