Terus terang, dengan adanya pak Fadel Muhammad di kementerian Perikanan dan Kelautan, saya terinspirasi untuk menuliskan postingan ini. Khususnya yang terkait hak nelayan tradisional kita. Selama ini setiap kali ada penangkapan nelayan Indonesia oleh otoritas keamanan Australia, dan kelihatannya hal seperti itu akan terus berlangsung; sering kita lihat sebagai sesuatu yang melecehkan. Bisa jadi cara-cara penanganannya di lapangan melebihi kepatutan, tetapi kita juga sebenarnya, harus juga realistis. Australia melakukan itu karena mereka memang bertanggung jawab terhadap kedaulatannya. Mereka konsisten dan terus berupaya menata dan mengelola wilayahnya dengan standar perlakuan yang lebih baik, lebih ramah lingkungan agar tetap lestari, dan dapat memberikan kemaslahatan, kemakmuranbagi masyarakatnya.
Sudah seharusnya kita menghargai upaya yang mereka lakukan.Bangsa kita memang, harus diajari cara-cara hidup yang bertanggung jawab dan menghargai hak orang lain, dan menuntut hal yang sama kepada petugas Negara kita untuk menjaga kedaulatan NKRI dengan baik. Persoalannya, cara kita memenage pengamanan wilayah kita, sungguh jauh dari standar yang sangat dasar sekalipun. Ibarat, ronda; kita tidak pernah berpartisipasi. Kita lebih senang, hanya sekedar memberi rokok pada yang jaga, padahal yang jaga jelas-jelas tidak pernah melakukan tugasnya dengan benar.
Secara hukum Unclos 1982 memang mengakui hak tradisional tersebut, sesungguhnya masing-masing Negara juga mempunyai kerjasama atas wilayah penangkapan ikan tradisional dengan Negara tetangga. Demikian juga antara RI – Australia, kedua Negara sudah menanda tangani kesepakatan untuk itu di tahun 1972. Sayangnya, kedua Negara secara sungguh-sungguh belum pernah sepakat tentang “nelayan Tradisional” tersebut.Tetapi pada dasarnya, boleh dikatakan hampir setiap Negara melindungi kekayaan alamnya dari pengeksploitasian oleh Negara asing.
Dalam kesepakatan antara RI-Australia , Australia mengakui hak menangkap ikan bagi nelayan tradisional Indonesia yang turun-temurun melakukan penangkapan di wilayah Australia, yaitu nelayan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Kawasan perairan Australia yang boleh dimasuki nelayan tradisional Indonesia meliputi kepulauan karang Pulau Pasir (Ashmore Reef), Pulau Baru (Cartier Islet), Pulau Aftringan (Seringapatam Reef), Pulau Dato (Scott Reef), dan Browse Islet. Terlebih lagi, Sejak 16 Agustus 1983, Pemerintah Australia menetapkan Pulau Pasir sebagai cagar alam. Nelayan tradisional Indonesia dilarang mengambil sumber daya laut di kawasan perbatasan itu (Sumber : Kompas / 30 / 3 / 2010 / www.wilayahpertahanan.com;www.wilayahperbatasan.com)
Sosialisasi Permasalahan
Selama ini yang sering muncul kepermukaan adalah tuduhan pada pemerintah atas ketidak mampuannya dalam membela para nelayannya, khususnya ketika para nelayan itu di tangkap oleh aparat pemerintah setempat. Persoalannya sebenarnya tidak hanya sekedar kemampuan membela warganya, tetapi yang utama juga adalah persepsi kita yang sangat berbeda dengan para Negara tetangga kita. Australia adalah Negara maju, yang sangat peduli dengan pemelihaaran lingkungannya, di negaranya sana, orang memancing ikanpun harus mempunyai SIM (surat izin memancing), tidak bisa sembarangan, apalagi menangkapnya dengan memakai bom, ga ada jalan.
Begitu juga persoalannya dengan Papua Nuigini (PNG), para nelayan kita masuk wilayah PNG, karena di wilayah kita ikannya sudah ga ada. Sementara di sana, melimpah, sebab mereka memang belum bisa menangkapnya. Nelayan kita sering juga jadi korban. Hal yang sama dengan Malaysia di Selat Malaka, nelayan kita sering juga ketangkap, karena memang nelayan kita mengejar ikan itu sampai ke ZEE; sementara batas laut ZEE kita dengan Malaysia belum jelas, atau belum disepakati oleh kedua belah pihak. Dengan Filipina, kita juga punya permasalahan perihal penangkapan ikan tradisional, hanya saja laut kita yang jadi bancaan.
Lagi pula Filipinanya pintar, mereka sediakan kapal, dan tampung ikan, yang menjarah ikan di laut kita ya orang orang kita juga. Sama halnya dengan di perairan pulau Sebatik, kapal dan tukang tadah ikannya di bandari oleh cukong dari Tawau Malaysia; yang menjarah ikan kita ya warga kita juga. Hal yang sama sebenarnya terjadi juga dengan kayu kita di perbatasan; yang menyediakan sarananya, louder dan alat alat berat lainnya dan tukang tadahnya ya cukong dari Negara tetangga, tetapi yang menjarah kayunya, ya warga kita.
Kembali kepada hak penangkapan ikan tradisional, ya semua Negara mengakui tetapi sebenarnya dengan suatu persyaratan yang ketat. Begitu juga dengan Australia, harapan kita ; pemerintah kita agar berupaya untuk meyakinkan pemerintah Australia tentang adanya perubahan kondisi atau perubahan penampilan para nelayan tradisional kita. Katakanlah adanya semacam proses adaptasi, khususnya terhadap perubahan iklim yang dengan demikian mengubah atau menyesuaikan sarana alat tangkap dan kapal untuk menghadapi gangguan cuaca.
Dengan kata lain, nelayan tradisional kita itu sudah berpenampilan canggih, lengkap dengan sarana navigasi modern. Maunya kita Australia agar memperlakukan mereka, tetap sebagai nelayan tradisional. Padahal dalam pengertian Australia, ya kalau neleyan tradisional, ya benar-benar sebagai nelayan tradisional. Ada layarnya, dan ga ada mesinnya.
Di satu sisi kita sering berupaya keras, agar maksud kita bisa diterima oleh pihak Australia, padahal Australia tahu persis bagaimana sejarah, kelakuan dan budaya “masyarakat nelayan” kita dalam menangkap ikan dan memperlakukan lingkungannya. Dalam kacamata mereka, yang menggerakkan nelayan kita itu sama sekali jauh dari semangat para leluhur kita dahulu, yang hanya sekedar mencari makan dan hidup yang layak. Tetapi nelayan yang mereka temui sekarang adalah nelayan yang digerakkan oleh suatu sindikasi, yang sudah tidak asing lagi, yakni sindikasiillegal fishing yang memakai topeng nelayan tradisional.
Intisari tulisan ini sesungguhnya, ingin menyampaikan kepada para masyarakat kita, mari kita jaga dan pelihara wilayah dan kedaulatan Negara kita dengan benar, tegakkan peraturan yang ada. Dengan keyakinan kalau kita memeliharanya dan mengelolanya dengan benar, maka niscaya kita bisa hidup dengan makmur dan sejahtera, tanpa perlu mengambil milik Negara lain. Hal-hal seperti inilah yang saat ini langka kita dengarkan. Kita harus berani menilai kelakuan kita, yang semakin lama semakin jauh dari hal-hal sederhana tetapi mendasar. Semangat dan tenaga bangsa kita habis mikirin para koruptor, manipulator, dan semua yang berbau salah urus. Kapan kita bisa membangun negeri ini dengan layak dan dengan ketulusan yangsejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H