Presiden mencanangkan pemberantasan mafia hukum dalam program 100 harinya, bahkan program tersebut merupakan prioritas pertama. Respon cepat dari presiden ini disebabkan oleh hiruk-pikuk kasus "cicak vs buaya" dengan puncak pemutaran rekaman hasil penyadapan KPK. Sebagai sebuah program yang bersifat reaktif dan tidak direncanakan jauh hari sebelumnya, publik akan bertanya-tanya tentang kesiapan presiden menjalankan program ini. Apalagi Kepolisian dan Kejaksaan Agung yang merupakan senjata utama presiden untukmelaksanakan program ini sedang dalam kondisi tertekan. Kondisi KPK yang bisa diandalkan presiden untuk membantunya melaksanakan program ini juga tidak jauh berbeda dengan Kepolisan dan Kejaksaan Agung. Apakah presiden akan membentuk tim baru pasca Tim 5 dan Tim 8? Atau bahkan presiden akan membentuk komisi atau lembaga baru atau semacam satuan tugas untuk menjalankannya?
Presiden menyatakan bahwa mafia hukum terdiri dari makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual-beli perkara, pungutan liar, dan mengancam saksi/ pihak lain. Wujudnya tidak nampak jelas, namun sangat bisa dirasakan masyarakat, terutama pihak-pihak yang pernah tersangkut masalah hukum. Pihak-pihak yang terlibat dalam mafia hukum (peradilan) adalah aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Penyidik, Pengacara), birokrat, pihak yang sedang berperkara/ berkepentingan plus pihak-pihak lain yang mencoba mengambil keuntungan dari suatu perkara/ kepentingan. Bagaimana mafia hukum menjalankan aksinya?
Penulis hanya akan mencoba menggambarkan tentang mafia peradilan (makelar kasus). Meskipun tidak bisa didefinisikan secara jelas, kapan proses mafia peradilan dimulai, namun ketika tercium aroma terjadinya tindak pidana atau kasus perdata, disitulah mafia peradilan mulai beraksi. Misalnya, seseorang atau sekelompok orang bisa memeras seseorang yang diduga terlibat dalam suatu perkara. Biasanya ancamannya adalah akan melaporkan kasus tersebut ke lembaga penegak hukum yang berwenang. Namun bisa saja laporan/ pengaduan kepada aparat penegak hukum tersebut bukan semata-mata urusan duit, tapi bisa juga urusan kepentingan lainnya seperti sakit hati, persaingan bisnis, dll. Jika terjadi "transaksi" (biasanya berupa uang, jabatan, atau kekuasaan) antara orang yang berperkara dengan pihak yang mengancam membuat laporan/pengaduan atas suatu perkara, maka urusannya akan selesai sampai di situ. Sebaliknya jika laporan/ pengaduan sampai di tangan aparat penegak hukum, maka proses mafia peradilan naik ke tahap selanjutnya.
Dalam penyelidikan (intelijen) yang dilakukan aparat penegak hukum untuk memproses informasi awal (pengaduan/ laporan), transaksi untuk menghentikan proses penanganan perkara dilakukan antara oknum aparat penegak hukum dengan pihak-pihak yang tersangkut kasus tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika tidak ada “penyelesaian” ala mafia peradilan dalam tahap ini, proses akan naik ke tahap "pro justitia". Pada tahap ini kasus menjadi lebih rumit karena kasus telah ditangani secara formal dan ada kewenangan aparat untukmelakukan upaya paksa. Pada tahap ini transaksi dilakukan dengan “memperdagangkan” status seseorang, apakah cukup menjadi saksi atau sampai menjadi tersangka. Tahap berikutnya berada dalam tahap penuntutan. Transaksi yang terjadi biasanya “memperdagangkan” masalah pasal yang akan dipersangkakan pada pihak-pihak yang terlibat. Semakin rendah ancaman pidana atas perbuatan yang dipersangkakan, maka transaksi uang yang terjadi juga akan semakin besar (berbanding terbalik).
Tahap terakhir dari peluang adanya mafia peadilan adalah pada tingkat pengadilan (tingkat pengadilan negeri, banding, kasasi, sampai peninjauan kembali). Untuk memperoleh gambaran lebih detil, rekan kompasiana bisa menyimak penanganan perkara Junaidi (Dirut Jamsostek), perkara pengacara Harini Wiyoso atau Tengku Syarifudin Popon, dan terakhir perkara Urip Tri Gunawan plus Ayin (Artalita Suryani).
Sebagaimana diketahui, mafia peradilan bergerak dalam kegelapan. Lobi-lobi untuk memenangkan kepentingan pihak-pihak yang berperkara bisa dilakukan dimana saja. Hotel, mall/ plasa, restoran merupakan tempat favorit untuk melakukan transaksi atau lobi (Sebagai gambaan bisa diingat kembali kasus Amin Nasution, Yusuf Emir Faishal, AKP Suparman, dll). Lobi-lobi dan/atau transaksi bias juga dilakukan di kantor atau bahkan rumah pihak-pihak terkait (Ingat kasus Irawadi Yunus dan kasus Urip Tri Gunawan plus Ayin yang ditangkap di sebuah rumah). Tempat-tempat lain yang favorit untuk melakukan lobi adalah di tempat di dalam mobil (ingat kasus Abdul Hadi Jamal). Di samping bertemu secara langsung (face to face), lobi dan/ atau transaksi juga sering menggunakan media elektronik (misalnya melalui handpone atau email). Kasus Mafioso Anggodo yang baru saja diperdengarkan bisa menjadi gambaran kita semua.
Setelah mengetahui karakterisitik dan sarana untuk melakukan praktek mafia peradilan, presiden tinggal memfokuskan strategi untuk memerangi atau memberantasnya atau setidak-tidaknya membatasi/ mempersempit ruang gerak terjadinya mafia peradilan. Dalam jangka pendek, program reformasi birokrasi dan memperbaiki moral/ integritas aparat penegak hokum bukan mnjadi pilihan memngingat sempitnya waktu untuk menjalankan operasi 100 hari ini. Perlu langkah-langkah taktis, cepat, tepat, dan bisa menimbulkan efek kejut dan efek jera yang luar biasa. Strategi untuk mempersempit ruang gerak mafia peradilan adalah dengan membuat "terang" situasi kegelapan dari mafia peradilan.
Sebagaimana diuraikan dalam tulisan “baby policy”, presiden harus berani mengambil tindakan konkrit untuk mewujudkan progam 100 harinya tsb. Presiden perlu menggerakkan kekuatan secara penuh (full capacity) untuk mensukseskan program ini. Beberapa langkah konkrit yang bisa ditempuh untuk membuat " terang dari gelapnya mafia peradilan" antara lain sbb:
1. Kepolisan dan Kejasakaan Agung harus memperketat pengawasan internalnya untuk memantau anak buahnya yang diduga sering terlibat dalam mafia peradilan. Kedua institusi ini harus membuat semacam satgas yag terdiri dari orang-orang pilihan utk membantu Jaksa Agung dan Kapolri mensukseskan program ini. Ini merupakan kesempatan Kepolisian dan Kejaksaan Agung untuk membersihkan diri. Kompolnas dan Komisi Kejaksaan juga perlu diajak turut serta;
2. Presiden juga perlu bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain seperti Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan ketat kepada hakim-hakim yang diindikasikan terlibat dalam mafia peradilan. Tidak lupa bekerjasama dengan KPK untuk melakukan operasi-operasi intelijen dalam memberantas mafia peradilan. Operasi tangkap tangan juga perlu digalakkan lagi. Metode "penjebakan" sebagai suatu terobosan hukum dan sudah menjadi juriprodensi pada kasus Khairiansyah Salman dan Harini Wiyoso juga mendesak untuk diimplementasikan.