Sudah merupakan pengetahuan umum bahwa etnis Betawi adalah penduduk asli kota Jakarta (dulu bernama Batavia). Tetapi berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia yang mana penduduk asli lebih banyak daripada pendatang, etnis Betawi justru tidak mendominasi dalam berbagai bidang di Jakarta seperti dalam jumlah ataupun peran.Â
Etnis Betawi pada zaman sekarang lebih banyak tinggal dipinggir Jakarta atau daerah sekitar Jakarta seperti Bekasi, Tangerang, Depok, Karawang. Hal ini yang membuat dikemudian hari memunculkan istilah Betawi Udik, Betawi Pinggir, dan Betawi Tengah.
Sedangkan menurut Shahab, etnis Betawi diperkirakan baru terbentuk pada abad ke-19 (1815-1893). Anggapan ini berdasarkan kepada studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dilakukan oleh Lance Castle.Â
Dalam studi itu data sensus penduduk yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda tidak memunculkan nama etnis Betawi hingga tahun 1815. Baru pada 1930 etnis Betawi tercantum dalam sensus penduduk dengan jumlah 778.953 penduduk dan menjadi mayoritas di Batavia kala itu.
Etnis Betawi juga tidak bisa dipisahkan dengan Ulama dan Islam. Islam dan Ulama bagi masyarakat Betawi ibarat sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Ulama memiliki kedudukan penting dan terhormat bagi orang Betawi, bahkan kadang peng-hormatan terhadap ulama apalagi para ulama dari kalangan habaib, cenderung berlebihan.Â
Sementara itu, Islam adalah agama yang melekat bagi orang Betawi, meskipun ada juga minoritas orang Betawi yang beragama non-Islam. Kelekatan masyarakat Betawi dengan Islam sangat dipengaruhi oleh peran para ulama dalam membawa dan menyiarkan ajaran Islam di Batavia. Â Â
Proses penyebaran Ajaran Islam di kalangan Etnis Betawi di BataviaÂ
Penyebaran Islam di kalangan Etnis Betawi para sejarawan memiliki beberapa perbedaan. Seperti Ridwan Saidi mengatakan bahwa Islam datang pertama kali ke Betawi pada awal abad ke-15 dengan berdirinya pesantren Qura di Tanjung Pura, Karawang yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin dari Champa tahun 1491 atau tahun ke-6 kekuasaan prabu Siliwangi.[1] Hal ini terjadi didukung dengan adanya kekacauan di Kerajaan Champa dan dan  kaum muslim dipimpin Syeikh Hasanuddin hijrah ke Jawa.Â
Pendapat ini diperkuat juga dengan adanya jalinan  kerja  sama  antara  kerajaan  Champa dengan kerajaan Jawa Majapahit, yang semakin meningkat pada pada ke-14 M dan disebut-sebut dalam Babad Majapahit (Jawa) mulai adanya Islam di wilayah Jawa Timur itu.Â
Pada masa ini telah terjadi di antara kedua kerajaan hubungan diplomatik  dan perdagangan, lalu Raja Che Nang memilih Jawa sebagai tempat suaka politik dari tekanan Vietnam terhadap pusat ibu kota Champa.