Lanting adalah bangunan terapung di atas air sungai, bagian bawahnya adalah batang pohon besar yang mampu menahan rumah atau bangunan lain di atasnya tetap terapung.
Dulu, ketika sungai masih menjadi sarana transportasi utama, lanting sangat akrab dengan kehidupan masyarakat yang hidup sepanjang sungai Barito.Â
Barito adalah sungai yang panjangnya lebih dari 1.000 Km, mengalir dari pegunungan Schwaner di Kalimantan Tengah dan bermuara di Kalimantan Selatan (Wikipedia)
Beraneka ragam bangunan yang dapat didirikan di lanting, bisa rumah, rumah makan, penginapan, rumah bedengan, pelabuhan, toko kelontong sampai pangkalan BBM.
Berbagai aktivitas keluarga bisa dan biasa di lakukan di lanting, selain bangunan rumah, di lanting juga ada dapur dan WC-nya yang biasanya terpisah dari rumah. Jangan membayangkan WC di lanting adalah WC duduk atau WC jongkok dengan keramik. WC di lanting biasanya sangat sederhana, dengan lubang closet berupa lantai kayu yang diberi jarak agar muat gayung untuk cebok.
Ketika kecil dulu, kami biasa saling ajak untuk mandi di lanting. "Yuk ke batang". Batang mungkin merujuk kepada batang pohon besar terapung yang menjadi pondasi rumah/bangunan lanting.
Batang pohon juga digunakan untuk jembatan/titian dari pantai (tepi sungai) ke lanting. Posisi lanting memang tidak berdempetan langsung dengan bibir pantai. Posisi yang terpisah dengan pantai ini juga untuk memudahkan penyesuaian posisi lanting apabila terjadi pasang surut air sungai.
Di daratan biasa terdapat patok kayu untuk mengikat lanting, tentu saja agar lanting tidak hanyut. Yang paling sering terjadi adalah ketika air sungai surut mendadak maka lanting akan terdampar karena terlambat di dorong ke arah sungai yang lebih dalam, "tapanggang" adalah istilah masyarakat lokal untuk lanting yang terdampar seperti ini.
Dalam satu malam pemilik lanting kadang harus beberapa kali menurunkan/mendorong lanting ke arah yang lebih dalam, atau arah tengah sungai, untuk menghindari "tapanggang" tadi.