Hingga hari ini saya masih ingat dengan detil bagaimana saya berjuang melahirkan anak pertama saya 12 tahun lalu. Kisah yang dramatis namun berujung bahagia. Dan seperti seketika saja, beberapa bulan lagi dia menuju sekolah baru. SMP.
Perihal sekolah, sejak dini, kami berupaya  memberi pemahaman pada anak-anak bahwa sekolah bukanlah satu-satunya tempat pengetahuan bermula. Bahwa guru bukanlah satu-satunya sumber pengetahuan. Bahwa belajar bisa dilakukan dimana saja, kapan saja bersama siapa saja.
Hal tersebut, membuat dua anak saya secara sederhana memahami bahwa hal utama yang sebaiknya mereka pelajari di ruang bernama sekolah  adalah bagaimana mereka sebagai individu dalam lingkungan sosial. Mereka berteman dan bermain. Mereka mempelajari manusia yang beragam jenis dan wujudnya.
Karenanya dalam proses tersebut, kami sebagai orang tua berkomitmen untuk tidak membebani mereka dalam hal pelajaran sekolah. Apalagi menuntut mereka melakukan hal yang tidak mereka sukai. Tidak mudah, karena mereka masih sering bergonta ganti keinginan, dan belum tahu betul apa yang mereka inginkan. Untuk itu perlu berlapang dada untuk membuka ruang bicara yang setara bersama anak-anak. Mencoba mendengarkan apa yang dia inginkan dan memberinya pertimbangan sana-sini.
Dalam memutuskan semua hal dalam keluarga, ruang bicara dan ruang untuk saling mendengarkan, selalu kami buka. Terutama untuk anak-anak. Proses ini setidaknya akan membuat mereka percaya bahwa pendapat mereka penting dan dibutuhkan. Apalagi jika menyangkut hal yang berkaitan langsung dengan mereka. Sekolah, misalnya.
Sejak TK, anak-anak saya libatkan dalam memilih sekolahnya. Tentunya pilihannya telah saya kerucutkan. Misalnya, yang dekat dengan rumah dan pembayarannya bisa saya jangkau. Kami mengajaknya berkeliling, melihat beberapa sekolah untuk mereka jadikan pertimbangan, dan membiarkan mereka memutuskan dengan alasan yang jelas. Begitupun saat masuk SD.
Untuk anak  pertama saya yang akan masuk SMP tahun ini, saya dan suami jauh-jauh hari sudah sering mengajaknya berdiskusi. Menanyakan sekolah yang dia inginkan. Karena senang menggambar, dia sangat ingin bersekolah seni, khususnya seni rupa. Sayangnya di Makassar belum ada sekolah khusus seni setingkat SMP.
Dalam proses ini, kami sering memberinya kemungkinan-kemungkinan. Memperlihatkannya jenis sekolah yang lain yang ada di Makassar. Sekolah Alam, pesantren, sekolah asrama, SMP Negeri atau homeschooling.
Dia sudah secara gamblang menyatakan  tidak begitu tertarik dengan sekolah asrama, apalagi pesantren. Pilihannya tersisa dua, SMP Negeri atau homeschooling. Dan hingga kini dia coba mempertimbangkan matang-matang.
Memberikannya kesempatan memilih di usianya yang dini, menurut saya akan membantunya belajar bertanggung jawab atas pilihannya. Dia akan berusaha  karena dia sedang menjalani apa yang telah ia pilih.
Tapi, lagi-lagi, karena mereka masih anak-anak maka tidak perlu menuntutnya untuk teguh atas pilihannya. Orang dewasa pun banyak yang masih kelabakan saat harus menjalani pilihan yang ternyata salah. Jika ternyata salah, kita bisa memperbaikinya bersama. Pilihan yang salah, bukanlah akhir dunia.