Melihat aksi kaus merah, bisa dimaklumi setiap orang punya persepsi, tetapi yang ada sebenarnya adalah kalau system politik di dikte oleh kekuasaan yang tidak legitimate. Thaksin tadinya adalah simbol demokrasi di Thailand, dan telah banyak membawa perubahan di lingkungan pedesaan. Sebaliknya hampir memutus mata rantai kekuasaan, kroni dan sumber keuangan para pemilik kekuasaan yang sudah mapan. Sayangnya system demokrasinya Thaksin belum sempat dibenahi, kroni dan orang-orangnya memperoleh keuntungan yang luar biasa secara financial; oleh lawannya ia dinilai mengelola perekonomian Negara layaknya harta bendanya sendiri. Sayangnya, ia justeru di turunkan secara paksa dan tidak konstitusional, thaksin malah dijadikan penjahat Negara, dan dilakukan dengan cara-cara yang jauh dari kepatutan perpolitikan. Maka muncullah drama kaus merah.
Menurut laporan lembaga independen, sampai hari Kamis(20/5), krisis politik yang di motori kaus merah telah menelan korban lebih dari 400 orang, dan 80 orang di antaranya tewas. Selain itu, kerugian lain akibat kerusuhan adalah terhentinya kegiatan ekonomi di pusat ekonomi di Bangkok, serta rusaknya fasilitas ekonomi dan sosial serta pemerintahan. Tetapi kalau menyimak versi pemerintah, menteri Keuangan Thailand Korn Chatikavanij, yang tampil sebagai pembicara kunci pada hari kedua konferensi ke-16 The Future of Asia yang diselenggarakan setiap tahun oleh Nikkei di Hotel Imperial Tokyo, Jumat (21/5).
Krisis di Thailand itu, menurut Korn, memberi pelajaran sangat mahal bahwa siasat ”kebohongan besar” berhasil mendompleng ”kebenaran besar”. Kebohongan besar pemimpin dan mantan PM Thaksin adalah bahwa dia berjuang untuk demokrasi dan ketimpangan pendapatan. Isu itu menjadi landasan dukungan moral bagi suporternya. Namun, tidak satu pun di antara kalangan ”Kaus Merah” yang memberi solusi dan saran bagaimana menangani persoalan tersebut. ”Memang benar bahwa kemiskinan masih ada dan ketimpangan pendapatan masih terjadi. Apakah (kondisi di Thailand) itu lebih buruk dibanding perekonomian di negara berkembang lainnya?” katanya.
Faktanya, Thailand telah mencapai kemajuan signifikan dalam menekan angka penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, dari 45 persen dari populasi pada 25 tahun lalu menjadi tinggal 9 persen saat ini. Namun, persentase jumlah orang sangat kaya dibanding paling miskin tidak banyak berubah. Pekerja di sektor pertanian turun sejak krisis tahun 1997, dari 45 persen menjadi 39 persen dari total populasi, tetapi tetap sangat besar jumlahnya, yakni 15 juta orang. Akan tetapi, populasi pekerja di sektor yang tidak membutuhkan keterampilan tinggi meningkat dari 24 persen menjadi 29 persen. Ini berarti, jutaan orang miskin pedesaan menjadi orang miskin perkotaan. ”Saya yakin kecenderungan ini terjadi juga di banyak negara di Asia lainnya,” katanya.
Di Thailand, kata dia, menjadi orang miskin di pedesaan masih relatif lebih baik ketimbang menjadi orang miskin di perkotaan. Kualitas hidup di pedesaan lebih baik dan tidak banyak orang yang kaya raya dibanding lainnya. Dan krisis politik terkini di Thailand mengingatkan bahwa pembangunan politik dan sosial sama pentingnya dengan pembangunan ekonomi. Lebih tepatnya, pembangunan ekonomi mesti konsisten dengan prinsip demokrasi, yakni persamaan dan keadilan (equality and fairness/kompas 22/5)
Indonesia Punya Borok Yang Sama
Lain di Thailand lain pula di Indonesia, secara teori demokrasi di Indonesia berjalan sesuai kesepakatan bersama, dan TNI keluar dari politik praktis. Tetapi belakangan ini kesepakatan itu di “rampok” oleh kartel kekuasaan. Yang terjadi adalah, adanya pembagian kekuasaan di kalangan elitenya tetapi sayangnya “rakyat”nya kurang terurus. Ciri khasnya di Kota, PKL dan sejenisnya di “habisi”, sementara mall dan sejenisnya malah merajalela sampai ke kampung-kampung. Artinya, rakyat kian tidak terurus dan mereka yang mengurusinya tidak didasari dedikasi, dan ketulusan; melainkan hanya cari bati.
Begitu juga di pedesaan. Para pimpinan daerah yang juga adalah pimpinan atau orang parpol, yang mengemuka adalah pola yang sama mengelola daerahnya dengan mengutamakan profit bagi diri dan partainya sendiri. Demi memperoleh hasil yang sebesar-besarnya, Lingkungan di eksploitasi secara membabi buta, ironisnya usaha atau katakanlah seperti tambang rakyat dimatikan ( dengan alasan merusak lingkungan, tetapi kalau perusahaan yang merusak justeru di biarkan). Pendidikan makin mahal; tadinya kita sudah berharap dengan naiknya anggaran pendidikan kita ingin melihat pendidikan gratis, dan adanya acara sarapan pagi dan makan siang di tiap-tiap sekolah; nyatanya yang terjadi malah lebih jelek dari yang sudah ada sebelumnya.
Gejala itu sudah muncul dimana-mana, begitu ada cacat politik dari para penguasa daerah amuk massa langsung muncul. Lihatlah Bojo negoro, masa membakar hampir semuanya. Ya kantor, ya mobil dan apa saja yang mereka temui. Lihat Koja, jangan terpaku pada adanya mbah priok, tetapi perhatikanlah pada ketidak adilan di sekitarnya. Lihat pada kasus bank century, kartel politiklah yang membuatnya jadi tidak layak untuk dilanjutkan lagi. Padahal praktek-praktek demokrasi, itu sungguh berharga, kita membutuhkan penyelesaian masalah sesuai jalur demokrasi, dan itu perlu untuk pembelajaran. Jangan biarkan ia jadi borok-borok atau bisul-bisul yang bisa meletup setiap saat. Dan yang paling vulgar lagi adalah perlakuan pimpinan dalam mengelola kekuasaannya, ada yang masih “sopan” seperti yang dialami oleh mantan Menkeu, tetapi ada juga yang kasar seperti di kepolisian (kasus Susno); kita harus ingat bahwa alam dan rakyat itu mempunyai keterbatasan dalam kekenyalan, kalau terus menerus di tekan oleh ketidak adilan secara vulgar pasti ia berbalik dan membalas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H