Menurut Kompas (11/10) Pemerintah dianggap lalai dalam menjaga perbatasan Indonesia dengan Malaysia di daerah Camar Bulan dan Tanjung Datu, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Bahkan, Indonesia dianggap menyerahkan sebagian wilayahnya itu kepada Malaysia. Padahal, batas wilayah kedua negara tersebut pada masa penjajahan Belanda dan Inggris sudah sangat jelas.Hal itu dikatakan Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin, Senin (10/10), di Jakarta. Hasanuddin, mantan Sekretaris Militer Presiden, yang kini menjadi anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, melakukan investigasi ke Kalimantan Barat. Modus di Sipadan-Ligitan berulang di Camar Bulan dan Tanjung Datu.
Berita ini juga sebenarnya sudah pernah di muat media pada masa-masa sebelumnya tetapi kemudian lalu hilang lagi. Misalnya saat kunjungan Panglima TNI pada bulan Februari 2011. Waktu itu Wakil Gubernur Kalbar Christiandy Sanjaya, Kompas. Jumat (25/2/2011) malam, saat menyambut kunjungan Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono di Istana Rakyat, Pontianak. Agus dan rombongan singgah di Pontianak dalam rangka kunjungan ke Jagoibabang, Kabupaten Bengkayang, yang berbatasan dengan Serikin, Negara Bagian Serawak, Malaysia. Jelasnya Baca juga di SINI.
Menurut wagub ”Batas negara di Kalbar itu tak sesuai dengan klaim masing-masing negara. Selain Camar Bulan di Tanjung Datuk, ada empat titik batas lain yang belum ada kesepakatan, yakni Gunung Raya 1 dan 2, Gunung Jagoi, Batu Aum, dan di titik D. 400 yang pada survei tahun 1987-1988 tidak ditemukan titik jatuh air,” kata wagub kala itu. Tetapi seperti biasa berita lalu hilang di telan masa.
Bagaimana sebenarnya duduk persoalannya?
Penegasan Batas RI-Malaysia sudah dimulai sejak tahun 1973 saat dilakukan penanda tanganan MOUnya dan pelaksanaannya secara fisik di lapangan baru di mulai tahun 1975. Pada pertemuan Panitia Nasional ke - 18 (Minutes Nasional/JIM ke – 18) yang diadakan di Jakarta, Indonesia, tanggal 18 – 20 Oktober 1993, antara lain telah menyetujui bahwa supaya semua masalah yang berkaitan dengan perbatasan kedua negara segera diputuskan setelah seluruh pelaksanaan survei dan penegasan batas selesai dilaksanakan. Pekerjaan penegasan batas terus berjalan sampai tahun 2000, dan secara fisik pekerjaannya sudah selesai; namun demikian masih ada beberapa masalah batas atau Outstanding Boundary Problems (OBP) yang kedua negara belum sepakat. Indonesia mengusulkan ada 10 masalah (dengan memasukkan Tanjung Datu salah satunya) tetapi pihak Malaysia hanya mengakui 9 masalah dan menganggap Tanjung Datu sudah selesai. Masalah itu terus berlarut-larut karena kedua belah pihak belum mau berunding secara sungguh-sungguh memasuki permasalahan OBP.
Pada Pertemuan Panitia Nasional ke – 25 (Minutes Nasional JMI ke – 25) yang diadakan di Pulau Pinang, Malaysia, tanggal 24 - 26 February 2000, telah menyetujui dan memerintahkan kepada Kedua Komite Teknik untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengkaji dan mengemukakan alternatif penyelesaian permasalahan perbatasan OBP tersebut sebaik mungkin.
Pada Pertemuan Teknik ke – 31 (Minutes Teknik/IMT – 31) di Bandung, Indonesia, tanggal 20 – 22 September 2000, pada titik g. Agenda 7, 3), ( halaman 12) menyatakan bahwa : untuk segera membentuk sebuah Kelompok Kerja (A Joint Working Group / JWG) dan menerbitkan proposal sebagai bahan pertimbangan dan persetujuan terhadap Pokja ini.
Pada Pertemuan Tingkat Nasional/The Joint Bondary Committee Meeting (Minutes Nasional/JMI – 27) di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia tanggal 29-31 Oktober 2001, telah disetujui untuk menyelenggarakan pertemuan khsusus untuk membahas TOR untuk The Joint Working Group dalam rangka membahas OBP tersebut.
Dari Pertemuan ke 27 tersebut, diputuskan untuk diadakan Pertemuan Khusus (The Special Metting)yang diberi nama “The Special Metting to Finalise the Terms of Reference for the Joint Working Group on the Outstanding Boundary Problems on the Joint Demarcation and Survey of The International Boundary betweenIndonesia and Malaysia) di Jakarta pada 10-11 April 2002.
Pada pertemuan itu pihak Indonesia sudah menjelaskan kepada pihak Malaysia bahwa kalau Malaysia tidak mengakui Tanjung Datu jadi salah satu OBP, maka Indonesia tidak akan mau lagi berunding lebih lanjut.Sehingga pihak Malaysia pada waktu itu setuju untuk menjadikannya sebagai catatan yang akan dibicarakan para pertemuan berikutnya.( Negosiatornya Ibu Siti Nurbaya saat jadi Ketua Nasiona Penegasan Batas RI-Malaysia)
Sayangnya Tim Indonesia itu tidak solid dan setiap saat Timnya berubah, dan masalah Tanjung Datu jadi sumir lagi. Belakangan yang terjadi kini sebaliknya; pihak Malaysia yang justeru tidak akan mau lagi berunding bila Tanjung Datu masih di permasalahkan. Tahu bagaimana reaksi Indonesia? Persis ! Pihak Indonesia kehilangan jati dirinya dan cilakanya atau kelihatannya Indonesia akan melepaskan klaim itu. Sebab apa? Menurut saya karena banyak pihak yang membahasnya tidak mengerti duduk persoalannya, meski ahli dalam bidangnya tetapi tidak memahami persoalan batas yang jadi inti masalah, tetapi secara lembaga mereka harus bicara? Maka yang muncul adalah perbedaan tapsir dan pendapat masing-masing. Kementerian dan Lembaga datang dengan argumennya sendiri-sendiri.
Mari Kita Jaga NKRI dengan Cerdas
Yang paling bagus itu DPR-RI harus memanggil penjuru yang bertanggung jawab terhadap masalah ini yakni ; Kemdagri (sebagai ketua Nasional Perbatasan) dan Kemhan ( Ditwilhan-Ditjenstrahan-Kemhan yang jadi Ketua Teknis Nasional di Perbatasan RI-malaysia) dan Kemlu yang jadi negosiator dan juru runding perbatasan Indonesia. DPR-RI sebaiknya meminta penjelasan Resmi terkait “riwayat” Tanjung Datu atau Camar Bulan ini; dimana persoalannya dan bagaimana solusinya. Terusterang masalah ini oleh “Indonesia” sudah dianggap selesai dan malah tinggal didiamkan saja. Untunglah Komisi-I DPR-RI bisa dengan jeli merekam masalah ini dan menjadi berita. Inilah salah satu kelemahan kita Indonesia, diatas kertas kita selalu bilang “tidak ada kompromi dalam hal kedaulatan” tetapi di lapangan wilayah kita itu malah di “obral”. Jadi jangan salahkan Malaysia, kalau diberi ya mereka pasti Mau. Pasti mau sekali. Jadi yang selama ini bikin Malaysia ke tagihan. Yak arena ulah Indonesia sendiri. Yang memang tidak optimal dalam menjaga wilayahnya.
Jadi masalah Tanjung Datu ini masih sangat bisa di upayakan. Tetapi itu kalau Indonesia mau. Hanya saja itu memerlukan orang-orang yang memang paham persoalannya. Karena kita juga harus menyadari bahwa wilayah perbatasan itu selama ini ditangani oleh Kepanitiaan, artinya setiap tahun personilnya berganti-ganti dan zaman berubah, negara kita terserang virus Korupsi; sehingga yang dilihat bukan lagi masalah perbatasannya; tetapi sudah lebih jauh ya dana-dana yang bisa digulirkan di wilayah perbatasan. Sebenarnya “kasihan” juga melihat NKRI itu, kedaulatannya seperti disia-siakan oleh mereka yang justeru diangkat untuk menjaganya; mereka diberi jabatan; diberi fasilitas untuk itu. Tetapi malah berpikiran yang justeru merendahkan garis kedaulatan itu sendiri.
[caption id="attachment_135041" align="alignleft" width="350" caption=""][/caption]
Pertama, masalah Tanjung Datu masih berada pada tataran Teknis dan masalahnya baru sampai di tingkat Komite Teknik, dan belum ke tingkat Nasional sehingga MOU yang ditanda tangani oleh Ketua Teknik masih bisa di rundingkan lagi dan masalah ini juga belum pernah di laporkan secara resmi kepada DPR-RI. Sesuai UU masalah kedaulatan harus diputuskan atas persetujuan DPR-RI. Masalah OBP sebaiknya diselesaikan tidak secara parsial, tetapi dalam satu kesatuan yang utuh sehingga ada ranah untuk saling “take and Give”. Sehingga kalau ada pihak yang di rugikan di satu tempat tetapi kemudian diuntungkan di tempat lain. Mari kita menjaga NKRI dengan cerdas bukan dengan emosional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H