Tulisan ini adalah permenunganku.Â
Persatuan suami istri di dalam sakramen perkawinan, merupakan kesatuan yang kudus oleh karena kasih karunia Allah. Sungguh hanya karena Allah yang menyatukan tak terceraikan. Aku adalah seorang istri. Hanya karena kasih karunia Allah saja aku dipersatukan dengan suamiku yang sungguh mampu menghadirkan kerajaan Allah dalam rumah tangga kami. Damai sejahtera dan sukacita dalam segala perkara kami lalui bersama. Hanya karena Roh Kudus yang membimbing kepasutrian kami, sehingga boleh mengecap betapa indahnya Kristus.
Sebagai istri aku rajin bekerja, pandai cari uang, bangun paling pagi, menata rumah, rumah indah dan rapi, mengurus anak-anak, setiap hari masak untuk keluarga, menyediakan makanan sehat untuk keluarga, berpenampilan menarik, aku mempunyai relasi sosial yang baik, aktif di berbagai kegiatan dan pelayanan. Kupikir itu sudah lebih dari cukup untuk disebut sebagai istri yang cakap.
Amsal 12:4 Istri yang cakap adalah mahkota suaminya, tetapi yang membuat malu adalah seperti penyakit yang membusukkan tulang suaminya.
Suamiku akan disebut berbahagia karena aku adalah mahkotanya, ibarat seorang raja yang duduk di singgasana, maka aku adalah mahkotanya yang indah dan sangat berharga. Mahkota yang dimaksud ini bukan posisi yang lebih tinggi untuk memerintah suami, bukan, bukan ini yang dimaksud. Mahkota ini adalah tentang nilai-nilai kerajaan Allah. Â
Dulu aku sering menuntut suami untuk melakukan apa yang kuinginkan, apa yang kubayangkan tentang pernikahan yang harus serba bahagia dan berkecukupan. Kesibukanku membersihkan dan menata rumah menjadi celah di hatiku, aku melakukannya dengan bersungut-sungut, mengomel dan menunjukkan ketidaksukaanku pada suami maupun anak-anakku bila rumah berantakan tidak sesuai dengan yang kuharapkan. Hasil masakanku jika tidak dimakan oleh anak-anak dan suamiku, aku pun marah, merasa tidak dihargai. Uang yang kuperoleh dari pekerjaanku kugunakan untuk kebutuhan rumah tangga dengan perasaan tinggi hati, merasa lebih hebat dari suami. Hal-hal ini membuatku letih setiap hari, letih lagi dan letih lagi, merasa tidak sukacita, padahal aku merasa sudah bekerja dan mengurus rumah tangga dengan baik. Perilakuku ini bukan mencerminkan mahkota, namun seperti penyakit yang membusukkan tulang suamiku.Â
Hingga Allah membuka hatiku dengan Roh KudusNya. Ibrani 13:15-16 Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir  yang memuliakan nama-Nya. Dan janganlah kamu lupa berbuat baik dan memberi bantuan, sebab korban-korban  yang demikianlah yang berkenan kepada Allah. Dikatakan bahwa, istri yang cakap dihadapan Allah adalah 1) Bersyukur  2) Berbuat baik  3) Memberi bantuan  4) Berdoa. Â
Hal bersyukur, aku sungguh harus belajar. Seringkali aku hanya bersyukur pada peristiwa-peristiwa bahagia, peristiwa yang sesuai dengan keinginanku, seperti misalnya mendapatkan kecukupan uang, kesehatan, hadiah, kesembuhan, keberuntungan. Pada peristiwa-peristiwa yang sulit seperti misalnya; sakit, uang mulai menipis, kebingungan, konflik, sungguh sangat sulit untuk mengucapkan rasa syukur pada peristiwa sulit tersebut. Hanya karena kasih karunia Allah saja aku bisa mengucapkan rasa syukurku atas peristiwa sulit ini, misalnya, saat pulang kerja rumah berantakan karena aktivitas suami dan anak-anak, aku mengucap syukur karena aku dianugerahi keluarga yang dekat denganku. Saat, anak dan suami sakit, aku bersyukur karena Allah senantiasa menyertai kami. Saat anak mengalami kesulitan dalam belajar, aku bersyukur bahwa Allah memberi kesempatan untuk aku dapat mendampingi anakku, saat suamiku sedikit dapat rejeki maka aku tetap bersyukur berapa pun rejeki yang diperoleh Allah tetap memelihara kami. Saat aku bersyukur pada peristiwa bahagia, aku merasakan kegembiraan; namun saat aku bersyukur dalam peristiwa sulit, air mataku menetes tiada henti merasakan penyertaan Allah yang sangat ajaib dalam peristiwa sulit, dan hatiku terasa hangat. Saat suami melihat istri bersyukur, maka suami dapat melihat dan merasakan kasih karunia Allah melalui perilaku istri. Hal ini membuat suami membuka hati untuk dipimpin oleh Allah dalam peristiwa yang sedang dialami. Sebaliknya apabila istri bersungut-sungut dan bahkan menyalahkan Allah saat peristiwa sulit menimpa, maka istri yang demikian tidak menjadi jembatan kasih karunia Allah, suami tidak bisa merasakan kasih karunia Allah melalui perilaku istri.
Selama ini kupikir aku telah berbuat baik pada suamiku, ternyata ada hal-hal yang aku masih ada pamrih. Berbuat baik itu dilakukan tanpa pamrih. Sepeti Allah yang sungguh telah sangat baik bagiku, demikianlah seharusnya aku sebagai istri berbuat baik kepada suamiku seperti Allah telah berbuat baik padaku. Saat aku ada uang lebih dan suamiku membutuhkannya, dengan ikhlas dan tanpa pamrih aku memberikan uang itu untuk suamiku. Aku tidak hitung-hitungan untung rugi dengan suamiku, karena istri yang cakap adalah yang dapat berbuat baik tanpa pamrih pada suami. Saat dari pagi hingga sore aku telah bekerja, aku juga belajar untuk tidak hitung-hitungan dengan suami siapa seharusnya yang mengurus rumah, aku belajar untuk tetap menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dengan tanpa pamrih. Saat suamiku pulang, aku menyambutnya dengan senyum bukan dengan keluh kesah maupun menginterogasinya.Â
Memberi bantuan berbeda dengan berbuat baik. Memberi bantuan dilakukan secara tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan. Memberi bantuan = koinonia=persekutuan. Suami adalah teman sekutu istri. Sekutu itu berarti menjadi satu kesatuan. Memberikan bantuan itu dilandasi karena adanya kesatuan hati, hati yang menyatu antara hatiku dan hati suamiku, sehingga aku bisa peka terhadap kebutuhan suamiku. Dengan persatuan hati ini, bantuan yang kuberikan merupakan bantuan yang mengaitkan hati sebagai manifestasi dari kasih karunia Allah sehingga suamiku merasakan kehadiran Allah melalui bantuan yang kuberikan kepadanya. Saat suamiku sakit, aku memberi bantuan dengan membawanya ke rumah sakit, mengurus administrasinya, merawatnya saat di ruang rawat inap, menyuapinya, menghiburnya dengan membacakan ayat Alkitab, membicarakan tentang pertolongan dari Allah dalam perstiwa sakit ini. Aku melakukan itu semua tanpa bersungut-sungut, tanpa menyalahkan Allah karena telah memberi sakit. Sungguh Allah mengubahku menjadi pribadi yang lebih baik, berbeda dari diriku yang sebelumnya yang mudah bersungut-sungut dan mudah menyalahkan Allah apabila peristiwa hidupku tidak sesuai dengan keinginanku. Betul-betul hanya karena kasih karunia Allah aku bisa memberi bantuan pada suami dengan rendah hati dan atas dasar kesatuan hati dengan suamiku.