Mohon tunggu...
Harmen Batubara
Harmen Batubara Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Buku

Suka diskusi tentang Pertahanan, Senang membaca dan menulis tentang kehidupan, saya memelihara blog wilayah perbatasan.com, wilayahpertahanan.com, bukuper batasan .com, harmenbatubara.com, bisnetreseller.com, affiliatebest tools.com; selama aktif saya banyak menghabiskan usia saya di wialayah perbatasan ; berikut buku-buku saya - Penetapan dan Penegasan Batas Negara; Wilayah Perbatasan Tertinggal&Di Terlantarkan; Jadikan Sebatik Ikon Kota Perbatasan; Mecintai Ujung Negeri Menjaga Kedaulatan Negara ; Strategi Sun Tzu Memanangkan Pilkada; 10 Langkah Efektif Memenangkan Pilkada Dengan Elegan; Papua Kemiskinan Pembiaran & Separatisme; Persiapan Tes Masuk Prajurit TNI; Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah; Cara Mudah Dapat Uang Dari Clickbank; Rahasia Sukses Penulis Preneur; 7 Cara menulis Yang Disukai Koran; Ketika Semua Jalan Tertutup; Catatan Blogger Seorang Prajurit Perbatasan-Ketika Tugu Batas Digeser; Membangun Halaman Depan Bangsa; Pertahanan Kedaulatan Di Perbatasan-Tapal Batas-Profil Batas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gerbang Kedaulatan di Perbatasan, Kita Perlu Belajar Pada Timor Leste

3 Desember 2011   08:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:53 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kata orang kalau ingin melihat simbol kedaulatan sebuah negara maka lihatlah cara mereka menata gerbang kedaulatannya di wilayah perbatasan. Dengan demikian, kalau sering kita dengarkan tentang perbatasan sebagai halaman depan bangsa, maka itu sebenarnya ada benarnya. Penataan gerbang kedaulatan dan cara suatu negara mengamankan halaman depannya adalah simbol dan bagaimana kemampuan suatu negera dalam nejaga harga diri bangsanya. Mari kita lihat lebih detail. Terus terang kalau saya perhatikan wilayah perbatasan itu hanya jadi ajang rebutan anggaran. Masing-masing pihak selalu berusaha agar kementerian atau lembaganya yang jadi “penentu”. Hanya itu, setelah itu semua berjalan sebagaimana biasa. Sementara itu negera tetangga dengan sungguh-sungguh membangun wilayah perbatasannya sebagai bagian integral dari pembangunan nasionalnya. Contoh nyata. Mereka membangun gerbang pintu perbatasannya sebagai gerbang kedaulatan negara, gerbang yang mencerminkan harkat diri bangsa. Sementara negara kita tidak pernah memberikan atensi yang semestinya. Kini kita sudah punya BNPP, tetapi adakah sesuatu yang berubah? Terus terang yang sudah terlihat tidak ada yang baru; yang ada justeru pola “lama” dengan dinamika baru, dan ganasnya terhadap anggaran (semoga saya salah) tetapi kelihatannya sama saja. Gerbang Perbatasan, gerbang pasar Loak Saya masih ingat tahun awal 1980an ketika Entikong-Tebedu, Kalimantan Barat akan dikembangkan jadi gerbang “kedaulatan NKRI”. Pihak Malaysia melakukannya sesuai dengan prosedur standar, mereka buat master plannya, kemudian di programkan dan dianggarkan sesuai “kemampuan” keuangan negaranya. Sesuai jalannya waktu, mereka “mematangkan” lahan lokasi gerbang dengan area sekitarnya dengan mengerahkan dua buah dozer. Pendek cerita lokasi lahannya tertata dengan tertib sesuai “master plannya”. Untuk para petugasnya mereka membangunkan Rumah Susun empat tingkat di area perumahannya, dan tertata sesuai artistik. Pendek ceritra gerbang betas mereka terlihat megah, asri dan berwibawa. Lalu seperti apa kita membangun gerbang batas kita? Persis, budaya kita dan pola pimpinan naga bonar menjadikan gerbang batas kita itu jadi tumpahan sampah dan lingkungan kumuh dan sama sekali tidak tertata; persis kalau warga “kelas TKI” membangun gerbang batasnya. Meski master plannya ada, tetapi lahannya sama sekali tidak di tata dan tidak di “matangkan”. Masing-masing kementerian dan lembaga yang terlibat di batas itu membangun sendiri rumah dan kantornya sesuai “selera” korpsnya. TNI juga menggelar tenda sesuai standarnya. Bayangkan, kementerian “anu” membangun kantornya, semua sampah dan sisa-sisa urugan di dorong ke pinggir. Begitu juga kementerian”lainnya” mereka juga tidak kalah sigap membangun