Mohon tunggu...
Harris Maulana
Harris Maulana Mohon Tunggu... Insinyur - Social Media Specialist

Seseorang yang suka menulis tentang apa saja, sepanjang untuk menambah ilmu dan wawasan akan dilakoninya. Berbagai jenis pekerjaan sudah pernah dicobanya. Dengan latar belakang sarjana Planologi, memulai karir sebagai konsultan perencanaan wilayah dan kota. Lalu beralih menjadi konsultan Appraisal and Research, konsultan Property, Konsultan Digital hingga konsultan Public Relations. Sangat menikmati peran alternya sebagai blogger yang sudah membawanya ke berbagai tempat, bertemu dengan siapa saja dan satu hal yang sangat dibanggakannya bisa masuk Istana Negara dan bertemu dengan Presiden RI, karena tidak setiap orang bisa ke sana, kecuali kamu seorang teladan, tamu presiden atau tukang potong rumput istana. Pemilik akun twitter @harrismaul dan blog : www.harrismaul.com dan www.travelopedia.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Negeri 5 Menara : Antara Novel dan Film

27 Maret 2012   04:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:25 1983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membuat sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi yang diangkat tersebut merupakan novel best seller yang sudah banyak dibaca banyak orang. Imajinasi setiap orang akan tokoh, lokasi, peristiwa pasti akan berbeda-beda. Demikian pula dengan diangkatnya novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi menjadi sebuah film. Tantangan yang dihadapi oleh sutradara Affandi Abdul Rahman dan tim produksi cukup berat untuk mewujudkan novel tersebut menjadi sebuah film yang sesuai dengan keinginan dan imajinasi pembaca. Menterjemahkan novel setebal 422 halaman menjadi script sebuah film dengan durasi 120 menit tentu bukan pekerjaan yang mudah bagi Salman Aristo dan Rino Sarjono yang menjadi penulis skenario film ini. Namun berkat pengalaman Salman yang berhasil menterjemahkan novel best seller Laskar Pelangi menjadi sebuah film box office beberapa waktu lalu, keduanya dinilai cukup berhasil menterjemahkan imajinasi pembaca ke dalam film ini. Film yang mengambil setting tahun 1980-an ini diawali dengan kehidupan Alif Fikri Chaniago (Gazza Zubizaretta) yang merupakan gambaran masa kecil sang penulis Ahmad Fuadi saat tinggal di sekitar Danau Maninjau Kabupaten Agam.  Mata kita disuguhi pemandangan indah di daerah Sumatera Barat yang terkenal dengan kekayaan dan keindahan alamnya. Seperti layaknya anak desa, bersama teman-temannya mereka bermain bola, bermain lumpur dan mandi di tengah keindahan birunya Danau Maninjau. Konflik batin Alif diawali saat dia akan melanjutkan pendidikan setelah lulus dari madrasah negeri setingkat SMP. Dia ingin melanjutkan sekolah ke SMA di Bukittinggi. Cita-citanya selepas SMA akan meneruskan ke ITB di Bandung dan ingin seperti Habibie yang saat itu menjadi Menteri Riset dan Teknologi RI. Saat itu Habibie menjadi idola anak-anak Indonesia, termasuk anak desa seperti Alif. Habibie pun berasal dari desa di Pare-pare Sulawesi Selatan yang melanjutkan sekolah ke ITB dan melanjutkan pendidikannya hingga ke Jerman. Sementara Amak (Lulu Tobing) ~ panggilan ibu untuk di sebagian besar di daerah Minang ~ ingin dia masuk pesantren dan menjadi ulama seperti Buya Hamka. Itulah mengapa Amak menyandingkan foto ulama tersebut dengan Alif di dalam rumahnya. Demi menuruti keinginan Amak ~ karena takut menjadi anak durhaka ~ walaupun berat hati Alif harus mengubur cita-citanya melanjutkan sekolah ke SMA di Bukittinggi dan bersedia bersekolah di pesantren tapi dengan syarat sekolah di pondok pesantren yang ada di Pulau Jawa, seperti yang disarankan oleh pamannya Pek Etek Gendo dalam surat yang dikirim dari Mesir. Dari sinilah petualangan dimulai. Akhirnya Alif berangkat ke Jawa dengan menggunakan bus. Menelusuri pegunungan Bukit Barisan, menyeberang Selat Sunda, melewati kota-kota di Pulau Jawa yang baru pertama kali dilihatnya dan akhirnya setelah tiga hari tiga malam tiba juga di Pondok Madani, sebuah pesantren modern di Jawa Timur. Hari pertama di Pondok Madani menjadi titik awal pencerahan bagi Alif. Pemikirannya yang selama ini begitu sempit kini jauh menjadi terbuka. Adegan yang sangat memberikan inspirasi baginya adalah disaat Ustad Salman (Donny Alamsyah) memperagakan mantra "Man Jadda Wajada" dengan mencontohkan membelah kayu dengan golok yang tumpul. Perlu perjuangan tanpa lelah, walau tangan lecet dan badan penuh peluh tapi jika dilakukan bersungguh-sungguh pasti akan berhasil.

MAN JADDA WAJADA!!!”

Teriak laki-laki muda bertubuh kurus itu lantang. Telunjuknya lurus teracung tinggi ke udara, suaranya menggelegar, sorot matanya berkilat-kilat menikam kami satu persatu. Wajah serius, alisnya hampir bertemu dan otot gerahamnya bertonjolan, seakan mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk menaklukkan jiwa kami. Sungguh mengingatkan aku kepada karakter tokoh sakti mandraguna di film layar tancap keliling di kampungku, persembahan dari Departemen Penerangan waktu itu. Man jadda wajada sepotong kata asing ini bak mantera ajaib yang ampuh bekerja. Dalam hitungan beberapa helaan napas saja, kami bagai tersengat ribuan tawon. Kami, tiga puluh anak tanggung, menjerit balik, tidak mau kalah kencang.

Kalimat diatas adalah kata-kata yang berada dalam novel (halaman 40) dan adegan ini berhasil menterjemahkan kata-kata di novel tersebut menjadi sebuah visualisasi yang tepat. Sungguh saya merinding dibuatnya. Hari demi hari dilalui Alif bersama teman-teman barunya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Ada Raja Lubis (Jiofani Lubis)  dari Medan, Baso Salahuddin (Billy Sandi) dari Gowa (Sulawesi) , Dulmajid (Aris Adnanda Putra) dari Sumenep, Said Jufri (Ernest Samudera) dari Surabaya dan Atang (Rizki Ramdani) dari Bandung. Hampir setiap sore menjelang malam sambil menatap lembayung ungu di ufuk timur, waktu mereka habiskan di bawah menara masjid yang menjulang tinggi. Sambil melihat awan berarak yang menjelma menjadi sebuah negara dan benua impian. Mereka menamakan dirinya kelompok Sahibul Menara yang artinya pemilik menara . Bermimpi suatu saat mereka berhasil mencapai menara impiannya. Tidak mereka sadari impiannya itu terpatri dalam hati. Dan dengan tekad yang kuat dan bersungguh-sungguh seperti mantra "Man Jadda Wajada". Menara impian itu adalah Menara Washington Monument yang merupakan impian Alif yang mempresentasikan benua Amerika. Menara Big Ben di London (Eropa) merupakan menara impian Raja.  Menara Al Azhar di Mesir (Afrika) merupakan menara impian Atang. Menara Masjidil Haram di Mekkah (Asia/Arab) merupakan menara impian Baso dan Menara Monumen Nasional (Monas) di Jakarta merupakan menara impian Said dan Dulmajid yang ingin meneruskan mimpinya di negeri sendiri. Ke-5 menara inilah yang menjadi cita-cita ke-enam anak  Sohibul Menara itu. Dan Tuhan Yang Maha Mendengar mencatat keinginan mereka saat itu. 15 tahun kemudian setting beralih ke sebuah tempat yang bernama Trafalgar Square London. Disana berkumpul kembali tiga anggota Sahibul Menara yaitu Alif, Atang dan Raja. Kebetulan di sana diadakan acara The World Inter Faith Forum, sebuah acara forum antar umat beragama se dunia. Alif datang dari Washington D.C sebagai salah satu panelis, Atang datang mewakili Al Azhar dari Mesir dan Raja kebetulan bekerja di London. Sebuah pertemuan yang mengejutkan dan mengharukan. Siapa yang menyangka mereka bisa sampai di sana. Lalu mereka menghubungi ketiga Sahibul Menara lainnya yang berada di Indonesia. Mimpi beberapa tahun lalu akhirnya terwujud. Ya karena perjuangan, tekad yang bersungguh-sungguhlah akhirnya mereka bisa sampai kesana seperti yang mereka cita-citakan.

***

Secara keseluruhan film ini bisa menterjemahkan dengan baik apa yang ada dalam novel. Walaupun ada beberapa kisah yang terlewat, namun pesan moral yang ingin disampaikan dapat tercapai. Sungguh setelah menonton film ini saya ingin kembali ke masa kanak-kanak dan menerapkan mantra tersebut. Bahkan ada salah seorang keponakan meminta kepada orangtuanya agar disekolahkan di pesantren. Besar sekali efek yang ditimbulkan setelah menonton film ini.

Dan ternyata novel ini ternyata masih ada kelanjutannya. Rencananya novel ini akan dibuat trilogy. Novel keduanya adalah "Ranah 3 Warna" dan sudah bisa didapatkan di toko buku. Sedangkan buku yang terakhir masih dirahasiakan, tapi mengandung unsur angka "1". Jika yang pertama mengetengahkan mantra Man Jadda Wajada novel kedua ini mengungkapkan mantra Man Shabara Zhafira barang siapa yang sabar akan beruntung. Apakah novel kedua ini akan dibuat film-nya juga? Kita tunggu saja sambil membaca novel keduanya.

1332822269646420877
1332822269646420877

Testimoni :

"Saya rasa dari film ini bisa memberikan manfaat. Yang penting adalah film ini mengingatkan bahwa kita harus meningkatkan kualitas cinta kita terhadap pekerjaannya, orangtuanya, tanggung jawabnya, keluarganya," ~ B.J Habibie (Mantan Presiden RI) "Nilai solidaritas & kebersamaan sangat digambarkan dalam film ini. Anak-anak berkumpul, melakukan hal-hal yang positif untuk mencapai cita-cita mereka. Sebuah film Indonesia yang sangat bagus & wajib ditonton oleh banyak orang." ~ Jusuf Kalla (Mantan Wakil Presiden RI) "Dari pendidikan di pondok pesantren, kita bisa melihat bahwa pendidikan yang baik tidak selalu mahal. Bahkan dengan sistem pendidikan yang tradisional di pondok pesantren ternyata dapat mengantar seseorang menuju kesuksesan seperti cerita di dalam film Negeri 5 Menara." ~ Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah) "Pesan yang utama dalam film ini ‘Man Jadda Wajada’ sangat terasa.  Saya kagum &  yakin misi dari film ini akan sampai pada masyarakat karena disampaikan dengan cara yang jenaka, mengharukan dan mudah dicerna. Tidak berkotbah, tidak menggurui, semua sangat sederhana & mudah dimengerti. Harapan saya semoga film ini disambut oleh masyarakat dengan baik.” Andy F Noya (Pembawa Acara Kick Andy Metro TV) "Film ini menurut saya powerful mengirimkan pesan bahwa belajar & pendidikan itu adalah kunci untuk bisa mencapai puncak menara-menara impian. Melihat film ini mungkin seperti menengok pada kaca cermin sejarah perjalanan hidup." ~ Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramadina Jakarta)

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun