Mohon tunggu...
harry budiyanto
harry budiyanto Mohon Tunggu... -

Pengamat apa saja yang lagi "hot" dan menarik. Belajar menulis untuk mengasah otak dan nurani.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membaca Motif Artis Masuk Dunia Politik

28 April 2010   10:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:32 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignleft" width="238" caption="Jupe, sumber: goggling"][/caption] Jupe begitu shock mendengar biaya kampanye yang harus dibayar calon bupati dan calon wakil bupati sebesar Rp 7 miliar (lihat). Ketua DPC Partai Hanura Kab Pacitan Sutikno yang juga ketua partai-partai koalisi pendukung Jupe mengakui, pihaknya telah menghitung jumlah biaya kampanye sebesar Rp 7 miliar sampai Rp 10 miliar. "Sejujurnya saya jadi shock dan bingung. Dana sebesar itu untuk apa aja, ke mana aja larinya," ujar Jupe kepada INILAH.COM. Setelah Rano Karno dan Dede Yusuf sukses merambah dunia politik, banyak selebritis yang mencoba peruntungannya. Ayu Azhari, Julia Perez, Maria Eva, Ikang Fawzi, Marissa Haque, Emilia Contessa, Helmy Yahya, dan Ratih Sanggarwati adalah sosok selibriti yang mencoba atau ingin bertarung menjadi kepala daerah. Sebelumnya, dalam pemilu yang lalu, banyak sosok selibriti yang mampu naik panggung di senayan (menjadi anggota DPR) seperti Adjie Massaid, Angelina Sondakh, Tere, Eko Patrio, Rachel Maryam, Tantowi Yahya, dll. Fenomenan selibriti menjadi politikus atau pemimpin bukan hanya terjadi di Indonesia saja. Sebut saja Joseph Estrada yang mantan aktor, yang pernah menjadi presiden Filipina, mantan Presiden AS, Ronald Reagan yang juga salah seorang eks-aktor. Nama-nama lain (terutama di AS), sebut saja mulai dari Arnold Schwarzenegger, Shirley Temple Black, Sonny Bono, Clint Eastwood, Jerry Springer, hingga Jesse Ventura, atau sosok seperti Eva Peron di Argentina dan Amitabh Bachchan di India. Bahkan bintang porno - Ilona Staller alias Cicciolina terpilih menjadi anggota parlemen Italia tahun 1987. Lucunya Cicciolina melakukan kampanye politik di luar kebiasaan aksi kampanye pada umumnya. Dia menari telanjang, melakukan tari ular, dan memiliki tanda tangan di payudara (lihat). Pertanyaan banyak pihak adalah apa yang sedang dicari para selibriti tersebut? Ketenaran mereka sudah punya. Demikian juga dengan kekayaan. Lalu benarkah mereka ingin mengabdikan dirinya untuk kepentingan rakyat banyak? Atau adakah motif lain yang melatarbelakanginya. Dilihat dari cost benefit, menjadi kepala daerah lebih banyak ruginya. Bayangkan saja gaji pokok seorang bupati atau walikota hanya sekitara Rp 2 jutaan. Total penghasilan, termasuk tunjangan-tunjangan ytang diterima berkisar angka Rp 6 jutaan (lihat). Uang Rp 6 jutaan bisa didapatkan seorang selibriti sekali tampil di panggung. Tantowi Yahya misalnya, untuk mengisi acara tahun baru ditawarkan honor Rp 200 juta (lihat). Atau selibriti lain yang juga mempunyai tarif honor selibriti sebagaimana diulas di sini. Bandingkan dengan biaya yang harus mereka keluarkan untuk kampanye yang berkisar angka Rp 10 miliar-an untuk bupati/walikota atau Rp 30 miliar-an untuk gubernur. Jadi secara matematis atau untung-ruginya (cost-benefit), seorang bupati akan merugi sebesar Rp 9,6 miliar ((Rp 6 juta x 12 bulan x 5 tahun) – Rp 10 miliar) plus opportunity cost berupa honor mereka sebagai selibriti yang kemungkinan hilang selama mereka menjadi pejabat negara. Melihat angka-angka tersebut (penghasilan sebagai bupati/walikota Rp 360 juta/ tahun vs biaya kampanye Rp 10 miliar plus opportunity cost), sungguh mengherankan jika para selibriti berlomba-lomba menjadi kepala daerah. Namun demikian, konon penghasilan bupati/walikota bukan hanya gaji/penghasilan resmi seperti diuraikan di atas. Fee dari berbagai proyek di daerahnya, fee dari berbagai perijinan, dan berbagai fee dari berbagai kegiatan bersifat komersial atau profit banyak yang mampir kepada seorang bupati/walikota, sudah menjadi rahasia umum. Konon dari belanja barang/jasa dan belanja modal saja, bupati mendapat fee sekitar 10% - 15%. Angka ini penulis dapatkan dari hasil pengamatan dari berbagai sidang kasus korupsi yang melibatkan bupati, walikota, gubernur, plus berbagai sumber informasi dari aparat penegak hukum dan bahan bacaan lain. Kebocoran APBN sebesar 30% sebagaimana diungkap begawan ekonomi, Prof Soemitro Djojohadikusumo dan (mantan) Ketua KPK Taufiequrachman Ruki (lihat di sini) minimal bisa menggambarkan atau menguatkan adanya fee kepada bupati/walikota tersebut. Jika mengambil contoh kota Kediri (Lihat APBD Kota Kediri di sini), dengan belanja barang/jasa dan modal berjumlah Rp 257 miliar/tahun, maka fee yang bakal masuk ke kantong seorang bupati/walikota kurang lebih Rp 38,5 miliar (15% x Rp 257 miliar). Jadi selama 5 tahun, fee yang masuk ke seorang bupati/walikota sebesar Rp 192, 7 miliar (5 tahun x Rp 38,5 miliar). Benarkah demikian? Wallahu ‘alam Bish-shawabi. Angka yang demikian fantastis? Jika tidak benar, mengapa begitu banyak orang yang mati-matian ingin menjadi bupati/walikota. Bohong besar jika menjadi bupati/walikota tanpa biasa sepeser pun. Lihat saja berbagai spanduk dan alat kampanye lainnya yang pasti membutuhkan dana milairan rupiah. Belum lagi biaya “mahar” untuk partai politik yang mengusungnya. Kalaupun tidak dibiayai oleh mereka secara langsung, kemungkinan besar didanai oleh sponsor (pengusaha) dengan berbagai kepentingannya. Ketika mereka sudah berkorban demikian besar untuk biaya kampanye, mungkinkah tidak ada keuntungan secara materi yang mereka dapatkan ketika menjabat sebagai bupati/walikota? Fenomena selibriti masuk dunia politik tidak terlepas dari materi sebagaimana diuraikan di atas. Sebagai selibriti, mereka pasti sering diundang oleh pejabat negara untuk mengisi acara. Dengan logika sederhana mereka akan melihat bahwa orang yang mampu membayar mereka secara profesional tentu saja bukan orang sembarangan. Yang pasti kantong mereka pasti sangat tebal. Logika inilah yang penulis lihat sebagai motif artis masuk dunia politik. Mereka ingin meningkatkan status dengan menjadi orang yang mampu membayar artis. Bukankah tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah? Bagaimana dengan logika ingin mencurahkan tenaga mereka untuk kepentingan rakyat? Banyak ladang amal yang bisa menjadi saluran. Salah satunya adalah dengan membentuk yayasan-yayasan yang bersentuhan dengan rakyat. Atau dengan kegiatan-kegiatan sosial lainnya yang lebih gampang dilakukan daripada bersusah payah menjadi pejabat negara. Bagaimanapun juga untuk mengurus negara membutuhkan keterampilan khusus yang jarang dipunyai selibriti. Namun demikian harus diakui banyak selibriti yang juga mempunyai kemampuan manajerial dan skill yang dibutuhkan menjadi pejabat negara. Tentu saja, masyarakat bisa menilai track record mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun