“Nah, hidup. Cepat matikan semua sumber dari PLN,” perintah lelaki berhidung pesek itu.
Setengah berlari, Rien menurunkan semua saklar yang bersumber dari kabel PLN. Agyas berpindah tempat ke meja lesehan di depan teras.
Lelaki bertubuh gelap tersenyum melihat kelakuan sahabatnya itu. Sebagai sesama perantau, dia paham benar bagaimana wanita bertubuh langsing di hadapannya ini berjuang keras menghidupi keempat anaknya.
“Minumlah dulu,” Rien menyodorkan minuman kesukaan sahabat terbaiknya.
Lelaki bertubuh dekil itu langsung menyeruput kopi kental pahit.
“Lanjutkan, Yas.”
Lelaki beruban itu mengatur posisi duduknya, mengernyitkan dahinya sedikit ke atas, coba memikirkan apa yang sempat menghilang di tengah jalan.
“Jadi begini, aku membawa titipan dari Bapak,” ucap Agyas sambil mengeluarkan amplop dalam lipatan kemejanya yang membasah.
Rien melirik ke amplop di tangan teman kuliahnya itu, sambil meluruskan kedua kakinya di bawah kolong meja lesehan.
“Apa ini, Yas ?”
Agyas coba bersikap tenang. Diaturnya nafas, ditariknya perlahan, lalu dihembuskannnya ke udara.