Jam 5 pagi saya dan salah satu teman dari Satpol PP berangkat menggunakan Gocar ke Bandara Tjilik Riwut Palangka Raya. Karena tidak sempat sarapan di hotel, kami membeli nasi kuning bungkus seharga Rp.10.000,- di pinggir jalan menuju bandara. 2 bungkus untuk kami berdua makan di mobil dan 5 untuk kawan-kawan yang akan kumpul di Bandara.
Beda dengan nasi kuning 10.000 langganan kami di Kota Muara Teweh yang bumbunya lebih terasa, nasi kuning ini rasanya "standar" tapi apalah daya, dengan kekuatan finansial terbatas lidah dan perut harus belajar ikhlas, daripada menunggu sarapan di Surabaya? lapar banget pastinya.
Pesawat kami, Lion Air dijadwalkan berangkat jam 7 pagi menuju Denpasar, Bali dengan transit dahulu di Surabaya. Transitnya lama banget, dari jam 8 pagi sampai jam 3 sore, pesawat direncanakan tiba jam 5 sore waktu Bali.
Sudah cukup lama saya tidak terbang 3,5 tahun lalu terakhir saya naik pesawat. Pesawat dari Banjarmasin ke Semarang pada bulan Juni 2020 sebelum pandemi Covid 19. Andalan ASN untuk bisa terbang hanyalah apabila ada perjalanan dinas. Di jaman Covid, anggaran dinas luar daerah dipangkas habis-habisan untuk penaggulangan Covid.
Hampir 3,5 tahun lebih itu saya tidak merasakan repotnya antri pemeriksaan tiket, repotnya membuka jaket, ikat pinggang, jam tangan, dompet, dan hape. Bandara sekarang besar dan megah, kita harus berjalan jauh dan berputar-putar, tapi demi tugas, tugas yang menyenangkan semua kita jalani.
Di angkasa Laut Jawa, ketika ingin melihat jam, saya sadar jam saya tercecer di konter pemeriksaan yang kedua sebelum menuju ruang tunggu. Saya menggerutu kenapa jam itu saya lepas, padahal di pemeriksaan pertama tidak saya lepas dan tidak menjadi masalah, mungkin karena jam-nya terbuat dari karet dan plastik.
Saya berdoa semoga tidak hilang dan kalo pun hilang saya akan mengakhiri era jam tangan di kehidupan pribadi setelah umur saya yang sekarang. Saya bersyukur kehilangan ini akan menjadi tulisan di Kompasiana, terbersit pikiran seharusnya jam-nya dengan mudah ditemukan karena pasti ada CCTV di tempat pemeriksaan tersebut.
Saya berpikir, nanti di Surabaya saya akan menjalani proses pencarian jam saya, tahap demi tahap. Meskipun bukan barang mahal di mata konglomerat, bagi saya jam ini berharga sekali, saya masih ingat saya bersama isteri memilih dan membelinya secara online.
Setelah landing, misi mencari jam tangan yang tercecer pun dimulai. Karena transit lama merasa cukup santai menjalankan misi pencarian. Saya menanyakan petugas bandara di Juanda Surabaya proses yang harus dilakukan apabila kita kececeran barang. Oleh petugas bandara dijelaskan bahwa saya cukup menghubungi ruang Lost and Found Maskapai yang digunakan, yaitu Lion Air.