Mohon tunggu...
harry budiyanto
harry budiyanto Mohon Tunggu... -

Pengamat apa saja yang lagi "hot" dan menarik. Belajar menulis untuk mengasah otak dan nurani.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mendiknas Membohongi Kompasiana

28 Agustus 2010   04:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:39 1146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignleft" width="329" caption="M.Nuh, Mendiknas 2009 - "][/caption] Bangun tidur kesiangan sekitar jam 10.30 WIB, kemudian melihat PC-online sedang " nganggur" saya mencoba membuka Kompasiana dan langsung membaca tulisan Bung Unang Muchtar di sini . Saya tertawa geli sendiri ketika Bung Unang mengutip pernyataan Mendiknas M. Nuh, ”Hari gini korupsi, telat !”, pada saat buka bersama Kompasiana pada hari Jum’at tanggal 27 agustus 2010 yang diadakan di Hotel Santika Jakarta. Pertanyaannya adalah benarkah M.Nuh mempunyai komitmen tinggi dalam pemberantasan korupsi di Kementrian Pendidikan Nasional? Mari kita lihat fakta-fakta berikut ini (saya ambil contoh korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan). DAK Bidang Pendidikan dialokasikan untuk menunjang pelaksanaan wajib belajar 9 tahun dan diarahkan untuk rehabilitasi ruang kelas serta pembangunan ruang perpustakaan sekolah dasar beserta perangkatnya. Tahukah Anda, berapa DAK Bidang Pendidikan yang dikucurkan pemerintah untuk membantu daerah membiayai peningkatan mutu pendidikan di daerah? Jumlahnya dari tahun ke tahun selalu meningkat. Tahun 2006 DAK Bidang Pendidikan yang disalurkan ke daerah Rp2,9 triliun, tahun 2007 sebesar Rp5,1 triliun, tahun 2008 sebesar Rp7 triliun, tahun 2009 sebesar Rp9,3 triliun, dan tahun 2010 sama dengan tahun 2009 sebesar Rp9,3 triliun. Uang inilah yang menjadi "bancakan" oknum Kementrian Pendidikan Nasional sampai aparat di daerah plus pengusaha-pengusaha swasta yang mampu melihat peluang emas tersebut. Benarkah demikian? Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan peyimpangan pemanfaatan dana dalam pelaksanaan pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam bidang pendidikan senilai Rp 2,2 triliun (lihat di sini). Berdasarkan investigasi ICW (Indonesia Corruption Watch) yang dipublikasikan di sini terdapat banyak modus operandi penyimpangan DAK Bidang Pendidikan, yaitu antara lain sbb: Penunjukan Langsung Meskipun dalam Petunjuk Teknis yang ditetapkan Kemendiknas pelaksanaan renovasi sekolah-sekolah dilaksanakan dengan swakelola (dikerjakan sendiri oleh sekolah), pada prakteknya di lapangan di banyak daerah (Bupati dan kepala Dinas Pendidikan) menunjukkan rekanan tertentu untuk melaksanakan pembangunan/renovasi sekolah tersebut. Biasanya rekanan tertentu tersebut mempunyai kedekatan dengan pejabat daerah. Praktek-praktek (modus operandi) korupsi dengan metode penunjukan langsung seperti mark up harga, mark down kualitas bangunan, kick back (penyuapan) atau gratifikasi kepada pejabat daerah banyak terjadi. Mark Up Harga Di samping untuk renovasi sekolah, alokasi DAK Bidang Pendidikan juga digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan dengan cara pengadaan buku pengayaan, alat peraga, alat multimedia, dan lain-lain. Jika Anda meminta bantuan paman Google dengan kata kunci ”korupsi DAK Bidang Pendidikan”, maka akan banyak ditemukan berbagai modus operandi mark up harga ini. Di kabupaten Tebo yang mendapat alokasi DAK Bidang Pendidikan senilai Rp13,4 milyar pada tahun 2008 misalnya, dijumpai mark up pada pengadaan komputer lebih dari 100% dari harga normal (saat ini sedang disidik Polda Jambi). Mark up juga dijumpai pada renovasi sekolah. Mutu bangunan sering tidak sesuai dengan dana yang telah dikeluarkan,seperti halnya di Ponorogo dan di 400-450 daerah lainnya yang mendapatkan alokasi DAK Bidang Pendidikan. Pungutan Liar Di beberapa daerah ditemukan adanya pungutan liar dari oknum Dinas Pendidikan. Modus operandinya kurang lebih sebagai berikut: setiap sekolah di seluruh Indonesia (terdapat 20.000-25.000 sekolah dasar yang menerima DAK Bidang Pendidikan setiap tahun) menerima alokasi dana DAK Bidang Pendidikan sebesar Rp150juta/sekolah. Untuk mendapatkan dana tersebut bukanlah perkara mudah. Sekolah mengusulkan ke Dinas Pendidikan, kemudian Dinas Pendidikan melalui Bupati/Walikota membuat usulan ke Kementrian Diknas. Kementrian Diknas mengusulkan anggaran ke Kementrian Keuangan dan bersama-sama dengan DPR menentukan alokasi anggarannya. ”No free lunch” ... demikian kira-kira ungkapan paling tepat untuk menggambarkan bahwa sekolah tidak tiba-tiba mendapatkan dana DAK turun dari langit. Semuanya perlu lobi dan usaha keras. Biasanya dana yang turun ke sekolah tersebut (Rp150juta) yang digunakan untuk biaya lobi. Berdasarkan info dari sumber terpercaya 10% dari Rp150juta digunakan untuk keperluan lobi tersebut. Dengan demikian, jika ada 20.000 sekolah yang melakukan hal yang sama, maka dana sebesar Rp3triliun menguap dimakan setan gentayangan. Konon mulai dari oknum aparat Dinas Pendidikan, pejabat Daerah, Kementrian Pendidikan Nasional, Kementrian Keuangan, dan oknum anggota DPR ikut menikmatinya. Itulah sebagian jawaban yang saya kemukakan ketika beberapa tetangga menanyakan kepada saya kenapa semua pegawai kemetrian pendidikan nasional yang berada di lingkungan saya tinggal begitu ”wah” hidupnya. Gaya hidupnya jauh melebihi penghasilannya sebagai seorang PNS. Lucunya hampir semuanya menjadi pejabat penting, dari mulai ketua RT sampai ketua RW. Cerita ini pula yang pernah saya sampaikan secara detil kepada Bapak M.Nuh beberapa bulan yang lalu dan beliau berjanji untuk menindaklanjutinya. Repotnya, ketika bertemu dengan beberapa pengusaha yang ikut menikmati bisnis DAK Bidang Pendidikan ini minggu yang lalu, mereka menyatakan bahwa modus operandinya masih sama dan tidak ada perubahan sama sekali. Hal inilah yang membuat saya beberapa kali sms ke HP Mendiknas, meskipun tidak pernah ada jawabannya. Mungkin beliau begitu sibuk sehingga tidak merespon masukan saya. Atau bisa saja beliau bingung harus berbuat apa menghadapi gurita korupsi di Kementrian Pendidikan Nasional. Untung saya tidak datang kemarin, sehingga saya hanya bisa tertawa geli. Salam tertawa geli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun