Oleh harmen batubara
Konflik perbatasan antara Thailand-Kamboja pecah lagi. Rencana dialog Kementerian Pertahanan Thailand dan Kamboja untuk membahas gencatan senjata di wilayah perbatasan, yang dijadwalkan digelar hari Rabu (27/4), kembali mentah. Hal itu terjadi lantaran Thailand tersinggung dengan pemberitaan media di Kamboja. Pembatalan dari pihak Thailand terjadi akibat pemberitaan media massa Kamboja. Disebutkan, Thailand bersedia datang berunding ke Phnom Penh karena mengaku kalah.
Pertempuran berdarah antarkedua militer kembali pecah dan juga memakan korban jiwa. Korban kali ini berasal dari kalangan warga sipil Thailand karena terkena tembakan roket militer Kamboja. Sepanjang hari Selasa (26/4), pertempuran berdarah pecah di wilayah perbatasan seputar candi Preah Vihear, salah satu situs warisan sejarah dunia. Pertempuran hari Rabu berlangsung di dekat candi Ta Moan dan Ta Krabey.Wilayah di sekitar kedua candi itu diklaim Thailand berada di wilayahnya, Provinsi Surin. Lokasi pertempuran kali ini juga sama dengan tempat pertempuran yang pecah akhir pekan lalu.
Sebagai ketua bergilir ASEAN tahun ini, sengketa bersenjata atas kasus Preah Vihear yang ditengahi Indonesia membutuhkan ketenangan dan penanganan yang jernih dengan cara pandang Asia. Inti permasalahannya adalah konflik batas yang dipicu oleh kepentingan politik domestik masing-masing negara bertetangga itu. Konflik bersenjata Preah Vihear menurut ReneL Pattiradjawane (kompas/27/4), selain didorong oleh faktor tumpang tindih batas wilayah, juga didorong oleh perilaku alamiah bangsa Asia Tenggara yang selalu menggunakan senjata dalam menyelesaikan konflik di sesama tetangga.
Menuju Asean 2015
Menurut Rene, di tengah upaya membentuk Masyarakat ASEAN 2015, konflik Preah Vihear jangan sampai menjadi fenomena yang menggeser fundamental Treaty of Amity and Cooperation 1976 (TAC) yang mencerminkan tujuan mulia berdirinya organisasi regional ASEAN. TAC dalam pengertian kemajuan globalisasi tidak hanya ditujukan pada negara luar kawasan, tetapi mengikat negara-negara di kawasan untuk saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas teritorial, dan identitas nasional seluruh bangsa, non-intervensi, penyelesaian perbedaan maupun pertikaian melalui cara damai, menolak berbagai bentuk ancaman dan penggunaan kekuatan militer.
Karena itu dan menurut pendapat penulis. Penolakan Thailand atas kesepakatan yang dicapai dan diprakarsai Ketua ASEAN Menlu Marty Natalegawa soal pembentukan tim pemantau militer harus dilihat secara lebih seimbang dan jangan langsung melihat hal seperti ini sebagai penolakan Thailand atas mediasi Asean. Sebagai ketua Asean Indonesia harus paham bagaimana duduk perkara terkait garis batas. Salah satu yang menjadi pegangan masyarakat Internasional dalam hal sengketa batas adalah Mahkamah Internasional. Yang perlu Indonesia pahami terkait sengketa batas adalah; bahwa persengketaan batas yang terjadi jangan hanya mengacu kepada hukum internasional saja tetapi perlu juga memperhatikan kearifan lokal. Hal seperti ini sulit. Sesuai traktat 1962, wilayah sengketa itu adalah wilayah Kamboja. Tetapi Thailand keberatan. Dalam kenyataannya, permasalahan batas, terlebih lagi bagi Asia tidak sebatas itu. Harus ada kata kesepakatan yang diterima oleh kedua belah pihak.
Kenapa Thailand bersikukuh untuk tidak melibatkan pihak ke tiga? Karena dalam perjanjian batas antara Kamboja-Thailand tahun 1962 sudah dinyatakan dengan tegas bahwa candi itu ada di wilayah Kamboja. Sehingga kalau melakukan mediasi dengan pihak ketiga, pastilah Thailand tidak mempunyai peluang. Satu-satunya jalan yang masih terbuka adalah dengan membicarakannya secara bilateral. Bagi kamboja tentu lain lagi. Secara hukum Internasional, mereka berada diatas angin dan tentu saja “enggan” untuk mau berunding kalau secara bilateral. Dalam konstek seperti ini Indonesia harus bisa memposisikan diri.
Yang perlu diusung oleh Asean dan tentu di motori oleh Indonesia adalah cara penyelesaian sengketa batas yang sesuai dengan cara Asia atau “Asean Way”. Hal ini membutuhkan kesediaan para pihak untuk duduk bersama, sebab harus di ingat bahwa Asean itu seluruh anggotanya saling berbatasan satu sama lain. Yang dimaksud dengan Cara Asean itu, ya mencari kesepakatan. Sebab yang namanya perbatasan itu tidak bisa dilakukan secara hitam-putih atau “zero zumma game”, tetapi harus ada saling “take and give”. Karena bagaimanapun cara pandang Malysia-Singapura dan Indonesia sangat berbeda terkait batas ini. Kita melihat Indonesia-Malaysia menyelesaikan persoalan Sipadan-Ligitan lewat Mahkamah Internasional(MI), hasilnya Indonesia kalah. Malaysia – Singapura terkait pulau Padkabranca juga lewat MI dimenangkan oleh Singapura. Cara seperti inilah yang bisa jadi dihindari oleh Thailand.
Mampukah Indonesia mengajak negara-negara anggotanya untuk menjadikan penyelesaian persoalan sengketa batas antas sesama dengan cara Asean? Untuk mencari kesepakatan bersama? Tidak mudah, dan kenyataan seperti itu sungguh luar biasa. Kalau anda melihat sengketa batas antar daerah saja di Indonesia, susahnya tidak kepalang. Lihatlah persoalan batas antara Kabupaten Agam – Kota Bukit Tinggi, sejak jadi masalah hingga kini tidak bisa diselesaikan. Untuk membuat para pihak duduk bersama saja susah bukan kepalang. Kononlah pula, untuk saling member dan menerima. Tapi itu nyata dan ada.
Melihat Asean sama halnya dengan “Sri Banon”, kalau dilihat dari kejauhan sungguh indah dengan alam pegunungan yang menghijau-biru. Tetapi begitu di dekati ternyata tidak sedikit boroknya. Asean dilihat dari sisi pergerakan ekonomi, memang sedang mengarah ke Timur. Hal itu dibuktikan dengan bangkitnya kekuatan China, Jepang, dan India. Meski berpotensi bisa membawa kemakmuran di kawasan.
Tantangannya juga tidak sederhana. Salah satu tantangan adalah kesenjangan ekonomi antarnegara anggotanya dan juga potensi konflik batas antar negara sesama anggotanya. Padahal justeru di Asia itu gudangnya konflik batas antar negara. Cobalah lihat Persoalan tumpang tindih klaim kedaulatan di Laut China Selatan di kepulauan Spratly, kelihatannya akan menemukan disposisi baru, bagi China yang mengklaim keseluruhan wilayah itu sebagai wilayah kedaulatan lautnya sama sekali tidak pernah kendor.
Melalui kerja sama yang erat dengan Vietnam dan Myanmar, and kekuatan diplomasi Beijing akan mudah memengaruhi anggota ASEAN lainnya. Hal itu setidaknya akan membuat ASEAN kehilangan keseragaman sikap dalam menempatkan China sebagai kekuatan regional dan global. Jelas ini akan jadi sumber konflik berikutnya. Indonesia sendiri mempunyai perbatasan dengan sepuluh negara tetangga (India-Thailand-Vietnam-Malaysia-Singapura-Filipina-Kep Palau-Papua Nugini-Australia dan Timor leste. Patut diingat bahwa belum ada satupun yang sudah selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H