Mohon tunggu...
Ardhisa Harmanita
Ardhisa Harmanita Mohon Tunggu... -

Youthism

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Elegi Evelyn

25 Oktober 2014   20:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:45 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Elegi Evelyn

Nyanyian sendu itu selalu menggaung menjelang matahari terbit. Seperti saat ini. Aku merindukanmu dalam hangatnya rona fajar.

Malam itu aku bermimpi tentangmu. Kamu terlihat cantik dengan gaun putih bergaya Victoria, seperti pengantin dengan mahkota serangkai bunga. Kamu seperti malaikat. Dengan senyum, kamu meraih tanganku yang basah berkeringat. Aku sempat menarik tanganku, aku tak ingin mengotori tanganmu dan gaunmu. Tapi kamu tetap tersenyum dan meraih tanganku. “Eve, aku merindukanmu.” Bisikku saat itu padamu. Aku tau kamu mendengarnya, dan selanjutnya kamu tersenyum manis padaku. Aku sangat ingin mendengar suaramu. Tapi kamu tak bicara.

Lalu kamu mengajakku berjalan, menggandeng tanganku. Aku tak tau kemana, yang kuingat aku berada diatas savanah. Namun berdua denganmu terasa lebih indah dari apapun.

Kita terus berjalan hingga aku kelelahan, aku bilang aku tak bisa bersamamu lebih lama karena aku tak mampu berjalan lagi. Kamu menatapku polos, seperti saat kunyatakan cinta di waktu remaja dulu. Tatapan matamu bagai sinar laser yang menembus retinaku. Eve, kenapa selalu begitu?

Kamu terus menatapku, tatapan tajam itu kemudian menjadi sendu. Matamu berkaca-kaca. Lalu dengan kedua tangamu, kamu menyentuh rambutku lembut, menyentuh dahiku dan kedua pipiku. Aku terpejam, tangamu terasa lebih dingin. Saat kubuka mataku kamu masih menatapku, dengan mata yang masih berkaca, kamu melepaskan mahkota bunga itu dan memakaikannya di kepalaku.Kemudian kamu tersenyum dan meninggalkanku dalam diam. Entah kenapa aku membiarkanmu meninggalkanku. Kamu terus berjalan hingga tubuhmu tertutup kabut, lama-lama tak terlihat. Aku masih diam hingga akhirnya memanggilmu yang telah menghilang. “Eve, jangan pergi...”

Sesaat kemudian, aku terbangun dengan keringat di dahi dan sesak di dada. Aku sangat paham bila bermimpi tentangmu pertanda raga ini merindukanmu. Aku tak mengerti apa arti mimpi itu. Mungkin hanya karena bertahun-tahun lamanya aku tak bertemu denganmu.

Eve, dulu kamu menungguku untuk jadi seorang pria dewasa. Mencukur rambut, memakai dasi dan menyemir sepatu. Dan kini, aku sudah melakukannya. Tapi kamu tak melihatnya.

Aku tak pernah tau kabar tentangmu sejak saat itu. Setelahnya, merindukanmu bagai sakit syaraf yang mengganggu otakku. Mungkin para pujangga benar, cinta pertama akan selalu hidup sepanjang usia.

Beberapa hari setelah mimpi itu seorang teman lama mengirim telegram. Katanya penting, katanya itu tentangmu. Kuberanikan diri menemuinya, dia berkata kamu ingin menemuiku. Aneh, aku kira bahkan kamu melupakanku selama beberapa tahun terakhir. Ternyata kamu mengingatku, lebih dari yang kutau.

Saat itu aku tak melihatmu dengan gaun putih atau mahkota bunga. Kamu terlihat tirus dan kulitmu kering. Kamu bahkan tak membuka matamu saat aku datang. Kamu baru membukanya saat aku berbisik di telingamu. “Eve, aku disini.”

Lalu kamu membuka mata dan menatapku dengan mata yang berkaca sambil berkata lirih menyebut namaku. Entah apa yang kamu rasakan saat itu, melihatmu dalam keadaan lemah membuatku payah.

Kamu hanya diam.

Lalu mulutmu terkatup rapat dan membiarkan matamu menatap kosong. Bulu romaku berdiri, perasaanku tak menentu sepersekian detik. Kemudian kamu tertidur.

Setelahnya yang kutau banyak orang berdatangan dan berteriak lalu menangis. Kakiku lemas.

Mengapa pertemuan itu begitu cepat? Sedangkan aku menahan rindu bertahun-tahun lamanya. Sungguh apakah kamu tak mau melihatku saat ini? Apakah kamu tak ingin melihatku berpakaian rapi seperti seorang pria dewasa? Seperti sosok yang kamu idamkan dari diriku di saat remaja dulu.

Kamu tak meninggalkan apapun untukku, kecuali sepucuk surat yang ternyata terselip di bawah tanganmu saat itu.

Aku membacanya dalam diam,

Hai Ramses, apa kamu masih mencintaiku?

Maafkan aku karena tak bisa merindukanmu lebih lama.

Maafkan aku bila mengganggumu dalam mimpi-mimpi itu.

Maafkan aku karena selama mengenalmu tentu banyak sekali salahku.

Ramses, tadinya aku kira penyakit yang kuderita hanyalah jatuh cinta.

Karena itu adalah penyakit yang tak sulit mencari obatnya.

Tapi tak apa, sekiranya aku jadi tau sakitku yang ini membuatku semakin merindukanmu.

Merindukanmu untuk jadi penawarnya.

Ramses,maafkan aku karena tak berusaha jadi seorang yang baik untukmu saat itu.

Jangan simpan pesan ini, jangan menghafalnya.

Tapi mengertilah, bahwa cinta sejati itu selalu menyertaimu.

Kemarin, hari ini, besok dan seterusnya. (EVE)

Aku tetap diam.

Perlahan aku berjalan dengan kakiku yang lemas. Ternyata, kamu juga merindukanku. Bahkan hingga masa-masa akhir itu. Tapi sungguh kenapa aku tak merasakannya?? Mungkin aku terlalu sibuk merasakan rinduku sendiri padamu. Maafkan aku.

Eve, kini kamu tak bisa melihat rona fajar atau lembayung senja lagi. Tapi aku yakin, kamu melihat indahnya surga, tempat penuh cinta seperti hatimu.

Andai aku bisa memilikimu lagi seperti dulu, menyempurnakan kebahagiaan masa remaja kita yang tak bersambung. Tapi pernah memilikimu membuatku sempurna menjadi seorang pria.

Eve, kamu benar. Cinta sejati selalu menyertai. Dan aku percaya itu.

(Ramses Alfonso)

~SELESAI~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun