"Dan Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari kematianku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”
(Qur’an Surah Maryam : 33)
Kembali mata berhenti di kalender masehi, lalu terpejam dan menghela nafas. 9 Juli (lagi?). Sungguh, waktu yang begitu cepat berlalu tanpa pernah tahu kapan waktu berlari mengiringi usia yang semakin bertambah angkanya. Rasanya seperti masih kemarin menikmati tiap hela nafas di usia ke-duapuluh-lima, sekarang sudah berganti angka yang semakin malu untuk dituliskan dan dibicarakan, duapuluh-enam…
Alhamdulillah, Allah masih memberi amanah usia kehidupan di dunia , masih bisa eksis dan sedikit narsis hingga saat ini, meski sejatinya penambahan angka usia adalah berkurangnya jatah hidup di dunia. Ya, siapa tahu esok atau lusa Sang Izrail diperintah-Nya untuk mengakhiri kehidupan dunia dalam membersamai usia ini. Bukankah hanya kematian yang bisa mengantarkan kita ke syurga-Nya? Dengan persiapan dan perbekalan tentunya.
Alhamdulillah, dalam sujud syukur di hadapan-Nya, Sang Penggenggam Kehidupan atas semua nikmat yang diberi. Betapa bersyukurnya ketika masih bisa tersenyum menatap arakan awan putih di langit biru, ketika masih bisa melihat pelangi membias di horizonnya melengkung indah. Ketika masih bisa berjalan kemana-mana, masih bisa makan dengan lahapnya dan memilih makanan apa yang disuka. Ketika masih bisa merasakan berjuta indahnya jatuh cinta, masih memiliki kesempatan untuk berharap dan bermimpi akan masa depan yang insyaAllah cerah ceria. Sementara beberapa teman semasa kecil banyak yang sudah tak memiliki apa-apa karena sudah dipanggil-Nya atau orang lain yang saat ini sedang berjuang melawan penyakitnya. Sungguh, fabiayyi alaa-i rabbikuma tukadziban…
Hari ini aku hanya ingin berlama-lama sujud dan bersimbah air mata mengeja usia di atas sajadah, menangis sejadi-jadinya, mengadu kepada-Nya. Aahh, apalah artinya ulang tahun? Bukankah setiap waktu yang ku tapaki adalah langkah mendekat kepada ajal, menunaikan cintaku untuk-Nya, atau mungkin lebih sering menyibukkan diri dengan cinta-cinta yang semu. Begitu mendambakan menjejakkan kaki di jannah-Nya, bertemu dengan-Nya dan para kekasih-Nya sedangkan terkadang aku masih saja lancang menduakan-Nya dengan berhala-berhala baru masa kini. Apa persembahanku untuk-Nya, ibuku, keluargaku, teman, agama??? Begitu malunya aku, rasanya belum ada artinya sama sekali. Sungguh tidak sebanding dengan dengan apa yang telah Dia beri selama ini.
Seiring bertambahnya usia dan berkurangnya waktu, aku masih merajut mimpi dan asaku perlahan. Entah esok, lusa, bulan depan atau tahun depan, mungkin saja hidupku akan berhenti di suatu titik yang tak disangka-sangka, kematian. Begitu ingin menjadi salah satu orang yang dirindu surga-Nya sementara hingga saat ini masih terbata mengeja ayat-Nya, masih tertatih menapak di jalan-Nya… Siapkah dengan semua itu? Siap atau tidak siap, aku harus siap!!!
Duapuluh-enam, betapa membuncahnya bahagiaku. Ketika Allah memberiku kesempatan memasuki bulan suci yang ditunggu jutaan umat muslim di dunia. Sebuah moment spesial dalam merefleksi diri, berkaca pada hati, muhasabah, memperbaiki, membenahi, berburu berkah dan terus mengemis cinta-Nya. Ya, Ramadhan ini adalah hadiah terindah untuk usia yang kian menua, duapuluh-enam. Aku bahagia. Terima kasih, Rabb…
When I was six-and-twenty
I heard a wise man say,
“Give crowns and pounds and guineas
But not your heart away:
Give pearls away and rubies
But keep your fancy free”
But I was six-and-twenty,
No use to talk to me.
When I was six-and-twenty
I heard him say again,
“The heart out of the bosom
Was never given in vain;
‘Tis paid with sighs a plenty
And sold for endless rue”
And I am six-and-twenty,
And oh, ‘tis true, ‘tis true.
(By : A. E. Housman “When I Was One-and-Twenty” yang diubah angkanya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H