kantor dan rumah dinasnya dan seperti biasa, sampah dan sisa-sisa urugan di taruh atau dibuang ke sekelilingnya. Area itu tentu mulai ramai, pedagang kaki lima juga mulai datang; mereka juga bangun gubuk-gubuk ala kadarnya, yang penting tidak kehujanan. Setelah puluhan tahun kemudian, maka apa yang terjadi adalah apa yang anda lihat sekarang ini. Pergilah ke sana. Maka anda akan melihat, bagaimana kumuhnya gerbang batas Indonesia itu. Jorok, lengkap dengan semua keburukan para pedagang omprengan yang memang tidak diatur. Sementara gerbang negara lain terlihat megah, bersih, asri, berwibawa; sekilas saja terlihatlah bagaimana negara lain itu menghargai diri mereka secara bermartabat dan memang layak serta patut untuk dihormati. Gerbang NKRI? Bukan saya “merendahkan”, sama sekali bukan itu maksud saya. Tetapi kalau anda juga jujur sungguh rasanya tidak patut kita menghargai negara yang membuat gerbangnya saja tidak “patut”, tidak sesuai dengan “harkat” diri bangsa. Kalau saya anggota DPR maka saya akan menilai; sungguh tidak layak kementerian atau lembaga yang mengelola batas itu diberi rasa hormat. Gerbang RI-RDTL Okelah, di Entikong dan Nunukan Kalimantan Gerbang batas dan halaman gerbang kita amburadul, kita terima apa adanya; kita bisa cari alasan karena pada waktu itu kita belum punya BNPP. Tetapi apa lacur dan bagaimana Gerbang Kadaulatan NKRI kita setelah kita punya BNPP. Lihatlah gerbang batas NKRI di Mota Ain di perbatasan antara RI-Timor Leste? Ya Tuhan, ternyata posisi gerbang batas kita di sini juga sungguh sangat “memalukan”. Timor Leste itu negara kecil dan baru merdeka. Meski dalam sepak Bola kita bukanlah jagonya, tetapi Timor Leste itu kelasnya masih jauh di bawah kita. Meskipun kita miskin, tetapi jelas Timor Leste itu lebih miskin lagi. Tetapi dalam menjaga batasnya, mereka patut diacungi jempol dan kita rasanya wajib memberikan rasa hormat. Hal seperti itulah yang ada dalam batin saya, ketika menginjungi pintu gerbang kedaulatan NKRI di Mota Ain, perbatasan antara RI-Timor Leste. Memang gerbang mereka belum selesai, tetapi semua sudah di tata dengan kualitas bangunannya yang jauh lebih bagus dari yang kita punya. Mereka buat halaman parkirnya cukup luas, kantor yang tertata, dan perumahan petugas yang terpadu meski agak jauh ke belakang. Mereka juga memanfaatkan “teknologi” scanning, sehingga setiap mobil yang lewat tidak perlu barang-barangnya di turunkan; cukup di lewatkan dibawah “teknologi scannya” maka proses pemeriksaan selesai. Mau tau gambaran Gerbang Indonesia kita tercinta? Kalau saya sebut masih jauh dibawah standar terminal Gunung Kidul Jawa tengah mungkin keterlaluan. Tetapi sungguh itulah yang saya lihat, tidak ada area khusus, semua orang dan siapa saja bisa masuk, malah kambing dan sapi juga ada. Dalam hati saya, bagaimana kita mengharapkan orang lain mau menghargai kita, kalau cara kita membangun halaman depan negara kita juga amburadul begitu? Bukan karena kita negara miskin, sama sekali bukan. Tetapi kalau semangat jahat korupsi telah menggerogoti cara kita membangun negeri kita, rasanya sulit mau di tutup-tutupi. Kita tidak lagi peduli dengan harga diri bangsa, yang penting ambil uangnya pada kesempatan pertama. Menurut saya, Timor Leste negara tetangga kita itu telah dengan “halus” mengajari kita bagaimana cara membangun gerbang dan lingkungannya di gerbang batas yang pantas. Ini bukan soal miskin dan kemiskinan tetapi ini tentang “harkat diri bangsa”. Marilah kita sadar, bahwa negara tetangga kita itu, mau berbuat sesuatu yang baik bagi negaranya dan menjadikan negaranya layak untuk di hormati. Pertahanan Batas kita juga Payah Dalam penataan sistem keamanan perbatasan dengan negara tetangga, faktor penting yang perlu dicermati adalah letak geografi Indonesia yang strategis, tapi rawan konflik. Di laut, Indonesia berbatasan dengan 10 negara (India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Niugini/PNG, Australia, dan Timor Lorosae). Di darat berbatasan dengan tiga negara (Malaysia, PNG, dan Timor Lorosae). Melalui Permenhan Nomor 10 Tahun 2010 ditetapkan 12 pulau kecil terdepan, antara lain pulau Rondo, Berhala, Nipa, Dana Rote, Fani, Fanildo, Sekatung, Miangas, Marore, Marampit Batek, dan Bras. Untuk perbatasan di laut, total pemerintah telah menginventarisasi 92 pulau kecil dan 12 pulau dijaga prajurit TNI. Namun, persoalan kawasan perbatasan akan terus mengancam, termasuk di dalamnya ketidaksepahaman garis batas wilayah antarnegara yang banyak belum diselesaikan melalui perundingan bilateral. Kendati Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) telah dibentuk, program-program yang dirancang belum sepenuhnya ditujukan untuk kegiatan menghambat aksesibilitas (darat, udara, dan laut/perairan) pihak asing, termasuk penetrasi transportasi dan komunikasi. Terlepas dari ada 13 institusi yang terlibat mengamankan wilayah laut—termasuk TNI—beberapa kelemahan yang melekat memang masih berlaku mulai dari minimnya teknologi persenjataan dan komunikasi, kurangnya pembangunan infrastruktur yang terintegratif, dan lemahnya sumber daya manusia. Namun, yang paling mengemuka adalah persoalan koordinasi dan pembiayaan tinggi. Ketika Insiden Bintan terjadi, dan petugas Indonesia di gelandang oleh Polisi Malaysia di wilayah NKRI sendiri, barulah kita paham bahwa banyak hal yang seharusnya berfungsi ternyata kita abai di sana. Bagi Kemhan atau TNI wilayah NKRI itu dari sisi pertahanan dan keamanan sebenarnya sudah terbagi habis dan sudah di tata dalam “Dislokasi Pasukan Trimatra” TNI, satuan-satuan TNI sesungguhnya sudah ada di sana dan telah “berjalan”; TNI juga mempunyai lokasi-lokasi tertentu “splash point” yang di jadikan sebagai wilayah yang sangat perlu untuk diperhatikan dan diamankan; secara logikanya di daerah-daerah wilayah perbatasan, khususnya yang mempunyai tingkat ke rawanan khusus, TNI sudah mempunyai SOP nya; tetapi kenapa tidak berfungsi? Itulah kenyataannya? Cobalah anda naik Heli di Perbatasan maka dalam waktu yang bersamaan, pesawat patroli negara tetangga itu sudah datang menghampiri anda, meskipun ia mengucapkan salam tetapi dalam system pertahanan hal itu menjadi simbol bahwa negeri itu sungguh-sungguh ada pengawasnya. Tetapi bagaimana kalau hal yang sama mau masuk perbatasan Indonesia? Sungguh memilukan, sungguh mencederai rasa kebanggaan itu sendiri. Mengapa tidak. Sama sekali tidak ada yang bisa pantau, kalaupun ada radar, disamping teknologinya sudah ketinggalan, maka jam kerjanya juga terbatas, dalam sehari hanya “on” selama delapan jam; selebihnya ga ada sama sekali. Alasannya juga sederhana tidak ada BBMnya. Konyol ga sih? Jadi kalau ada pesawat negara lain yang nyelonong ke perbatasan kita, paling maksimal yang bisa kita lakukan hanyalah mencatatnya. Pada detik, menit dan jam sekian pesawat jenis anu melanggar garis batas di koordinat sekian dan sekian; kemudian laporan itu diteruskan sampai ke ujung komandonya; di ujung komando diteruskan ke Kemnterian untuk seterusnya diteruskan ke Kementerian Luar negeri, dan oleh kemlu di buatkan nota protes; untuk semua itu perlu rentang waktu paling cepat dua minggu. Sungguh menyedihkan. Sungguh kita sangat sedih kalau kita mengetahui ternyata wilayah perbatasan kita itu hanya jadi ajang rebutan anggaran, tetapi harus diakui mereka yang kita percayakan sebagai yang pengelola perbatasan negara kita itu sungguh tidak melakukan hal yang sepantasnya. Dalam hal penataan gerbang kedaulatan NKRI ternyata kita jauh dibawah kemampuan negara Timor Leste. Begitu juga dengan pengamanan dan pertahanan wilayah kita di perbatasan rasanya tidak ada yang bisa diamankan. Kita memang punya 56 Pos perbatasan di Kalimantan dan setiap Pos di jaga oleh TNI kita, tetapi sesungguhnya apa yang mereka jaga masih jauh dari yang diharapkan. Mereka sendiri masih bagian dari persoalan, minimal dropingg logistiknya, sungguh bukanlah suatu yang mudah. Dibandingkan dengan medan berat dan hutan di sekitarnya, maka kalau mereka mampu mengamankan dalam radius 500 meter dari Pos nya itu sudah sangat baik. Padahal jarak antar pos itu bervariasi antara 30 – 60 km, lalu anda mau mengharapkan apa dari mereka? Ya sekedar simbol saja, bahwa batas itu ada yang jaga. Tidak lebih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun