Ilustrasi-twitter/Admin (corporate-eye.com)
Judul di atas sengaja saya tuliskan, setelah membuka akun facebook saya. Yach... sudah cukup lama saya tidak mengakses situs jejaring pertemanan. Kira-kira, 4 harian. Biasanya, setiap hari saya selalu membuka akun facebook saya. Sekedar melihat ada kabar terbaru apa dari teman saya, atau membaca komentar-komentar lucu, aneh dan nyeleneh yang dilontarkan teman-teman saya. Rabu, 19 Mei 2010, sekitar pukul 7 pagi, saya pun on-line. Alangkah terkejutnya saya saat membuka akun facebook saya. Ternyata teman-teman saya sedang ramai membicarakan mengenai pemberitaan ngawur salah satu televisi berita yang punya motto "terdepan dalam mengabarkan" dengan pe-de memberitakan kalau pencipta lagu Bengawan Solo, Gesang, meninggal dunia. Ada yang menarik dari komentar yang dituliskan teman-teman saya itu. Beberapa orang bahkan sempat menuliskan komentar dengan kalimat "ah dasar.... jurnalisme twitter". Komentar itu tentu saja sangat menggelitik alam kesadaran saya. Betapa tidak? Jelas-jelas, komentar itu bukanlah untuk memuji "kepiawaian" sang jurnalis stasiun televisi berita tersebut. Melainkan menyindir dengan sangat keras. Setelah mencerna dan menelaah, saya menjadi mengerti dan maklum, mengapa mereka sengaja menuliskan jurnalisme twitter. Rabu 18 Mei 2010, sekitar pukul 19.00 wib, sebuah stasiun televisi berita menurunkan berita, Gesang meninggal dunia. Berita meninggalnya Gesang tentu saja sangat mengagetkan khalayak luas. Dampak pemberitaan itu benar-benar sangat meluas. Sampai-sampai, pihak keluarga harus mengeluarkan pernyataan kalau Gesang belum wafat. Melainkan masih menjalani perawatan intensif di ruang ICU RS PKU Muhammadiyah, Solo, Jawa Tengah, lantaran menderita gangguan lemah jantung dan saluran kencing. Pemberitaan ngawur yang diturunkan stasiun televisi berita itu benar-benar sangat menyesatkan... dan berdampak sangat luas. Bagaimana bisa, seorang jurnalis dari sebuah stasiun televisi berita itu memberikan informasi kepada masyarakat menganai sesuatu yang belum pasti dan tidak sesuai fakta di lapangan. Apa yang dilaporkan sang jurnalis, mirip dengan status yang dituliskan di twitter atau facebook. Tidak berdasarkan fakta dan realita. Apa pasal? Menurut pemahaman saya sebagai orang yang sangat awam, jurnalisme twitter itu jelas-jelas tidak ada. Lantaran twitter bukanlah bagian dari kegiatan jurnalistik ataupun sebuah media on line yang banyak beredar di dunia maya. Twitter merupakan sebuah situs jejaring sosial. Dimana menjadi tempat sebagian orang untuk membicarakan berbagai topik. Twitter merupakan tempat bersosialisasi di dunia maya. Proses komunikasi yang terbentuk adalah karena relasi, bukan informasi. Kalau pun ada informasi yang disebarkan, maka itu adalah efek yang tidak terhindarkan dari diseminasi informasi. Informasi ikut disebarkan karena adanya nilai berita yang sangat besar: Diseminasi berarti "kegiatan menyebarluaskan suatu doktrin/pemikiran". Ini adalah kali kesekian, stasiun televisi berita itu menurunkan berita ala jurnalisme twitter. Masih segar dalam ingatan, bagaimana salah seorang jurnalis stasiun televisi berita itu dengan penuh percaya diri memberitakan kalau Noordin M. Top, gembong teroris yang menebarkan teror di Indonesia, telah tewas di tembak Detasemen Khusus Anti Teror 88 Mabes Polri. Noordin tewas dalam penyergapan yang dilakukan Densus 88 di sebuah rumah di dusun beji, desa Kedu, Temanggung, Jawa Tengah, Agustus 2009 silam. Bahkan sang jurnalis dengan detil menjelaskan matinya sang gembong teroris. Namun belakangan diketahui, mayat tersebut adalah Ibrohim alias Boim. Salah satu "pengantin" Noordin. Dalam dunia broadcasting television, rating dan share memang menjadi dewa. Tapi apakah demi rating dan share yang tinggi, stasiun televisi berita boleh menghalalkan segala cara? Termasuk mengadopsi istilah jurnalisme twitter dan jurnalisme air mata? Lantas, mau dibawa kemana dan bagaimana nasib masa depan jurnalisme Indonesia, jika kitab suci para jurnalisnya saja adalah... jurnalisme twitter dan jurnalisme air mata? Bisa-bisa, berita-berita yang disiarkan stasiun televisi berita merupakan informasi khayalan. Kasihan penonton beritanya, hanya disuguhi informasi palsu dan bohong, yang tak jelas kebenarannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H