[caption id="" align="aligncenter" width="200" caption="sumber: detik.com"][/caption] Presiden Amerika Serikat Rosevelt mencanangkan program 100 hari dengan kondisi dukungan parlemen secara penuh. Kemudian masyarakatnya relatif sudah matang, institusi-institusi demokrasinya sudah mantap, dan persnya mempergunakan kebebasannya dengan penuh tanggung jawab. Bagaimana dengan program 100 hari era SBY, khususnya dalam pemberantasan korupsi? Pada masa pemerintahan pertamanya bersama JK, pada 100 hari pertamanya, SBY-JK dihantam badai Tsunami yang meluluhlantakkan Aceh dan Nias. Di sisi lain SBY-JK dukungan dari parlemen sangat kecil. Kondisi tersebut masih ditambah dengan gaya dan karakter SBY dan JK yang kontradiktif, sehingga rivalitas kepemimpinan terlihat nyata pada 100 hari pemerintahannya. Akibatnya SBY sendiri merasa tidak puas dengan kinerja aparat penegak hukumnya dalam masa 100 hari pemerintahannya. Relatif hanya kasus Nurdin Halid yang ditangkap dalan kasus gula ilegal dan Gubernur NAD Abdulah Puteh ditahan KPK. Hampir tidak ada gebrakan (quick win) yang berarti. Namun dalam masa 5 tahun pemerintahannya, SBY dikenal paling berhasil dalam pemberantasan korupsinya. Pada masa pemerintahannya yang kedua, SBY bersama Boediono didukung oleh mayoritas kekuatan parlemen, mayoritas kepercayaan publik, berpengalaman dalam memerintah, stabilitas keamanan, dan semakin matangnya masyarakat serta institusi-institusi demokrasi dan kebebasan pers. Oleh karena itu, SBY menyatakan puas atas kinerja 100 hari pertamanya dalam penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi. SBY menyatakan bahwa banyak program yang selesai dalam 100 hari pemerintahannya, hanya saja prestasi tersebut tertutup oleh hiruk-pikuk kasus Century. Dalam pemberantasan korupsi misalnya, SBY menyatakan bahwa pemerintahannya itu sudah menunjukan keberhasilan dalam memberantas korupsi. Salah satu buktinya adalah dengan dimejahijaukan para pelaku korupsi. “Sedikitnya 140 pejabat negara tersangka korupsi dimejahijaukan. Saat ini hasil dari kinerjanya yaitu Rp 5 triliun terselamatkan dan rekening liar senilai Rp 38 triliun ditertibkan,” ungkap SBY. Lanjut Kepala Negara bahwa tugas pemerintah saat ini semata-mata bukan hanya memberantas korupsi melainkan juga mencegah agar tidak ada lagi budaya korupsi di negara ini. “Bagaimana mengupayakaan tidak ada lagi budaya korupsi," kata Presiden. Sehingga menurut Dewan Pembina Partai Demokrat 15 tahun mendatang Indonesia menjadi negara yang tertib dan tidak terkenal lagi dengan namanya korupsi. (lihat di sini). Beberapa keberhasilan lain diantaranya adalah Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalamai kenaikan dari 2,0 pada tahun 2004 menjadi 2,6 pada tahun 2008, dan akhirnya menjadi 2,8 pada tahun 2009. Catatan positif lainnya adalah SBY pada detik-detik akhir juga berhasil mempertahankan kewenangan penuntutan KPK yang pada saat pembahasan RUU Pengadilan Tipikor sempat terjadi tarik-menarik untuk menghilangkan kewenangan penuntutan KPK tersebut. Di tengah polemik dan perdebatan hukum dan politik, SBY berani mengambil terobosan/ manuver dengan menerbitkan Perpu Plt. Pimpinan KPK untuk mengatasi pemberhentian sementara kepada 3 orang pimpinan KPK dan stagnasi kinerja KPK. Terakhir adalah dukungan SBY atas penuntasan kasus Bank Century baik dari sisi politis maupun hukum. Bagaimana dengan catatan negatif SBY pada 100 hari pertama masa pemerintahannya? Dalam pemberantasan korupsi, SBY punya bawahan langsung yang sudah berpengalaman, yaitu Kapolri Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supandji. Sebagai "sopir" yang sudah berpengalaman, idealnya mereka bisa langsung tancap gagas. Namun sejauh ini Kapolri hanya menonjol dalam pemberantasan terorisme terutama keberhasilannya melumpuhkan gembong teroris Asia Tenggara. Sedangkan dalam pemberantasan korupsi, belum ada catatan yang menonjol selain hiruk-pikuk kriminalisasi Bibit-Chandra, kegagalan menangkap Anggodo, dan kisruh penanganan kasus Century. Begitu juga dengan Kejaksaan Agung. Kejagung mengklaim berhasil menuntaskan 13 kasus korupsi sesuai target program 100 hari KIB II, diantaranya menelusuri dana talangan Bank Century yang disimpan di Hong Kong dan Swiss, korupsi penggunaan aset PT Asabri, penyelamatan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 4,7 triliun atas nama Sjamsul Nursalim, dan penyalahgunaan dana program penanganan sosial ekonomi masyarakat (P2SEM) di Jatim. Dengan sumberdaya yang besar, prestasi Kejagung tersebut tidak bisa dibilang menonjol. Banyak kasus-kasus besar yang gagal dituntaskan Kejagung, seperti kasus Sjamsul Nursalim, kasus pada Kedutaan Besar R.I. di Thailand yang justru diusulkan untuk di-SP3, kasus-kasus yang melibatkan pejabat tinggi negara (seperti Menteri, Gubernur, DPR), dan juga penyakit bawaan yang belum tersembuhkan sampai sekarang yaitu mafia hukum yang masih banyak bergentanyangan di Kejagung. Rekaman Anggodo yang banyak bersinggungan dengan pejabat tinggi di Kejagung masih terus menghantui masyarakat dan menjadi catatan buruk bagi kinerja Kejagung. Begitu juga dengan peran KPK. Meskipun tidak berada di bawah presiden secara langsung, namun presiden adalah koordinator dalam pemberantasan korupsi. Tanpa adanya campur tangan presiden, misalnya soal anggaran dan dukungan politik, niscaya KPK tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam konteks 100 hari pertama, KPK yang masih compang-camping akibat kriminalisasi yang menimpa pimpinannya, terlihat belum ada gebrakan-gebrakan luar biasa sebagaimana era tahun 2008 (seperti membongkar korupsi di BI yang dikenal sebagai sarang penyamun atau mengobarak-abrik korupsi di DPR yang dikenal kebal hukum). Hampir semua kasus yang ada adalah kasus-kasus lama (roll over) dari tahun-tahun sebelumnya, kecuali kasus Anggodo. Dalam penanganan skandal Century pun , tidak ada manuver-manuver cantik dari KPK. Secara keseluruhan, SBY belum mampu memimpin pemberantasan korupsi lebih baik dan lebih berbobot daripada masa pemerintahan sebelumnya. Bahkan yang terlihat adalah adanya pembiaran pelemahan KPK dengan adanya RPP Penyadapan. Publik mengetahui bahwa penyadapan adalah senjata utama KPK dalam memberangus para koruptor. Publik juga menjadi tahu adanya mafia hukum berkat adanya penyadapan. Koruptor begitu ketakutan dengan namanya penyadapan, sedangkan publik justru berharap kecanggihan KPK dalam penyadapan ditingkatkan, bukan malah dilemahkan. Dalam kasus Bibit-Chandra, terlihat kelambanan SBY dalam menyelesaikan masalah. SBY terlihat sangat ragu-ragu atau takut menyelesaikan masalah tersebut yang sebenarnya bisa dengan cepat bisa diselesaikan. SBY juga dianggap tidak tegas dalam membenahi kinerja Kepolisian dan Kejaksaan Agung yang dianggap masyarakat kedodoran dalam pemberantasan korupsi. Begitu juga dengan pembenahan di LPSK, Komisi Yudisial, PPATK. Justru SBY membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum untuk masa kerja 2 tahun. Repotnya, di tengah-tengah keprihatinan masyarakat, justru muncul wacana kenaikan gaji presiden dan menteri-menterinya. Bahkan muncul pengadaan mobil dinas mewah untuk pejabat negara seharga Rp 1,3 miliar setiap unitnya yang dianggap melanggar Kepmenkeu No 64/PMK.02/2008 tentang Standar Biaya Umum Anggaran 2009 dan Keppres No 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Menilai kinerja pemerintahan hanya dengan melihat kienrja selama 100 hari pertama memang tidak fair. Kinerja pemerintahan sebenarnya lebih tepat dinilai minimal ketika memasuki tahun kedua, terutama bagi para menteri yang baru. Namun entah karena euforia program 100 hari di negara-negara maju, provokasi dari para pengamat dan komentator politik yang didukung media massa, membuat program 100 hari dijadikan tolok ukur masa depan pemerintah. Repotnya, Pemerintah pun kelihatannya terpengaruh euforia tersebut. SBY mencanangkan program 100 harinya. Idealnya masa 100 hari yang sangat pendek ini, dalam pemberantasan korupsi, diprioritaskan membuat program yang bersifat quick win seperti sidak penjara yang dilakukan satgas mafia hukum kemarin. Pemerintah sesungguhnya bisa melakukan sidak terhadap pelayanan publik yang terkenal dengan punglinya. Sidak terhadap pelayanan publik seperti SIM, STNK, keagrariaan, pembuatan paspor, pembuatan KTP, pelayanan kesehatan, dan berbagai proses perijinan lainnya dilakukan secara masif dan berkesinambungan. Jika pemerintah melakukan hal ini, niscaya kepercayaan publik terhadap masa depan pemerintahan SBY jilid II akan bisa terdongkrak (meningkat). Pada hari ini, tgl 28 Januari 2010, program 100 hari pemerintahan SBY jilid II telah berakhir. Publik bisa menilai sendiri keberhasilan program 100 hari pemerintahan SBY jilid II ini. Realitas sebagaimana digambarkan di atas dan berbagai realitas lainnya yang langsung dirasakan masyarakat bisa digunakan tolok ukur untuk keberhasilan program 100 hari ini. Jika Anda mau memberi nilai, berapa nilai yang wajar yang bisa diberikan kepada pemerintahan SBY khususnya dalam pemberantasan korupsi dalam 100 hari pemerintahannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H