Mohon tunggu...
Harry Febrian
Harry Febrian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa jurnalistik. Pencinta filsafat, politik, seni, dan debat. Juga belajar nge-blog di http://harryfebrian.wordpress.com/ Ditunggu saran dan kritiknya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pajak Warteg, Mitoskah?

4 Desember 2010   09:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:02 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1291453386576404668

Ramai-ramai soal pajak, saya jadi teringat satu cerita, mitos tepatnya. Tentang Lady Godiva, istri dari Leofric, penguasa dari Mercia, sebuah kerajaan di Inggris kuno abad ke-11. Dalam ejaan Inggris Kuno, Godiva ditulis Godgifu atau God Gift, hadiah dari Tuhan. Konon pada zaman itu, pajak begitu mencekik rakyat sehingga membuat Godiva iba. Ia berkali-kali memohon pada suaminya untuk meringankan pajak. Dasar suaminya keras kepala, permintaan Godiva terus ditolak. Sampai suatu kali, karena lelah menghadapi permohonan Godiva, akhirnya suaminya setuju untuk menurunkan pajak, asal Godiva melakukan perintahnya. Godiva harus menanggalkan semua pakaiannya dan berkuda di sepanjang jalanan kota. [caption id="attachment_78468" align="alignnone" width="300" caption="Lady Godiva by John Collier"][/caption] Godiva setuju, lalu meminta semua rakyatnya untuk tinggal di rumah dan menutup jendela, agar tidak ada yang melihatnya (Namun ada satu orang mengintip, yang kelak dikenal luas sebagai istilah Peeping Tom) Pada akhirnya, suami Godiva memegang kata-katanya dan menghapus pajak yang memberatkan rakyat. Pajak Warteg, Sungguhankah? Tentu saja cerita diatas hanyalah mitos belaka. Tidak perlu jadi bahan perdebatan kalau dirasa tidak masuk akal. Mitos seringkali tidak masuk akal dan tidak nyata. Itulah sebabnya, ketika mendengar kabar warteg di pinggir jalan akan dikenai pajak, saya pikir itu hanya rumor atau mungkin tidak benar-benar akan dilakukan. Cuma "mitos." Mungkin saya yang kurang cermat mendengar atau membaca berita. Mana mungkin orang-orang pemerintahan yang terhormat dan pintar-pintar itu membuat satu peraturan yang tidak masuk akal? Namun setelah beberapa hari, ternyata itu bukan rumor atau isapan jempol belaka. Bukan "mitos," tapi sungguhan. "Warteg kan penghasilannya cukup baik, ini untuk menaikkan penerimaan daerah. Kami tidak melihat informal atau formal, yang pasti di atas 60 juta rupiah," ujar Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Arief Susilo kepada Kompas.com. Banyak yang bilang negara ini, khususnya aparat pemerintahan, sudah edan. Tahanan kasus suap pajak milyaran bisa ongkang-ongkang kaki keluar masuk penjara untuk nonton pertandingan tenis internasional di Bali. Eh, giliran rakyat kecil yang sudah susah, terus dikuras habis lewat pajak.Setelah ramai di media, barulah pejabat-pejabat terkait berkoar-koar akan membela rakyat. Tidak setuju adanya pajak warteg. Kenapa tidak dari awal? Moga-moga setelah tidak ramai di berita, masih tetap konsisten dengan perkataan. Jangan seperti luapan lumpur yang kini terlupa. Kadang hidup ini memang ajaib. Dalam mitos, seorang putri terhormat rela mempermalukan diri demi kebaikan orang banyak. Sedang dalam kenyataan, orang banyak yang sudah susah, dikeruk habis oleh pejabat yang (katanya) terhormat, sukur-sukur kalau uangnya dipakai untuk kebaikan banyak orang. Kalau masuk kantong orang macam Gayus? Wallahu a’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun