Mohon tunggu...
Ardhisa Harmanita
Ardhisa Harmanita Mohon Tunggu... -

Youthism

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

ARGO - Chapter 2 : Menguntit

8 November 2014   19:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:18 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Menguntit

Saat itu pertengahan bulan Maret dan aku mulai merasa tak asing lagi di sekolah baruku. Namun ada yang terlihat asing ketika melihat Argo saat itu. Di awal kami berteman, dia selalu terlihat ceria, ramah dan manis. Namun saat itu aku memperhatikan Argo jadi menyendiri. Pada beberapa pelajaran dia memilih duduk menyendiri di sisi pojok kelas atau di kursi paling belakang. Dan saat ada yang menyapanya, dia hanya tersenyum tipis dan menyapa balik dengan kata-kata yang seadanya. Dia sedang tak terlihat ramah dan ceria.

Aku menghampirinya saat jam pelajaran Bahasa Indonesia yang saat itu dilakukan di ruang perpustakaan. Saat dia sedang mencari buku, aku menghampirinya. Dia terlihat sedang duduk di lantai sambil membaca sebuah buku.

“Hai.”, sapaku.

“Hai,”, sapanya kembali sambil tersenyum tipis.

Aku pun kebingungan harus memulai percakapan dengan berbicara tentang apa. Kemudian aku duduk di sebelahnya.

“Hm, aku boleh duduk disini?”, tanyaku.

“Iya, boleh.”, jawabnya tanpa menatapku.

“Kamu kelihatan lagi gak enak badan. Kamu sakit?”, tanyaku memulai pembicaraan.

Dia menggeleng. “Aku gapapa, Mir. Lagi males ngapa-ngapain aja.”, jawabnya.

“Hm, kenapa begitu?”, tanyaku penasaran.

“Aku lagi mau sendirian dulu ya. Aku gak bisa cerita sekarang.”, katanya menjelaskan sambil menoleh ke arahku.

Aku terdiam seketika dan mematung. Saat itu rasanya aku ingin menangis. Karena aku seperti “ditolak” olehnya, padahal aku sedang berusaha untuk peduli padanya.

“Iya, gapapa.”, kataku dengan suara parau namun berusaha tersenyum tipis.

Lalu Argo berdiri dan pergi meninggalkan aku.

Saat itu aku mulai berpikir apakah sifat asli seorang Argo sedang diperlihatkannya. Atau hanya karena aku datang pada waktu yang salah, sehingga dia tidak bersikap ramah dan seperti sedang marah padaku. Aku tak mampu berpikir kalau dia akan baik-baik saja. Aku yakin dia sedang mengalami beberapa hari yang buruk. Namun dia tidak ingin mengatakannya pada siapapun, termasuk padaku yang saat itu sudah berteman dekat dengannya.

“Mira? Ngapain disini?”, terdengar suara Gisela dari arah belakangku. Dan aku terkejut karena sebelumnya aku melamun.

“Eh, Gisel. Hm, aku lagi cari buku tapi perutku sakit.”, jawabku berbohong.

“Kamu sakit, Mir?”, tanyanya sambil duduk di sebelahku. Aku mengangguk. Padahal aku berbohong. “Mau aku antar ke UKS?”, tanyanya menawarkan bantuan. Aku menggeleng. “Terus?”, tanyanya sambil menyentuh pundakku.

“Aku mau ke toilet aja.”, jawabku dengan ekspresi datar.

“Hahahahaha, Mira. Aku kira sakit kenapa, ternyata mau ke toilet tho.”, Gisela malah menertawaiku. Padahal aku sedang berusaha menghindar darinya agar tidak ditanya yang macam-macam. Walaupun kami berteman dekat, namun aku belum mau bercerita banyak soal Argo pada Gisela.

Kemudian aku tersenyum lebar pada Gisela. Senyum pura-pura agar aku terlihat sedang membuat lelucon. Dan sejauh itu leluconku berhasil. Aku keluar dari perpustakaan untuk menuju toilet wanita. Tugas Bahasa Indonesia yang harusnya kukerjakan, tapi malah kutinggalkan. Dan aku pergi ke toilet yang ada di lantai 1 sedangkan perpustakaan ada di lantai 3. Sebenarnya di lantai 3 juga ada toilet, tapi rasanya aku benar-benar harus berjalan kaki lebih jauh karena saat itu aku sedang merasakan hal yang tidak enak tentang Argo. Tanpa sadar aku mulai bersikap seperti Argo yang kalau sedang bosan dan malas akan keluar rumah dan berjalan kaki sejauh-jauhnya.

***

Letak toilet di lantai 1 berada di sebelah pojok gedung sekolah yang berbatasan dengan tembok beton pembatas sekolah. Saat aku menuju toilet itu terdengar suara seorang perempuan yang setengah berteriak dari arah belakang toilet dekat tembok pembatas itu.

“Lo bangsat, ya Go !”, terdengar suara cewek itu.

Aku memberanikan diri untuk mengintip, ternyata itu adalah suara kakak kelasku kelas XII bernama Deborah yang suatu hari pernah Argo kenalkan padaku saat di kantin. Saat itu Deborah terlihat sangat marah. Kemudian kudorong lagi kepalaku untuk melihat dengan siapa Deborah marah-marah. Sesaat kutarik kepalaku dengan cepat, ternyata Deborah sedang marah-marah dengan Argo.

“Lo apa-apaan sih, Deb? Salah gue apa?”, tanya Argo yang juga setengah berteriak.

“Lu masih nanya salah lu apa?”, tanya balik Deborah.

“Mending lo kalo mau ngomong baik-baik deh. Gue males kalo lo ngebacot gini.”, kata Argo dengan suara yang lebih pelan.

Terdengar hening, sepertinya Deborah sedang menghela napas yang panjang.

“Lo pacaran kan sama si anak baru itu?”, tanya Deborah pada Argo.

Siapa anak baru yang di maksud? Kataku dalam hati. Namun aku mulai terkoneksi bahwa maksud Deborah itu adalah aku karena selama beberapa minggu terakhir aku sering terlihat bersama Argo. Namun aku pun tak mengiyakan jika antara aku dengan Argo berpacaran. Karena memang kenyataannya tidak.

“Siapa sih? Amirah?”, tanya Argo bernada menantang. Ternyata benar, aku yang dimaksud. “Kalo iya, kenapa?!”, tantang Argo lagi.

“Lo bangsat, Go ! Lo cuma mau mainin dia doang kan pasti?”, kata Deborah dan tiba-tiba terdengar sebuah tamparan. Sepertinya Argo ditampar Deborah.

Shit?!!”, Argo mulai marah sambil memegang pipinya yang baru ditampar Deborah.

“Lo sama kayak Bokap lo yang bisanya mainin cewek, dan Nyokap lo yang perek itu pasti yang bikin lo jadi bangsat kayak gini !”, caci Deborah sambil berkata dengan cepat.

Aku mendengarkan dari balik tembok dan aku terkejut mendengar sebaris kalimat kasar itu. Karena aku tak pernah mendengar kata-kata kasar sebelumnya dan apakah yang dikatakan Deborah itu benar. Aku benar-benar takut. Degup jantungku berpacu cepat mendengar perkelahian keduanya yang katanya sudah mengenal sejak SMP itu. Namun kucoba untuk memberanikan diri mendengar semuanya.

“Lo jangan bawa-bawa Bokap sama Nyokap gue deh. Mending lo ngomong aja, masalah lo apa kalo gue pacaran sama Amirah?”, tanya Argo ketus dengan suara memelan.

Deborah terdiam.

“Gue kenal lo udah dari SD, gue anggep lo gak seperti temen biasa, Go. Gue tau sifat lo. Paling lo pacaran sama itu anak baru cuma buat pelarian. Brengsek !.”, kata Deborah penuh kecewa. Saat itu bicaranya terdengar seperti orang ngawur.

Aku yang mendengarkan menjadi semakin merasakan hal yang campur aduk. Pertama mengapa Argo berkata aku dengannya berpacaran, dan kedua, kenapa Deborah marah-marah pada Argo karena mengetahui diantara kami berpacaran. Padahal itu tidak benar sama sekali. Ingin rasanya aku tiba-tiba muncul di hadapan mereka untuk menjelaskan semuanya. Tapi sepertinya itu konyol. Mukaku pun mulai memerah dan aku berkeringat dingin, aku merasa takut.

Lalu terdengar suara langkah kaki dari sepatu Deborah. Sepertinya Deborah meninggalkan Argo di pojok lorong kecil itu. Aku buru-buru setengah berlari masuk ke toilet wanita untuk bersembunyi. Aku berdiam di dalam toilet wanita selama beberapa menit sambil mendengarkan apakah keadaan sudah benar-benar sepi. Saat aku keluar, aku berusaha untuk melihat-lihat sekitarku dan ternyata sudah tidak ada Argo juga. Kemudian aku kembali ke perpustakaan di lantai 3.

Aku berjalan dengan langkah yang biasa agar tidak terlihat mencurigakan, namun tanganku gemetaran dan aku pun masih berkeringat dingin. Seketika aku jadi ingin cepat pulang dan menangis di kamar. Aku memikirkan banyak hal. Selain tentang keadaan Argo yang sedang tak ramah, aku pun mulai memikirkan apa yang baru saja kudengar diantara Deborah dan Argo tadi. Perutku jadi mulas seperti ada drum yang bertabuh kencang.

***

Saat di perpustakaan aku menghampiri Gisela dan tersenyum padanya. Dia bertanya kenapa aku lama sekali, aku bilang padanya kalau aku sangat sakit perut. Lagi-lagi aku berbohong. Kemudian dia tertawa lagi. Dan aku terdiam. Aku mulai mengerjakan tugas Bahasa Indonesia-ku dan dengan cepat dan akhirnya selesai.

“Cepet banget?”, tanya Gisela yang masih mengerjakan tugasnya.

“Iya, aku gak begitu ngerti sama prosa.”, jawabku jujur. Lebih jujur lagi sebenarnya karena aku sedang tidak fokus belajar.

“Aku kira kalau ngerjainnya cepat, itu artinya ngerti.”, kata Gisela. Kemudian aku tersenyum padanya sambil mengangkat kedua bahuku.

“Gisel, aku mau tanya boleh?”, kataku memulai pembicaraan.

“Iya, tanya aja. Kenapa, Mir?, kata Gisela.

“Kamu kenal Deborah anak kelas XII?”, tanyaku penasaran.

“Kenal. Tapi cuma tau aja. Dia kan pernah hampir di-DO.”, kata Gisela dengan raut wajah yang serius dan suara yang pelan. Aku penasaran dengan apa yang baru aku dengar itu.

“Hah, kenapa hampir di-DO?”, tanyaku dengan suara pelan setengah berbisik agar tak didengar teman-teman di sekitar kami.

Gisela melirik ke kanan dan ke kiri memastikan tidak ada yang akan mendengar apa yang akan dikatakannya, “Hm, gosipnya sih dia anak koruptor. Pas tau ayahnya di penjara, dia malu masuk ke sekolah. Terus dia juga katanya ada main sama anak-anak kuliahan gitu deh.”, kata Gisela menjelaskan.

Aku kebingungan. Rasanya pupil mataku membesar karena kaget bercampur bingung dengan penjelasan Gisela.

“Maksudnya?”

Gisela memutar bola matanya, “Hm, kalau di kuliahan sih dia kayak semacam ‘ayam kampus’ gitu, Mir.”, kata Gisela sambil berbisik padaku. Seketika aku pun mengerti maksudnya. Mendengar apa yang baru dikatakannya membuat telingaku seperti ditusuk jarum.Aku jadi merasa iba sekaligus takut pada Deborah. Takut untuk berteman lebih dekat, karena yang aku tau Deborah berteman dengan Argo.

“Waktu itu aku kenalan sama Deborah, dia temannya Argo.”, kataku pada Gisela.

“Iya, memang. Dulu mereka deket kok. Kayaknya pacaran deh, soalnya selalu kelihatan berdua gitu. Tapi sekarang udah jarang.”, kata Gisela menjelaskan.

Mendengar itu aku terkejut, pupil mataku kembali membesar. “Oya?”, tanyaku heran bercampur penasaran.

Lalu Gisela mengangguk pelan.

Mungkin saja tadi Deborah marah-marah kepada Argo karena cemburu. Atau memang mereka masih berpacaran, namun karena beberapa minggu ini aku jadi lebih dekat dengan Argo dan terlihat berdua saat pulang sekolah, membuat Deborah jadi tidak suka. Yang ada di pikiranku saat itu adalah aku harus bicara pada Deborah, agar dia tak berprasangka buruk padaku. Tapi bagaimana dengan Argo? Aku pun harus bertanya apakah memang antara dirinya dengan diriku ini benar-benar berpacaran. Seingatku Argo tak pernah lagi menggenggam tanganku setelah saat dia mengantarku pulang dulu. Apalagi menyatakan perasaannya kepadaku. Argo sama sekali tidak pernah melakukannya.

***

Sepulang sekolah aku langsung berjalan menuju gerbang sekolah seorang diri, aku hanya ingin sendirian dan segera tiba di rumah. Setelah berpamitan dengan Gisela aku memutuskan untuk segera pulang. Aku memutuskan untuk berjalan kaki karena apabila aku menunggu bus di halte depan sekolah, aku takut kalau ada yang melihatku. Terlebih jika Argo melihatku, aku takut dia berubah pikiran malah menghampiriku, sementara saat itu adalah waktu yang tidak tepat untuk bertemu dengannya.

Aku berjalan kaki menulusuri jalan-jalan kecil di perumahan dekat sekolahku, namun aku tak melewati gang sempit. Aku sudah mengetahui beberapa jalan karena Argo atau teman-temanku yang lain pernah memberitahukan tentang jalan-jalan yang bisa ditelusuri untuk berjalan kaki.

Siang itu sangat terik, aku memakai payungku yang berwarna hijau muda dan aku berjalan dengan langkah sedang. Saat itu aku hanya ingin berjalan kaki sampai tiba di jalan raya untuk menunggu bus dari jalan itu saja. Aku melewati sebuah jalan yang agak sepi, tak ada yang melewati jalan itu dan rumah-rumah di sekitarnya pun terlihat tertutup rapat. Kompleks perumahan itu terlihat ramai namun sepi. Ramai karena banyak rumah yang tentu saja rumah-rumah tersebut berpenghuni, namun penghuninya tak ada di rumah maka terlihat sepi.

Saat aku ingin berbelok kiri, aku mendengar suara dua orang sedang berbicara. Suara yang bagiku tak asing. Suara itu terdengar sedang berbicara serius. Lalu aku berjalan pelan mendekati suara itu namun aku belum berbelok kiri. Di sudut jalan itu aku mendorong kepalaku untuk mengintip. Aku kembali terkejut, ternyata suara itu adalah suara Deborah yang sedang berbicara dengan Argo. Untuk kedua kalinya, aku tak sengaja mendengar pembicaraan mereka, dan aku kembali jadi penguping. Kulipat payungku agar tidak membuat bayangan hitam di aspal kemudian aku berdiri bersandar pada tembok sambil mencoba mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan.

“Mau lo apa, Deb?”, tanya Argo pada Deborah.

“Gue mau kita tetep jalan bareng kayak sebelumnya.”, jawab Deborah.

“Gue gak bisa. Gue gak janji.”, kata Argo.

“Lo keliatannya selalu bisa kalo sama si anak baru itu, tapi kenapa nggak buat gue? Kita udah janji kan, Go.”, kata Deborah terdengar memelas. Lalu argo terdiam. “Kalo lo ada masalah, lo bisa kok ngomong ke gue. Lo anggep gue apa emangnya?”, kata Deborah lagi yang kemudian bertanya.

“Hidup lo aja udah berantakan, apa bisa lo bantuin gue?!”, kata Argo ketus. Mendengar itu Deborah jadi diam tak berkutik. Sepertinya yang baru saja Argo katakan adalah fakta, sehingga Deborah tak mampu membalasnya. “Gue gak bisa janji sama lo, Deb. Gue juga gak mau terlibat banyak lagi sama urusan-urusan lo. Gue bisa urus urusan gue sendiri.”, kata Argo lagi.

Deborah masih terlihat terdiam, lalu dia pun membuka mulutnya untuk berbicara.

“Gimana sama Devi?”, tanya Deborah.

Terdengar olehku Deborah menyebut sebuah nama, aku pun bertanya-tanya siapakah orang yang dimaksud. Lalu aku kembali mendengarkan dengan seksama.

“Devi bakalan baik-baik aja.”, jawab Argo cepat.

“Lo bilang dia bakalan baik-baik aja? Nggak, Go ! Dia sekarat sekarang. Udah dua minggu dia gak bisa apa-apa disana. Lo juga gak mau jengukin dia lagi.Terus lo malah jalan bareng anak baru itu. Lo emang gak punya perasaan!”, kata Deborah berkata dengan nada tinggi.

Kemudian aku beranikan diri untuk mengintip, ternyata Deborah berjalan meninggalkan Argo. Tak lama, Argo pun berjalan cepat mengejar Deborah dan menarik tangan kiri Deborah sehingga Deborah berbalik badan ke arahnya. Karena takut terlihat, aku pun menarik kepalaku dan kembali bersandar pada dinding agar tak ketahuan.

“Lo bisa berhenti ngomongin gue dan Amirah? Dia gak tau apa-apa tentang ini. Jangan bawa-bawa dia. Ini tentang lo, gue sama Devi. Nanti malem gue kesana, gue mau ketemu Devi. Dan lo jangan bertingkah yang nggak-nggak di sekolah, apalagi sama Amirah. Karena gue gak mau dia dilibatin.”, kata Argo dengan suara pelan namun tegas. Sepertinya saat itu Argo berbicara dengan tangannya yang masih memegang tangan kiri Deborah. Aku dapat membayangkan tubuh mereka pun berdekatan, dan mata bulat Argo tak berkedip saat berkata-kata pada Deborah.

Sesaat kemudian suasana hening. Tak terdengar suara Deborah yang mengatakan sepatah kalimat apapun untuk membalas perkataan Argo. Keheningan itu pecah sesaat ketika Deborah meminta agar tangannya dilepaskan. Argo pun melepaskan tangan Deborah. Terdengar suara langkah kaki kemudian. Sepertinya Argo telah berjalan meninggalkan Deborah. Aku masih bersembunyi dan menunggu hingga Deborah pergi. Beberapa saat kemudian suara langkah kaki Deborah terdengar mendekat ke arahku. Aku kaget ternyata Deborah berjalan ke arah yang berbeda dengan Argo, Deborah berjalan ke arah persimpangan jalan tempatku bersembunyi. Kemudian aku berjalan cepat menjauhi dinding dan kutemukan ada tumpukan seng bekas, aku pun bersembunyi dibaliknya. Dari balik tumpukan seng, aku mengintip dan melihat Deborah berjalan cepat dengan wajah yang masih menahan amarah.

Pikiranku saat itu semakin membuatku bingung namun juga penasaran tentang Argo dan Deborah. Terlebih lagi, aku baru saja mendengar sebuah nama yang belum pernah aku dengar sebelumnya, Devi. Siapakah Devi? Sejumlah tanda tanya berputar-putar di kepalaku. Dan aku sepertinya harus mencari tau ada apa dengan mereka bertiga. Yang aku dapat pahami sementara itu adalah Argo dan Deborah sedang mengalami hari yang buruk, karena tadinya aku berpikir hanya Argo yang mengalaminya. Aku harap Argo mau bercerita padaku, atau aku yang akan mencari tau sendiri karena entah kapan Argo mau berbicara padaku.

Menguntit

Saat itu pertengahan bulan Maret dan aku mulai merasa tak asing lagi di sekolah baruku. Namun ada yang terlihat asing ketika melihat Argo saat itu. Di awal kami berteman, dia selalu terlihat ceria, ramah dan manis. Namun saat itu aku memperhatikan Argo jadi menyendiri. Pada beberapa pelajaran dia memilih duduk menyendiri di sisi pojok kelas atau di kursi paling belakang. Dan saat ada yang menyapanya, dia hanya tersenyum tipis dan menyapa balik dengan kata-kata yang seadanya. Dia sedang tak terlihat ramah dan ceria.

Aku menghampirinya saat jam pelajaran Bahasa Indonesia yang saat itu dilakukan di ruang perpustakaan. Saat dia sedang mencari buku, aku menghampirinya. Dia terlihat sedang duduk di lantai sambil membaca sebuah buku.

“Hai.”, sapaku.

“Hai,”, sapanya kembali sambil tersenyum tipis.

Aku pun kebingungan harus memulai percakapan dengan berbicara tentang apa. Kemudian aku duduk di sebelahnya.

“Hm, aku boleh duduk disini?”, tanyaku.

“Iya, boleh.”, jawabnya tanpa menatapku.

“Kamu kelihatan lagi gak enak badan. Kamu sakit?”, tanyaku memulai pembicaraan.

Dia menggeleng. “Aku gapapa, Mir. Lagi males ngapa-ngapain aja.”, jawabnya.

“Hm, kenapa begitu?”, tanyaku penasaran.

“Aku lagi mau sendirian dulu ya. Aku gak bisa cerita sekarang.”, katanya menjelaskan sambil menoleh ke arahku.

Aku terdiam seketika dan mematung. Saat itu rasanya aku ingin menangis. Karena aku seperti “ditolak” olehnya, padahal aku sedang berusaha untuk peduli padanya.

“Iya, gapapa.”, kataku dengan suara parau namun berusaha tersenyum tipis.

Lalu Argo berdiri dan pergi meninggalkan aku.

Saat itu aku mulai berpikir apakah sifat asli seorang Argo sedang diperlihatkannya. Atau hanya karena aku datang pada waktu yang salah, sehingga dia tidak bersikap ramah dan seperti sedang marah padaku. Aku tak mampu berpikir kalau dia akan baik-baik saja. Aku yakin dia sedang mengalami beberapa hari yang buruk. Namun dia tidak ingin mengatakannya pada siapapun, termasuk padaku yang saat itu sudah berteman dekat dengannya.

“Mira? Ngapain disini?”, terdengar suara Gisela dari arah belakangku. Dan aku terkejut karena sebelumnya aku melamun.

“Eh, Gisel. Hm, aku lagi cari buku tapi perutku sakit.”, jawabku berbohong.

“Kamu sakit, Mir?”, tanyanya sambil duduk di sebelahku. Aku mengangguk. Padahal aku berbohong. “Mau aku antar ke UKS?”, tanyanya menawarkan bantuan. Aku menggeleng. “Terus?”, tanyanya sambil menyentuh pundakku.

“Aku mau ke toilet aja.”, jawabku dengan ekspresi datar.

“Hahahahaha, Mira. Aku kira sakit kenapa, ternyata mau ke toilet tho.”, Gisela malah menertawaiku. Padahal aku sedang berusaha menghindar darinya agar tidak ditanya yang macam-macam. Walaupun kami berteman dekat, namun aku belum mau bercerita banyak soal Argo pada Gisela.

Kemudian aku tersenyum lebar pada Gisela. Senyum pura-pura agar aku terlihat sedang membuat lelucon. Dan sejauh itu leluconku berhasil. Aku keluar dari perpustakaan untuk menuju toilet wanita. Tugas Bahasa Indonesia yang harusnya kukerjakan, tapi malah kutinggalkan. Dan aku pergi ke toilet yang ada di lantai 1 sedangkan perpustakaan ada di lantai 3. Sebenarnya di lantai 3 juga ada toilet, tapi rasanya aku benar-benar harus berjalan kaki lebih jauh karena saat itu aku sedang merasakan hal yang tidak enak tentang Argo. Tanpa sadar aku mulai bersikap seperti Argo yang kalau sedang bosan dan malas akan keluar rumah dan berjalan kaki sejauh-jauhnya.

***

Letak toilet di lantai 1 berada di sebelah pojok gedung sekolah yang berbatasan dengan tembok beton pembatas sekolah. Saat aku menuju toilet itu terdengar suara seorang perempuan yang setengah berteriak dari arah belakang toilet dekat tembok pembatas itu.

“Lo bangsat, ya Go !”, terdengar suara cewek itu.

Aku memberanikan diri untuk mengintip, ternyata itu adalah suara kakak kelasku kelas XII bernama Deborah yang suatu hari pernah Argo kenalkan padaku saat di kantin. Saat itu Deborah terlihat sangat marah. Kemudian kudorong lagi kepalaku untuk melihat dengan siapa Deborah marah-marah. Sesaat kutarik kepalaku dengan cepat, ternyata Deborah sedang marah-marah dengan Argo.

“Lo apa-apaan sih, Deb? Salah gue apa?”, tanya Argo yang juga setengah berteriak.

“Lu masih nanya salah lu apa?”, tanya balik Deborah.

“Mending lo kalo mau ngomong baik-baik deh. Gue males kalo lo ngebacot gini.”, kata Argo dengan suara yang lebih pelan.

Terdengar hening, sepertinya Deborah sedang menghela napas yang panjang.

“Lo pacaran kan sama si anak baru itu?”, tanya Deborah pada Argo.

Siapa anak baru yang di maksud? Kataku dalam hati. Namun aku mulai terkoneksi bahwa maksud Deborah itu adalah aku karena selama beberapa minggu terakhir aku sering terlihat bersama Argo. Namun aku pun tak mengiyakan jika antara aku dengan Argo berpacaran. Karena memang kenyataannya tidak.

“Siapa sih? Amirah?”, tanya Argo bernada menantang. Ternyata benar, aku yang dimaksud. “Kalo iya, kenapa?!”, tantang Argo lagi.

“Lo bangsat, Go ! Lo cuma mau mainin dia doang kan pasti?”, kata Deborah dan tiba-tiba terdengar sebuah tamparan. Sepertinya Argo ditampar Deborah.

Shit?!!”, Argo mulai marah sambil memegang pipinya yang baru ditampar Deborah.

“Lo sama kayak Bokap lo yang bisanya mainin cewek, dan Nyokap lo yang perek itu pasti yang bikin lo jadi bangsat kayak gini !”, caci Deborah sambil berkata dengan cepat.

Aku mendengarkan dari balik tembok dan aku terkejut mendengar sebaris kalimat kasar itu. Karena aku tak pernah mendengar kata-kata kasar sebelumnya dan apakah yang dikatakan Deborah itu benar. Aku benar-benar takut. Degup jantungku berpacu cepat mendengar perkelahian keduanya yang katanya sudah mengenal sejak SMP itu. Namun kucoba untuk memberanikan diri mendengar semuanya.

“Lo jangan bawa-bawa Bokap sama Nyokap gue deh. Mending lo ngomong aja, masalah lo apa kalo gue pacaran sama Amirah?”, tanya Argo ketus dengan suara memelan.

Deborah terdiam.

“Gue kenal lo udah dari SD, gue anggep lo gak seperti temen biasa, Go. Gue tau sifat lo. Paling lo pacaran sama itu anak baru cuma buat pelarian. Brengsek !.”, kata Deborah penuh kecewa. Saat itu bicaranya terdengar seperti orang ngawur.

Aku yang mendengarkan menjadi semakin merasakan hal yang campur aduk. Pertama mengapa Argo berkata aku dengannya berpacaran, dan kedua, kenapa Deborah marah-marah pada Argo karena mengetahui diantara kami berpacaran. Padahal itu tidak benar sama sekali. Ingin rasanya aku tiba-tiba muncul di hadapan mereka untuk menjelaskan semuanya. Tapi sepertinya itu konyol. Mukaku pun mulai memerah dan aku berkeringat dingin, aku merasa takut.

Lalu terdengar suara langkah kaki dari sepatu Deborah. Sepertinya Deborah meninggalkan Argo di pojok lorong kecil itu. Aku buru-buru setengah berlari masuk ke toilet wanita untuk bersembunyi. Aku berdiam di dalam toilet wanita selama beberapa menit sambil mendengarkan apakah keadaan sudah benar-benar sepi. Saat aku keluar, aku berusaha untuk melihat-lihat sekitarku dan ternyata sudah tidak ada Argo juga. Kemudian aku kembali ke perpustakaan di lantai 3.

Aku berjalan dengan langkah yang biasa agar tidak terlihat mencurigakan, namun tanganku gemetaran dan aku pun masih berkeringat dingin. Seketika aku jadi ingin cepat pulang dan menangis di kamar. Aku memikirkan banyak hal. Selain tentang keadaan Argo yang sedang tak ramah, aku pun mulai memikirkan apa yang baru saja kudengar diantara Deborah dan Argo tadi. Perutku jadi mulas seperti ada drum yang bertabuh kencang.

***

Saat di perpustakaan aku menghampiri Gisela dan tersenyum padanya. Dia bertanya kenapa aku lama sekali, aku bilang padanya kalau aku sangat sakit perut. Lagi-lagi aku berbohong. Kemudian dia tertawa lagi. Dan aku terdiam. Aku mulai mengerjakan tugas Bahasa Indonesia-ku dan dengan cepat dan akhirnya selesai.

“Cepet banget?”, tanya Gisela yang masih mengerjakan tugasnya.

“Iya, aku gak begitu ngerti sama prosa.”, jawabku jujur. Lebih jujur lagi sebenarnya karena aku sedang tidak fokus belajar.

“Aku kira kalau ngerjainnya cepat, itu artinya ngerti.”, kata Gisela. Kemudian aku tersenyum padanya sambil mengangkat kedua bahuku.

“Gisel, aku mau tanya boleh?”, kataku memulai pembicaraan.

“Iya, tanya aja. Kenapa, Mir?, kata Gisela.

“Kamu kenal Deborah anak kelas XII?”, tanyaku penasaran.

“Kenal. Tapi cuma tau aja. Dia kan pernah hampir di-DO.”, kata Gisela dengan raut wajah yang serius dan suara yang pelan. Aku penasaran dengan apa yang baru aku dengar itu.

“Hah, kenapa hampir di-DO?”, tanyaku dengan suara pelan setengah berbisik agar tak didengar teman-teman di sekitar kami.

Gisela melirik ke kanan dan ke kiri memastikan tidak ada yang akan mendengar apa yang akan dikatakannya, “Hm, gosipnya sih dia anak koruptor. Pas tau ayahnya di penjara, dia malu masuk ke sekolah. Terus dia juga katanya ada main sama anak-anak kuliahan gitu deh.”, kata Gisela menjelaskan.

Aku kebingungan. Rasanya pupil mataku membesar karena kaget bercampur bingung dengan penjelasan Gisela.

“Maksudnya?”

Gisela memutar bola matanya, “Hm, kalau di kuliahan sih dia kayak semacam ‘ayam kampus’ gitu, Mir.”, kata Gisela sambil berbisik padaku. Seketika aku pun mengerti maksudnya. Mendengar apa yang baru dikatakannya membuat telingaku seperti ditusuk jarum.Aku jadi merasa iba sekaligus takut pada Deborah. Takut untuk berteman lebih dekat, karena yang aku tau Deborah berteman dengan Argo.

“Waktu itu aku kenalan sama Deborah, dia temannya Argo.”, kataku pada Gisela.

“Iya, memang. Dulu mereka deket kok. Kayaknya pacaran deh, soalnya selalu kelihatan berdua gitu. Tapi sekarang udah jarang.”, kata Gisela menjelaskan.

Mendengar itu aku terkejut, pupil mataku kembali membesar. “Oya?”, tanyaku heran bercampur penasaran.

Lalu Gisela mengangguk pelan.

Mungkin saja tadi Deborah marah-marah kepada Argo karena cemburu. Atau memang mereka masih berpacaran, namun karena beberapa minggu ini aku jadi lebih dekat dengan Argo dan terlihat berdua saat pulang sekolah, membuat Deborah jadi tidak suka. Yang ada di pikiranku saat itu adalah aku harus bicara pada Deborah, agar dia tak berprasangka buruk padaku. Tapi bagaimana dengan Argo? Aku pun harus bertanya apakah memang antara dirinya dengan diriku ini benar-benar berpacaran. Seingatku Argo tak pernah lagi menggenggam tanganku setelah saat dia mengantarku pulang dulu. Apalagi menyatakan perasaannya kepadaku. Argo sama sekali tidak pernah melakukannya.

***

Sepulang sekolah aku langsung berjalan menuju gerbang sekolah seorang diri, aku hanya ingin sendirian dan segera tiba di rumah. Setelah berpamitan dengan Gisela aku memutuskan untuk segera pulang. Aku memutuskan untuk berjalan kaki karena apabila aku menunggu bus di halte depan sekolah, aku takut kalau ada yang melihatku. Terlebih jika Argo melihatku, aku takut dia berubah pikiran malah menghampiriku, sementara saat itu adalah waktu yang tidak tepat untuk bertemu dengannya.

Aku berjalan kaki menulusuri jalan-jalan kecil di perumahan dekat sekolahku, namun aku tak melewati gang sempit. Aku sudah mengetahui beberapa jalan karena Argo atau teman-temanku yang lain pernah memberitahukan tentang jalan-jalan yang bisa ditelusuri untuk berjalan kaki.

Siang itu sangat terik, aku memakai payungku yang berwarna hijau muda dan aku berjalan dengan langkah sedang. Saat itu aku hanya ingin berjalan kaki sampai tiba di jalan raya untuk menunggu bus dari jalan itu saja. Aku melewati sebuah jalan yang agak sepi, tak ada yang melewati jalan itu dan rumah-rumah di sekitarnya pun terlihat tertutup rapat. Kompleks perumahan itu terlihat ramai namun sepi. Ramai karena banyak rumah yang tentu saja rumah-rumah tersebut berpenghuni, namun penghuninya tak ada di rumah maka terlihat sepi.

Saat aku ingin berbelok kiri, aku mendengar suara dua orang sedang berbicara. Suara yang bagiku tak asing. Suara itu terdengar sedang berbicara serius. Lalu aku berjalan pelan mendekati suara itu namun aku belum berbelok kiri. Di sudut jalan itu aku mendorong kepalaku untuk mengintip. Aku kembali terkejut, ternyata suara itu adalah suara Deborah yang sedang berbicara dengan Argo. Untuk kedua kalinya, aku tak sengaja mendengar pembicaraan mereka, dan aku kembali jadi penguping. Kulipat payungku agar tidak membuat bayangan hitam di aspal kemudian aku berdiri bersandar pada tembok sambil mencoba mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan.

“Mau lo apa, Deb?”, tanya Argo pada Deborah.

“Gue mau kita tetep jalan bareng kayak sebelumnya.”, jawab Deborah.

“Gue gak bisa. Gue gak janji.”, kata Argo.

“Lo keliatannya selalu bisa kalo sama si anak baru itu, tapi kenapa nggak buat gue? Kita udah janji kan, Go.”, kata Deborah terdengar memelas. Lalu argo terdiam. “Kalo lo ada masalah, lo bisa kok ngomong ke gue. Lo anggep gue apa emangnya?”, kata Deborah lagi yang kemudian bertanya.

“Hidup lo aja udah berantakan, apa bisa lo bantuin gue?!”, kata Argo ketus. Mendengar itu Deborah jadi diam tak berkutik. Sepertinya yang baru saja Argo katakan adalah fakta, sehingga Deborah tak mampu membalasnya. “Gue gak bisa janji sama lo, Deb. Gue juga gak mau terlibat banyak lagi sama urusan-urusan lo. Gue bisa urus urusan gue sendiri.”, kata Argo lagi.

Deborah masih terlihat terdiam, lalu dia pun membuka mulutnya untuk berbicara.

“Gimana sama Devi?”, tanya Deborah.

Terdengar olehku Deborah menyebut sebuah nama, aku pun bertanya-tanya siapakah orang yang dimaksud. Lalu aku kembali mendengarkan dengan seksama.

“Devi bakalan baik-baik aja.”, jawab Argo cepat.

“Lo bilang dia bakalan baik-baik aja? Nggak, Go ! Dia sekarat sekarang. Udah dua minggu dia gak bisa apa-apa disana. Lo juga gak mau jengukin dia lagi.Terus lo malah jalan bareng anak baru itu. Lo emang gak punya perasaan!”, kata Deborah berkata dengan nada tinggi.

Kemudian aku beranikan diri untuk mengintip, ternyata Deborah berjalan meninggalkan Argo. Tak lama, Argo pun berjalan cepat mengejar Deborah dan menarik tangan kiri Deborah sehingga Deborah berbalik badan ke arahnya. Karena takut terlihat, aku pun menarik kepalaku dan kembali bersandar pada dinding agar tak ketahuan.

“Lo bisa berhenti ngomongin gue dan Amirah? Dia gak tau apa-apa tentang ini. Jangan bawa-bawa dia. Ini tentang lo, gue sama Devi. Nanti malem gue kesana, gue mau ketemu Devi. Dan lo jangan bertingkah yang nggak-nggak di sekolah, apalagi sama Amirah. Karena gue gak mau dia dilibatin.”, kata Argo dengan suara pelan namun tegas. Sepertinya saat itu Argo berbicara dengan tangannya yang masih memegang tangan kiri Deborah. Aku dapat membayangkan tubuh mereka pun berdekatan, dan mata bulat Argo tak berkedip saat berkata-kata pada Deborah.

Sesaat kemudian suasana hening. Tak terdengar suara Deborah yang mengatakan sepatah kalimat apapun untuk membalas perkataan Argo. Keheningan itu pecah sesaat ketika Deborah meminta agar tangannya dilepaskan. Argo pun melepaskan tangan Deborah. Terdengar suara langkah kaki kemudian. Sepertinya Argo telah berjalan meninggalkan Deborah. Aku masih bersembunyi dan menunggu hingga Deborah pergi. Beberapa saat kemudian suara langkah kaki Deborah terdengar mendekat ke arahku. Aku kaget ternyata Deborah berjalan ke arah yang berbeda dengan Argo, Deborah berjalan ke arah persimpangan jalan tempatku bersembunyi. Kemudian aku berjalan cepat menjauhi dinding dan kutemukan ada tumpukan seng bekas, aku pun bersembunyi dibaliknya. Dari balik tumpukan seng, aku mengintip dan melihat Deborah berjalan cepat dengan wajah yang masih menahan amarah.

Pikiranku saat itu semakin membuatku bingung namun juga penasaran tentang Argo dan Deborah. Terlebih lagi, aku baru saja mendengar sebuah nama yang belum pernah aku dengar sebelumnya, Devi. Siapakah Devi? Sejumlah tanda tanya berputar-putar di kepalaku. Dan aku sepertinya harus mencari tau ada apa dengan mereka bertiga. Yang aku dapat pahami sementara itu adalah Argo dan Deborah sedang mengalami hari yang buruk, karena tadinya aku berpikir hanya Argo yang mengalaminya. Aku harap Argo mau bercerita padaku, atau aku yang akan mencari tau sendiri karena entah kapan Argo mau berbicara padaku.

Bersambung...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun