Mohon tunggu...
Harry Dethan
Harry Dethan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Health Promoter

Email: harrydethan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Perebut Kehangatan

3 Juni 2019   21:46 Diperbarui: 3 Juni 2019   21:51 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: shutterstock.com

Sudah lama rasanya pak Niko tidak merasakan keramaian. Lelaki tua berusia 80an tahun ini hanya hidup ditemani oleh seorang keluarga dari kampung yang sekolahnya dibiayai oleh anak-anak pak Niko. Tugas anak tersebut adalah merawat dan menjaga pak Niko.

Rasa ramai kali ini begitu istimewa bagi pak Niko. Rusdi dan Putu bersama isteri dan anak-anak mereka semua berlibur bersama ke rumahnya. Mereka hanya bisa pulang setahun sekali. Kesibukan menjadi alasan yang sudah klasik untuk memisahkan antara rindu dan temu.

Meski sedang sangat ramai di rumah, sedari tadi pak Niko merasa heran dengan keadaan hatinya. Ia merasakan hatinya sangat hampa. Bahkan keramaian yang berada di hadapannya tidak bisa membebaskan dia dari rasa sepi. Tentu saja, kehangatan di hatinya telah pergi bersama cinta sejatinya yang telah dahulu pergi menghadap Sang Pemlilk Cinta beberapa tahun lalu.

Namun baginya, hidup harus terus dijalani dengan penuh syukur. Dalam penantian untuk menyusul sang istri, setidaknya masih ada rasa bahagia melihat cucu-cucunya bertumbuh.

Sudah dari tadi pak Niko menatap satu per satu anaknya, menantunya, bahkan para cucu-cucunya. Hanya kepala yang digeleng dengan wajah gusarlah yang menyelimuti saat ini. Fisiknya bersama para anak sangat dekat, namun hati mereka terasa sangat jauh.

Mungkin saja waktu telah memutus rantai temu antara hati pak Niko dan para anaknya. Iapun mulai menyadari bahwa terkadang, dirinya serasa seperti sebatang kara.

Ingin sekali ia berteriak, "Apa gunanya pertemuan jika senyum tak saling menyapa?" Namun suaranya memang tak selantang dulu. Yah, seperti saat ia masih dianggap sebagai ayah yang sangat tegas dan disiplin.

Sudahkah waktunya untuk menyerah? "Menyerah bukanlah hakmu Niko!" Begitulah suara hatinya. Ia meyakinkan diri untuk tidak boleh mati dalam rasa sepi nantinya. Cinta yang ia dan istrinya bangun dalam keluarga ini tak boleh tersingkirkan oleh tipuan sang penyempit jarak.

Tekad untuk membebaskan keluarganya dari perebut kehangatan, sangat besar. Namun bagaimana caranya? Bahkan mereka bisa tertawa dan berbicara kepada benda mati di tangan mereka.

"Mungkinkah mereka akan berbicara padaku jika aku sudah menjadi benda mati?" rasa kesal mulai merasuk ke dalam hati pak Niko.

Tanpa sadar air mata sudah mengalir. Mungkin itulah salah satu cara berbicara ketika mulut sudah tak mampu lagi bersuara keras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun