Duduk di deretan belakang dari 400-an tempat duduk, saya bisa melihat jelas ke setiap sudut Johan Sebastian Bach Recital Hall. Ruangan berbentuk setengah oval ini didominasi oleh corak kayu kecoklatan. Mulai dari dinding, lantai, sampai tempat duduk. Panggung depan yang tidak sampai 20 meter dari posisi saya, diisi oleh satu grand piano dari kayu kecoklatan merek Steinway & Welte, piano produksi gabungan dua keluarga pembuat piano terbaik di dunia. Agak kesebelah, ada satu organ elektronik, yang lagi-lagi didominasi oleh corak kayu kecoklatan. Di atas, tergantung 1 lampu kristal yang memendarkan cahaya putih kekuningan, yang menambah hangatnya suasana ruangan. Di kiri kanan panggung ada dua patung wanita keemasan yang masing-masing memegang semacam flute dan harpa. Menengok sekeliling hall ini, mata saya serasa makin dimanjakan. Selain berbagai lukisan wajah komposer ternama zaman dulu, dinding kaca di kiri kanan ruangan menyajikan pemandangan Jakarta malam hari yang spektakuler. Terletak di lantai 24 Menara Calvin, Kemayoran, Jakarta. Bach Recital Hall bukan saja salah satu recital hall terbaik di Indonesia, tapi juga mungkin tertinggi di dunia! Dari ketinggian lebih dari 100 meter, melihat Monas dan gedung-gedung bertingkat yang berdiri gagah di sebelah kiri saya, ataupun memandangi kerlap-kerlip lampu jalanan dan pekatnya laut Jakarta malam hari di sisi kanan, jelas menimbulkan atmosfer yang mendukung untuk menikmati pertunjukan musik malam ini. *** Pukul 19.17. Lampu di deretan penonton mulai dimatikan ketika pertunjukkan akan dimulai. Bintang malam ini adalah David Tan, pemuda jenius berusia 19 tahun dari Inggris yang akan membawakan karya-karya dari Schubert, Beethoven, Bach, Paganini serta komposer-komposer besar lainnya. Lahir dan besar di Leeds, David mulai belajar biola sejak umur 4 tahun. Belajar di bawah violin virtuoso dunia, Marat Bisengaliev, mendapat penghargaan Paul Mountain Award, serta menjadi pemimpin dari City of Leeds Youth Orchestra di tahun 2007-2008 adalah hanyalah sebagian kecil dari deretan prestasi yang telah ia toreh. Penampilan David bersahaja. Rambutnya di potong pendek, dengan kacamata menghiasi wajah. Ia juga murah senyum. Malam itu pemuda Inggris ini mengenakan kemeja batik warna hitam dengan corak keperakan. Terpaan lampu kristal membuat bajunya terkesan keemasan. Serasi dengan panggung kayu kecoklatan tempat ia berdiri. David membuka pertunjukan dengan membawakan Czardas karya dari V. Monti. Ringan saja ia memainkan biola. Jarinya tangan kirinya lincah menari mengikuti irama, sedang tangan kanannya kokoh menggesekkan biola. Sesekali ia diiringi oleh permainan piano dari Indah Lestari, dan diselingi oleh solois Korea, Ji Young Jeon, yang membawakan 2 lagu Opera Arias. Alunan nada biola David membuat perasaan menjadi ringan, seakan ikut menari mengikuti permainannya. Kadang Ia juga bisa menyayat hati ketika membawakan Theme from Schindler’s List-nya John William. Atau menenangkan jiwa ketika Meditation dari J. Massenet dimainkan. Di lain waktu, ia membuat penonton takjum dan terkesima ketika membawakanCaprice No. 24 dari Paganini yang terkenal sulitnya bukan main. Total ada 13 lagu yang dibawakan David malam itu. Penampilan perdana dia di Indonesia, sekaligus resital pertama yang diselenggarakan di Bach Recital Hall. Tepuk tangan membahana ketika ia selesai membawakan lagu terakhirnya, Zigeunerweisengubahan P. de Serasate. Sayang, David tidak kembali membawakan encore untuk penonton yang masih ingin menikmati permainan biolanya lebih lama. Dr. Stephen Tong, Artistic Director dan Principal Conductor dari Bach Recital Hall, menyempatkan memberikan sepatah dua kata di akhir acara. Ia menantang anak-anak muda Indonesia untuk tidak kalah dengan David, dan memberikan wejangan agar mereka semua juga mau ikut bekerja keras jika memang mencintai musik. Menuntut diri lebih keras bukan hanya menuntut orang lain. Mengutip filsuf Tiongkok, Confusius, “A gentleman demands much of himself; a mean man demands much of others.” Dan akhirnya resital biola ini ditutup dengan doa ucapan syukur kepada Tuhan. *** Pukul 21.00 lebih. Penonton satu persatu pulang, setelah sebelumnya menyempatkan mengabadikan momen alias berfoto ria di hall ini. Lampu-lampu mulai dimatikan. Saya masih terduduk di deretan belakangan, masih enggan bangun dan berjalan. Saya bukan ahli dalam dunia musik, apalagi musik klasik. Tapi saya sangat menikmati pertunjukkan malam ini. Hemat saya, beginilah seharusnya sebuah musik yang indah dinikmati. Ia bener-benar memanjakan semua indra saya. Merasakan kulit bersentuhan dengan bangku kayu yang dingin, memanjakan mata dengan berbagai macam keindahan lukisan dan ukiran, dan memuaskan telinga dengan alunan nada yang indah. Terlebih, mengistirahatkan jiwa yang penat oleh hiruk pikuk jakarta. Malam ini, di Bach Recital Hall, di bawah cahaya lampu kristal yang hangat, rasanya hanya ada saya seorang diri, bersama gesekan biola nan merdu di hadapan saya. Ya, malam ini, yang ada hanya saya dan musik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H