[caption id="attachment_416150" align="aligncenter" width="620" caption="Sumber foto: Kompas/Ferganta Indra Riatmoko"][/caption]
Refleksi demi Memahami Dinamika Kraton Jogja,....
Menyimak dinamika yang terjadi dalam internal Kraton Ngayogyakarta akhir-akhir ini,ada baiknya kita sejenak merefleksikan kembali tentang Kerajaan dalam kerangka Keistimewaan Yogyakarta. Refleksi ini semoga membantu memperluas persepktifketika kita bermaksud mengedukasi diri demi membangun kesadaran diri yang lebih luas, arif, terbuka dan jernih dalam upaya memahami dinamika kerajaan.
Dalam kurun waktu 2010 – 2012, rakyat Yogyakarta, bersatu padu “sakiyek sakeko praya”, berjuang untuk mendapatkan pengesahan yuridis formal atas Keistimewaan Yogyakarta. Membuahkan hasil dengan disahkannya UU 13/2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta. Implikasi buah perjuangan rakyat Yogyakarta dengan UU nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan tersebut adalah meneguhkan pengakuan rakyat Yogyakarta bahwa kita mempunyai sistim kepemimpinan daerah istimewa yaitu Sri Sultan Hamengku Bawono X, sebagai Raja Ngayogyakarta Hadiningrat sekaligus Gubernur DIY.Pengakuan atas adanya Raja dan Kerajaan membawa konsekuensi logis berupa pengakuan peran Raja dan Kerajaan Ngayogyakarta dengan seluruh dinamika Kerajaan yang menyertai.
Dinamika Kerajaan
Ada tiga dinamika Kerajaan Ngayogyakarta, yaitu Dinamika Internal Kraton, Dinamika Eksternal horisontal dan Dinamika Eksternal vertikal.
Dinamika internal Kraton adalah dinamika yangterjadi di dalam Kraton. Dinamika eksternal horisontal Kraton adalah dinamika hubungan antara Raja/Kraton dengan warga kawula (rakyat) Yogyakarta. Dinamika eksternal vertikal Kraton adalah hubungan kepemimpinan antara Raja Ngayogyakarta dengan Pemerintah Pusat NKRI.
Dinamika Internal Kraton adalah seluruh dinamika yang dari, oleh dan untuk kerabat kerajaan dibawah pimpinan Raja. Dinamika internal ini berbasis Sabda, dawuh paugeran/pranatan dan tradisi kraton, yang mengolah dan memberlangsungkan sistim internal kraton. Termasuk dalam dinamika internal kraton adalah penetapan Gelar dan sistim Suksesi kepemimpinan Kerajaan Ngayogyakarta.
Gelar yang dipakai oleh seorang Raja, adalah sebuah pilihan. Seorang Raja boleh memilih Gelar apapun yang beliau mau. Maka sejak jaman Mataram pun, bisa ada yang berbeda. Pendiri Mataram Danang Sutawijaya anak Ki Ageng Pemanahan juga “memilih” gelar baginya yaitu “Panembahan Senapati”, ia tidak memakai sebutan Gelar Sultan maupun Susuhunan. Raja boleh memilih memakai gelar yang sama dengan pendahulunya, maupun memilih memakai gelar yang baru.Dalam karya literasi manapun memang tidak ada catatan bahwa Gelar tertentu menjadi prasyarat seorang Raja dinobatkan. Raja akan menimbang jaman ketika akan memilih gelar mana yang akan dipakai. Sultan Agung Hanyakrakusuma atas pertimbangan jaman pada tahun 1641 mengubah gelarnya dari yang sebelumnya “Susuhunan” menjadi Sultan.
Tradisi, paugeran dan pranatan Kraton adalah juga termasuk dinamika internal Kraton. Pranatan dan Paugeran bersumber dari Titah Sabda Raja. Maka seorang Raja yang mengeluarkan Titah Sabda memang bisa menjadi sumber lahirnya pranatan / paugeran. Seorang Raja bisa saja memakai tradisi, paugeran dan pranatan yang telah berlangsung berpuluh bahkan beratus ratus tahun yang lalu, tetapi juga bisa memilih untuk merubah tradisi, pranatan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu atas kebijaksanaannya dalam menimbang jaman. Sebagai contoh hal ini bisa kita lihat pada saat Sultan Agung Hanyakrakusuma, mengintegrasikan sistim kalender tahun Saka Jawa.
Posisi Dinamika Internal Kraton adalah sangat eksklusif, otonom dan tidak terintervensi dari unsur luar manapun. Dengan posisi ini memang menjadi tidak nyambung atau tidak relevan, manakala ada sementara rakyat Yogyakarta melibatkankan diri dalam dinamika internal Kraton. Bahkan Pemerintah pusatpun telah menegaskan bahwa tidak akan melibatkan diri, mengintervensi apa yang menjadi urusan internal Raja beserta segenap kerabat kraton Yoygyakarta.
