Mohon tunggu...
harry budiyanto
harry budiyanto Mohon Tunggu... -

Pengamat apa saja yang lagi "hot" dan menarik. Belajar menulis untuk mengasah otak dan nurani.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

74,4% Publik Ingin KPK Direformasi

17 November 2009   03:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:18 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jajak pendapat yang diselenggarakan Litbang Kompas 10-12 November 2009 yang dipublikasikan hari senin, 16 November 2009 belum menunjukkan perubahan persepsi publik terhadap kinerja lembaga penegak hukum di Indonesia. Namun yang patut menjadi sorotan adalah sebanyak 74,4% responden menyatakan perlunya reformasi di tubuh KPK. Selama ini publik cenderung mempunyai persepsi positif terhadap kinerja KPK. Manuver-manuver KPK dalam pemberantasan korupsi mampu menembus lembaga/ pelaku korupsi yang selama ini hampir tidak tersentuh hukum. Birokrasi di KPK juga dikenal sebagai birokrasi modern dan menjadi proyek percontohan bagi reformasi birokrasi di Indonesia. Laporan Keuangannya pun mendapat predikat Wajar Tanpa Syarat (Unqualified Opinion). Proses pengadaan barang dan jasanya pun dikenal bersih dari praktek KKN. Personilnya dikenal tidak mau berkompromi dalam menangani perkara.

Namun demikian, keterangan dari Bambang Widaryatmo (mantan Direktur Penyidikan) dan Akhmad Wiyagus (mantan Direktur Pengaduan Masyarakat), Bibit Samad Riyanto (pimpinan non aktif), dan Ketua Tim 8, Adnan Buyung Nasution tentang KPK (reformasi KPK) perlu kita renungkan bersama. Bambang menjelaskan bahwa latar belakang penarikannya dari KPK antara lain karena tidak bisa memenuhi kepentingan individu dari pimpinan (KPK) yang menyalahi sumpah jabatan. Bambang mencontohkan, perbedaan kepentingan itu terlihat saat dirinya akan melakukan penggeledahan ruang kerja Gubernur Sumatera Selatan Syahrial Oesman dalam kasus Tanjung Api-Api. Saat itu, pimpinan KPK memerintahkan Bambang untuk menghentikan penggeledahan. "Ada perintah dari pimpinan bahwasanya tidak usah menggeledah. Padahal saya ingin mencari bukti di ruangan itu berdasarkan keterangan dari saksi-saksi. Itu dari Pak Antasari, Pak Chandra, dan Pak Ade Raharja," ungkapnya. Demikian juga dengan Akhmad Wiyagus menyatakan pernah berbeda pendapat dengan Chandra M. Hamzah (diintervensi) soal penahanan seorang saksi (Nb. Hanya tersangka yang bisa ditahan, sedangkan jika statusnya sebagai saksi tidak bisa ditahan). Bibit dalam kesempatan wawancara di TVOne juga menyatakan ada masalah di KPK yang harus dibenahi. Atas dasar keterangan dan fakta-fakta yang diperolehnya, Ketua Tim 8 juga menyatakan perlunya reformasi di KPK. Memperhatikan beberapa pernyataan dari personil KPK di atas, tidak salah kiranya jika publik pun juga menginginkan adanya reformasi di KPK. Reformasi macam apakah yang harus diterapkan di KPK?
reform
reform
Jika mengacu pada UU 30/ 2002 tentang KPK, disebutkan bahwa KPK berdiri akibat kepolisian dan kejaksaan gagal dalam melakukan pemberantasan korupsi. Uniknya, sebagian besar personil di bidang Penindakan KPK adalah polisi dan jaksa yang dipekerjakan di KPK. Yang lebih aneh lagi, meskipun dimungkinkan mengangkat penyelidik, penyidik, dan penuntut umum secara independen, pimpinan KPK tidak berani melakukannya. Mereka tetap berpandangan bahwa UU 30/2002 tidak mempunyai kewenangan mengangkat penyelidik-penyidik-penuntut umum sendiri. Akibatnya KPK masih tetap menggunakan personil yang dianggap gagal dalam pemberantasan korupsi. Jadi KPK sebenarnya lebih mirip timtastipikor, dimana Jaksa, Polisi, Auditor berada dalam 1 atap birokrasi. Dengan demikian, KPK yang sekarang berdiri bukanlah sebagaimana amanah UU 30/2002. Ketidakindependenan KPK dalam mengangkat penyelidik, penyidik, dan penuntut umum secara mandiri menjadi peluang adanya intervensi dari pihak lain. Contohnya adalah personil polisi yang dipekerjakan di KPK. Sampai sejauh ini, Polri masih menganut sistem komando terpusat sebagai upaya untuk mempermudah koordinasi pasukan di berbagai tempat. Sistem administrasi (pembinaan) kepegawaian personil Polri di KPK masih menginduk pada Mabes Polri. Kasus ditariknya Direktur Penyidikan dan Direktur Pengaduan Masyarakat dari KPK beberapa waktu yang lalu membuktikan bahwa Mabes Polri masih mengontrol secara penuh keberadaan personil Polri di KPK. Setiap saat personil KPK yang berasal dari Polri bisa ditarik. Mungkinkah para penyelidik dan penyidik ini bisa bertindak independen dalam melaksanakan tugasnya di KPK ? Atau beranikah mereka bertindak secara profesional dan proporsional dalam menangani kasus ketika ada intervensi dari Mabes Polri atau dari atasannya atau dari seniornya ? Atau setidak-tidaknya,beranikah mereka menjaga kerahasiaan informasi dalam penanganan kasus ketika Mabes Polri meminta informasi tersebut? Yang bisa menjawab secara pasti pertanyaan-pertanyaan ini adalah personil KPK yang berasal dari Polri itu sendiri. Publik hanya bisa berpikir logis bahwa dengan kondisi seperti di atas, maka Mabes Polri kemungkinan besar bisa melakukan intervensi secara tidak langsung ke KPK. UU 30/2002 tentang KPK Pasal 3 berisi ketentuan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam Pasal 39 ayat (1) disebutkan bahwa penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan UU 31/1999 jo UU 20/2001, kecuali ditentukan lain dalam UU ini. Pada akhirnya Ps. 43, 45, 51 (1) secara tegas menyatakan bahwa penyelidik/ penyidik/ penuntut umum adalah penyelidik/ penyidik/ penuntut umum pada KPK yg diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, sebenarnya tidak ada hambatan pimpinan KPK untuk bisa mengangkat penyidik dari pegawai KPK yang bukan berasal dari Polri/Kejaksaan Agung. Kalaupun toh ada perdebatan, biarlah hakim yang memutuskan. Oleh karena itu, salah satu bentuk reformasi di KPK adalah mengangkat penyelidik, penyidik, dan penuntut umum secara independen sehingga tidak ada ketergantungan dengan personil dari Polri dan Kejaksaan Agung. Dengan demikian diharapkan akan ada penerapan hukum progresif (cara baru) di KPK dalam memberantas korupsi yang telah menjadi extra ordinary crime. Pimpinan KPK yang dipilih oleh DPR, juga patut dipertanyakan kualifikasinya. Antasari Azhar termasuk personil yang ditolak habis-habisan oleh masyarakat, namun dengan percaya diri DPR tetap memilihnya menjadi pimpinan KPK, bahkan dinobatkan sebagai Ketua KPK. Aroma uang yang beredar di DPR sangat kental. Kasus Agus Condro terkait pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia, layak menjadi contoh tentang adanya aroma uang dalam pemilihan Miranda Gultom. Aroma untuk mem-back up kepentingan parpol dan pengusaha yang menjadi sponsor, juga bisa tercium masyarakat awam. Pada masa mendatang, publik selayaknya lebih aware dalam mengawal proses pemilihan pimpinan KPK. Transparansi proses pemilihan pejabat publik di DPR juga menjadi catatan tersendiri. Beberapa personil yang pernah bekerja di KPK menyatakan adanya perbedaan mencolok antara pimpinan jilid I (Ruki-Erry-Amin-THP-Rasul) dengan pimpinan jilid II (Antasari-Chandra-Bibit-Jasin-Haryono). Pada era jilid I suasana egaliter, saling percaya satu sama lain, bebas melakukan kreasi yang bertanggungjawab dalam melaksanakan tugas menjadi ciri yang menonjol. Sedangkan pada era jilid II, terkesan adanya birokrasi yang rigid. Semua kegiatan dikendalikan dan harus melalui pimpinan. Ibaratnya tidak boleh ada satu daun pun yang gugur di KPK tanpa diketahui pimpinan. Akibatnya, pimpinan jilid II lebih sering mengurusi hal-hal teknis yang seharusnya diserahkan kepada direktur/ kepala biro ke bawah. Mereka sibuk dengan urusan remeh-temeh. Akibatnya mereka sering melupakan hal-hal strategis yang menjadi tanggungjawabnya. Hampir tidak ada pemikiran strategis dari pimpinan jilid II ini. Ketidakpercayaan pimpinan kepada anak buah membuat suasana kerja menjadi kaku dan menumpulkan kreatifitas. Keberhasilan pimpinan jilid II yang mencapai puncaknya pada tahun 2008, sebenarnya merupakan hasil pekerjaan pimpinan jilid I. Ibaratnya pimpinan jilid II tinggal memanen hasil bercocok tanah pimpinan era sebelumnya. Suasana rigid membuat kreatifitas personil KPK tumpul. Mereka hanya melaksanakan perintah pimpinan. Dengan kualifikasi teknis yang lebih rendah dibandingkan era sebelumnya, maka hasil bercocok tanam pimpinan KPK jilid II ini hampir tidak kelihatan. Terbukti kasus-kasus yang ditangani KPK pada tahun 2009 sebagian besar masih merupakan lanjutan kasus-kasus yang telah ditanam pimpinan jilid I pada era tahun 2006-2007. Oleh karena itu, reformasi KPK berikutnya adalah membuka sekat-sekat birokrasi yang diciptakan pimpinan jilid II, dengan lebih memperkuat peran pengawasan internal. Dengan demikian manuver-manuver cantik KPK pada periode-periode sebelumnya bisa tercipta kembali dan asa rakyat Indonesia yang sempat tumbuh dalam pemberantasan korupsi timbul kembali. Wallahu a’lam Bish-shawabi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun