DPR menyebut Ketua MA Hatta Ali dengan sapaan 'saudara' dalam prosesi pelantikan anggota MPR, DPR dan DPD, Rabu (1/10) kemarin. Namun sapaan 'saudara' ini dinilai Ikahi dan KY tidak etis dan tidak pantas. Menurut komisioner KY, Taufiqurrahman Syahuri, sapaan 'saudara' dinilai tidak pantas disematkan untuk menyebut seorang Ketua MA. Harusnya sapaan yang digunakan adalah "Yang Mulia". Oleh karena itu sebagai penjaga martabat hakim, KY menyarankan protokoler di DPR diatur kembali supaya lebih tertib.
Ketua Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) cabang MA, hakim agung Prof Dr Gayus Lumbuun juga menilai sama. Sapaan 'saudara' dalam acara kenegaraan untuk Ketua MA dinilai tidak etis. Menurut Gayus, seharusnya Hatta Ali dipanggil Yang Mulia karena peran beliau adalah fungsional. Beliau lah yang melantik anggota DPR. Beda dengan presiden yang hanya undangan. (http://news.detik.com/read/2014/10/02/093540/2707447/10/yang-mulia-ketua-ma-disapa-saudara-di-dpr-ini-kata-ky?nd771104bcj).
Keberatan komisioner KY maupun Ketua Ikahi cabang MA tersebut sesungguhnya akan tidak beralasan sekiranya keduanya mencermati arti kata 'saudara' menurut KBBI. Dalam KBBI kata kata 'saudara' sesungguhnya memiliki makna yang baik serta mengandung medan semantik keakraban, yakni:
1.Orang yang seibu seayah (atau hanya seibu atau seayah saja); adik atau kakak.
2.Orang yang bertalian keluarga atau sanak
3.Orang yang segolongan (sepaham, seagama, sederajat,dsb); kawan atau teman.
4.Sapaan kepada orang yang diajak bicara (pengganti orang kedua).
5.Segala sesuatu yang hampir serupa atau sejenis,dst.
6.Tembuni atau ari-ari/plasenta.
Kata 'saudara' dan 'saudari' dalam bahasa Indonesia dipajankan dari bahasa Arab akhi dan ukhti , yang makna aslinya berarti "saudara laki-lakiku" dan "saaudara perempuanku". Namun karena 'ku' dilesapkan,.maka menjadi saudara atau saudari saja. Andai saja tidak dilesapkan dalam penggunaanya maka akan sangat terasa keakraban atau kedekatan psikologis tersebut. Coba saja perhatikan: "Silakan Saudaraku Ketua MA untuk memimpin sumpah/janji para anggota DPR/DPD....."
Tapi memang karena sifat bahasa adalah konvensional dan dalam penggunaanya terikat konteks (siapa, dimana, kapan, dst), ketika dinilai "dilanggar" (tentu saja menurut persepsinya masing-masing) dapat menimbulkan kesalahpahaman, bahkan ketersingguan.