“Ini sebagai awal perkenalan, Rien.”
Rien menatap keanehan. Tumben-tumbenan sahabatnya itu memberikan amplop kepadanya. Ada yang tidak beres, batinnya.
“Loh, bukannya kita sudah saling mengenal ?”
Agyas tertawa pelan. Kedua tangannya masih menari di atas meja yang sangat sederhana. Warna meja itu biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Coklat standar, seperti warna meja lesehan pada umumnya. Sampai saat inipun, banyak orang masih bertanya-tanya, mengapa warna meja makan selalu didominasi warna coklat, padahal masih banyak warna lain yang lebih elegan, putih misalnya.
Apa dikarenakan warna coklat akan mengurangi esensi kejorokan pada etika jamuan makan atau karena warna coklat bisa menghilangkan kesan norak, entahlah. Yang pasti, otak lelaki dekil itu sedang fokus pada tujuannya datang ke rumah Rien, bukan membahas tentang meja makan coklat ini.
“Bukan seperti itu, maksudku”
Hembusan angin lembut masih menyergap kedua sahabat di teras rumah. Dua botol mineral sudah mulai menyusut dari sudut bibir Agyas.
“Maksudnya ?” tanya Rien sambil berdiri. Kedua tangannya sibuk mengeringkan lantai yang sempat basah oleh tampias air hujan.
“Bapak meminta kesediaanmu untuk membantunya”
“Ayahmu ?” Wanita berhidung mancung menoleh ke arah Agyas
“Lain Rien,” lelaki tua tertawa. Rien menatap kebingungan