Apakah Sabda Raja bisa salah ?, dalam konteks kerajaan maka sabda tidak bisa salah, karena itu tadi sabda jadi sumber. Bagaimana jika Sabda bertentangan dengan hukum moral, humanisme dan kodrat, maka hal itu akan dievaluasi langsung oleh TUHAN.Dalam sejarah dunia Tuhan tidak jarang menghukum seorang Rajayang perilakunya durhaka menentang kodrat & nilai-nilai dasar kemanusiaan.Bagaimana posisi rakyat (kawula)terhadap Sabda Raja. Hanya satu yaitu menghormati dan berharap bahwa hal itu demi kebaikan & kesejahteraan bersama. Rakyat tidak bisa mengkoreksi Sabda Raja. Memang rakyat kawula hanya bisa puas, netral atau kecewa.
Tri Prasetya Adiluhung
Saat ini dalam posisi Raja Ngayogyakarta telah mengeluarkan Sabda Raja, yang antara lain tentang Gelar untuk putri pertamanya yaitu dari GKR Pembayun, menjadi GKR Mangkubumi. Sabda Raja ini dengan mudah ditafsir oleh berbagai pihak sebagai “penetapan”putri mahkota penerus kepemimpinan. Terhadap hal ini tentu banyak tanggapan dan tafsir. Suatu hal yang normal ada pihak yang puas, lega, ada yang netral dan ada pula yang kecewa. Sementara Sultan sendiri saat inibelum memastikan GKR Mangkubumi sebagai putri mahkota. Beliau hanya menetapkan gelar baru, soal suksesi ya itu nanti bagaimana pesan wangsit dari para leluhur selanjutnya.
Posisi rakyat/kawula hanya bisa menerima, sebagai konsekuensi atas pengakuan eksistensi Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun rakyat/kawula bisa terus menerus mengingatkan kepada Sang Raja terhadap posisi, peran dan komitmenya yaitu :
a.Jikalau nanti sudah ada putera mahkota yang definitf telah ditetapkan, maka perlu kiranya dipersiapkan betul Asset Diri &Kepemimpinannya. Seperti halnya calon Raja jaman dahulu kala yaitu perlunya melakukan apa yang disebut “ngulandara” hidup berkelana dari hutan ke hutan, dari gunung ke gunung, menyamar sebagai rakyat jelata. Ini merupakan persiapan hidup yang berempati terhadap kesederhanaan, mengolah kepekaan-kepekaan sosialnya, mengasah mata bathinnya, Belajar hening dan wening dalam laku samadhi demi mendengar Sabda Jati yang berasal dari Tuhan.
b.Putera mahkota, harus memahami makna seorang Raja yaitu sebagai “Sohing Kawula”, pemersatu pengemban dan pelayan kawula. Pesan “sohing kawula” dibangun dalam semangat egalitarian, dengan berbagi peran kepada kerabat Kraton, yang dimungkinkan adanya badan penasehat sekaligus pengawas agung. Dalam khasanah Kerajaan kuna ada trilogi peran puncak yaitu “ Raja; Pendita dan Patih” , kita bisa menggunakan prinsip ini diintegrasikan dalam konteks kekinian maupun reformasi unik dalam kraton.
c.Kalau Raja sebagai “Sohing Kawula”, maka ia harus tunduk mengikatkan diri pada janji, prasetya. Dalam konteks Yogyakarta Istimewa, Tri Prasetya Adiluhung itu adalah komitmen total untuk memegang teguh janjibahwa semua kebijakannya kelak hanya demi : a). Hamemayu Hayuning Bawono; b. Manunggaling Kawula Gusti dan c. Tahta untuk Rakyat.
Jadi Raja atau “Sohing Kawula” Ngayogyakarta yang memimpin rakyat Yogyakarta Istimewa adalah sosok yang bertekad menjiwai (mangrasuk & hangugemi) nilai-nilai keluruhan yang terkandung dalam Tri Prasetya Adiluhung( Hamemayu Hayuning Bawono ; Manunggaling Kawula Gusti & Tahta untuk Rakyat ). Ia senantiasa merevitalisasi dan mengaplikasikan nilai-nilai tersebut demi terwujudnya kesejahteraan kawula yang terukur dan dinamis. Siapa figur yang lebih berhak dan dari jalur keturunan mana asalnya menjadi relatif tidak terlalu penting dibanding dengan tingkat pemahaman hakikat& komitmennya terhadap “Tri Prasetya Adiluhung”.
Keris Jaka Piturun, barangkali saat ini sulit dicari keberadaanya, tetapi nilai keutamaan “Tri Prasetya Adiluhung” ada di hati kita masing-masing. Apakah kita siap mendengar dan bertransformasi, Tuhan menunggu jawaban kita. (HC)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H