Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) adalah Lembaga pembiayaan independen yang mampu menyediakan pembiayaan, penjaminan, asuransi, dan jasa lainnya dalam rangka mempercepat laju pertumbuhan perdagangan internasional Indonesia dan meningkatkan daya saing pelaku bisnis.Â
Secara khusus, dalam Pasal 5 ayat 2 UU No. 2 Tahun 2009 dijelaskan bahwa pembiayaan ekspor nasional dapat dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah. Selain itu, dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.010/2009 tanggal 31 Agustus 2009 tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia dinyatakan bahwa kegiatan usaha LPEI dapat dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Selanjutnya, kewenangan LPEI dalam memberikan pembiayaan ekspor nasional menurut prinsip syariah ini perlu dioptimalkan secara serius. Hal ini mengingat pangsa pasar pembiayaan syariah masih sangat besar, baik dalam tataran global maupun nasional.
Selain itu, jika dilihat dari jenis akad yang digunakan dalam proses pembiayaan ekspor syariah, baik dalam transaksi pembiayaan syariah investasi ekspor maupun Pembiayaan Syariah Modal Kerja Ekspor, masih didominasi oleh akad murabahah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu dilakukan suatu analisis terhadap praktik pembiayaan ekspor nasional syariah yang dilakukan oleh LPEI selama ini yang mencakup model atau struktur organisasi atau unit yang memberikan layanan pembiayaan ekspor nasional syariah kepada nasabah dan variasi jenis akad yang digunakan dalam transaksi pembiayaan ekspor nasional syariah.
Berbagai Permasalahan Terkait Akad Murabahah dalam Isu Syariah Lembaga Pembiayaan Ekspor Syariah (LPEI)
1. Isu Syariah
- Murabahah dapat terjebak ke dalam akad tawarruq sehingga tidak terjadi transfer of ownership secara nyata dari Bank kepada Nasabah.
- Adanya mark up keuntungan didasarkan pada pembiayaan secara non-tunai dianggap sebagai konsep value of time yang bertentangan dengan nilai syariah.
- Apabila tidak ada aktivitas penyerahan obyek pembiayaan Murabahah maka kontrak yang terjadi akan jatuh sebagai akad pinjam meminjam.
- Rescheduling atau roll over pada nasabah tidak mampu bayar Murabahah dianggap sebagai bentuk riba akibat pembebanan biaya tambahan atas kompensasi pertambahan waktu
- Pemberian potongan dalam Murabahah bagi Nasabah yang melakukan pelunasan lebih awal dari waktu yang telah disepakati apabila telah diperjanjikan
2. Isu Legal
- Beberapa akta pembiayaan yang dibuat oleh Notaris belum memenuhi syarat dan rukun pokok perjanjian yang diatur dalam hukum syariah.
- Adanya klausul aksionerasi dalam akad Murabahah yang melemahkan kedudukan nasabah (misal klausula larangan bagi nasabah (negative covenant)
- Adanya hak tanggungan (APHT) margin keuntungan pihak Bank bisa menjadi riba
- Adanya pluralisme hukum terkait aspek jaminan.
- Beberapa akad masih mengatur penyelesaian sengketa yang bertentangan dengan kewenangan absolut Pengadilan Agama
3. Isu Operasional
- Konsep Bank sebagai lembaga intermediasi uang mengakibatkan Bank tidak bisa berlaku sebagai penjual langsung pada pembiayaan Murabahah.
- Pertanggungan risiko atas barang secara keseluruhan seringkali dilimpahkan kepada pihak nasabah atas akad wakalah dari pihak Bank
- Pembiayaan Murabahah sering dipersamakan dengan utang piutang karena tidak berlakunya pajak PPN atas jual beli.
- Apabila Nasabah mengakhiri kontrak dengan cara berpura-pura tidak mampu memenuhi kewajiban dapat dikategorikan sebagai moral hazard yang dapat merugikan Bank.
- Adanya klaim Nasabah bahwa mereka tidak berhutang kepada Bank, tapi kepada pihak ketiga yang mengirimkan barang.
Berbagai Permasalahan Terkait Akad Musyarakah dan Musyarakah Mutanaqishah dalam Lembaga Pembiayaan Ekspor Syariah (LPEI)
1. Isu Syariah
- Prinsip "dua-akad dalam satu-barang" ketika akad sewa dan beli disepakati dalam waktu yang sama
- Muncul ta'alluq (keterkaitan, connecting aqad) jika ijarah yang diterapkan pada akad kedua setelah musyarakah dikondisikan (ta'alluq)
- Obyek/barang musyarakah maupun musyarakah mutanaqishah dijadikan agunan
- Obyek sewa belum tangible ketika akad.
- Keberlanjutan pembiayaan apabila dilakukan penjualan share oleh nasabah kepada bank dan sebaliknya.
- Biaya maintenance dan asuransi aset yang sepenuhnya dibebankan kepada pihak nasabah.
2. Isu Legal
- Perbedaan aturan fiqih dengan hukum positif Indonesia terkait pencatatan sertifikat kepemilikan.
- Lemahnya posisi hukum bank syariah tidak dapat menggunakan surat pengakuan hutang, maupun meletakan hak tanggungan (APHT) atas pengalihan kepemilikan
- Fatwa DSN dan PBI atau SEBI belum cukup lengkap mengatur substansi perjanjian perbankan syariah yang diperlukan oleh Notaris maupun Bank syariah.
- Kewajiban nasabah untuk membeli keseluruhan objek ketika terjadi event of default telah menyimpang dari prinsip profit loss sharing Musyarakah.
- Beberapa klausula perjanjian masih mengacu secara penuh konsep perbankan konvensional.