oleh harmen batubara
Dalam pengarahannya saat pelepasan tim ekspedisi Khatulistiwa ini, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowo, menegaskan, tujuan utama ekspedisi itu adalah kebersamaan. ”Tidak ada sipil, tidak ada militer. Kibarkan bendera Merah Putih di tengah Kalimantan,” tegasnya waktu itu. Kasad menekankan,selama ini ”Kita kenal cinta Tanah Air, tapi kita tidak kenal tanah dan air,” ujar Pramono. Ia mengatakan, jangan sampai asing lebih kenal Kalimantan daripada orang Indonesia. Jangan sampai potensi alam Indonesia lebih diketahui asing. ”Tunjukkan kau kenal karena kau yang punya Kalimantan,” kata Pramono di depan para prajurit dan peneliti muda.
"Tim ekspedisi Khatulistiwa-2012, didesain dan berkolaborasi dengan berbagai elemen masyarakat yang meliputi TNI, pemerintah, pemda, masyarakat madani, para pecinta alam dan para peneliti dari kalangan perguruan tinggi. Tim ekspedisi beranggotakan sebanyak 1.100 orang yang nantinya akan melaksanakan penelusuran dan jelajah medan di wilayah perbatasan, penelitian juga akan melihat tentang kerusakan hutan, apakah hal itu terjadi karena diakibatkan oleh alam atau diakibatkan oleh manusia. Juga aka nada kegiatan bakti sosial, kegiatan penghijauan termasuk untuk melihat potensi kemungkinan bencana di wilayah tersebut. Peneliti juga akan melakukan kegiatan penyelamatan flora dan fauna yang diduga akan mengalami kepunahan di Kalimantan, mereka juga akan berupaya menemukan spesies baru, karena Tim ini juga disertai para personil peneliti dari LIPI, ITB, UNPAD serta para peniliti dari daerah itu sendiri. Di beberapa daerah terlihat Pemda juga memberikan apresiasinya.
Kenal Malah Membuat Nelangsa
Tim ini pasti akan sampai di Krayan KalTim, pada pertengahan Januari lalu harga BBM di sana Rp 10.000 per liter, gula pasir Rp 15.000 per kg, dan semen Rp 250.000 per zak. Salah satu hasil unggulan dari daerah ini adalah beras adan yang dijual masyarakat Krayan ke Sarawak, salah satu varietas lokal unggulan di Kaltim. Nasinya pulen dan harum. Beras ini dijual hanya Rp 17.000-Rp 18.000 per kg di Ba’kelalan dan dijual kembali oleh warga Sarawak dengan harga dua kali lipat di pasar Malaysia.
Meskipun Krayan memiliki sumber daya alam melimpah, warga tidak dapat berbuat apa-apa, mereka sangat bergantung kepada Malaysia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain beras, garam, dan pulsa telepon, semua kebutuhan pokok juga dipasok Malaysia. Ini karena Krayan sudah lama terisolasi. Karena letaknya yang dikelilingi hutan tropis Taman Nasional Kayan Mentarang, Krayan tidak dapat diakses melalui darat dari wilayah lain di Indonesia. Sungai pun tidak saling terhubung.
Di sana terdapat 9.153 warga, satu-satunya akses yang mampu menjangkau wilayah ini hanya melalui penerbangan perintis dari Tarakan, Nunukan, dan Malinau. Untuk menjangkau bandara kecil Yuvai Semaring, Long Bawan, Krayan, biasanya menggunakan pesawat Cessna berkapasitas 6-12 penumpang yang dioperasikan Susi Air. Tak ada pilihan kecuali harus membeli barang kebutuhan pokok dari Malaysia. Sebab, ongkos angkut barang dengan pesawat terlalu tinggi. Harga 1 kg gula pasir di Nunukan, misalnya, Rp 10.000 sehingga harga jualnya di Krayan bisa Rp 20.000 per kg. Sepertinya wilayah ini belum berubah, masih seperti suasana awal tahun 1990-an yang belum dapat listrik dan biaya penerbangan mahal. Itu belum seberapa.
Sekarang cobalah ke Sota di Papua. Di sana ada Wina Mayua (32) tampak lemas, setelah melahirkan anaknya yang keenam, Senin (20/2). Ia memakai kaus kumal, duduk dengan kaki kanan ditekuk dan kaki kiri selonjor. Di depannya, bayi laki-laki yang baru berumur tujuh jam tidur berselimutkan kain seadanya, beralaskan kulit pohon bus. Si bayi siang itu tidur bukan di atas dipan di dalam rumah, melainkan di atas tanah di halaman belakang rumah orangtuanya.
Di samping kiri si bayi, asap dari perapian kecil terus-menerus mengepul. Hanya ada atap terpal berwarna biru yang melindungi ibu dan bayinya dari panas dan hujan. Adalah tradisi suku Kanum di Kampung Yanggandur, Distrik Sota, Merauke, Papua, di perbatasan Indonesia-Papua Niugini (PNG) ini bahwa perempuan harus melahirkan di sebuah gubuk kecil atau tenda seadanya di belakang rumah, terpisah dari rumah utama. Warga menyebutnya kandang hina.
Ibu dan bayi akan tinggal di kandang hina itu selama seminggu atau sampai tali pusar si bayi terlepas dan lukanya mengering. Kaum laki-laki dewasa, termasuk ayah si bayi, tak boleh masuk kandang hina untuk menjenguk istri dan anaknya. ”Pemali,” ungkap Kasimirus Sanggra, tokoh adat suku Kanum, Kampung Yanggandur, yang juga ketua polisi adat. Hanya kaum perempuan yang boleh menemani ibu dan si bayi.
Agustinus Sanggra, Sekretaris Kampung Yanggandur, mengaku telah berulang kali menyampaikan persoalan kebutuhan tenaga kesehatan itu kepada pemerintah setempat, tetapi tak juga ada perubahan. Masyarakat pun mengandalkan bantuan kesehatan dari Pos Satuan Tugas (Satgas) Pengamanan Perbatasan (Pamtas) RI-PNG Batalyon Infanteri 142 Ksatria Jaya di Yanggandur. Setiap sakit, warga selalu berobat di Pos Satgas Pamtas.
Kapan Jadi Halaman Depannya?
Tenaga Kesehatan Pos Satgas Pamtas RI-PNG Yanggandur, Prajurit Dua Agung Pribadi, menuturkan, bantuan kesehatan lebih bersifat pertolongan pertama. Jika menghadapi kasus berat, Pos Satgas Pamtas akan menghubungi Puskesmas Distrik Sota yang berjarak sekitar 26 kilometer dari Yanggandur. Kebanyakan warga yang berobat menderita infeksi saluran pernapasan akut, paru-paru, diare, demam, flu, dan malaria.
Kehidupan warga Kanum di Yanggandur serba terbatas dan miskin. Agustinus menuturkan, dari 86 keluarga miskin penerima beras untuk rakyat miskin, hanya 40 keluarga yang sanggup menebus beras seharga Rp 35.000 per 15 kg. Warga mengandalkan makanan pokok sagu, keladi, dan gembili.
Budaya hidup meramu dan berburu masih kuat dilakoni warga suku Kanum. Berkebun secara tradisional, seperti menanam gembili, keladi, ubi, dan pisang, untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Hasil kebun tidak bisa dijual ke pasar di Merauke karena buruknya jalan masuk-keluar Yanggandur. Warga biasanya mendapat uang dari menjual sarang semut untuk jamu tradisional Rp 1.000 per kg dan kemiri Rp 2.000 per kg kepada pengumpul setempat. Selain itu juga menjual hasil buruan, seperti saham (kanguru) dan rusa. Namun, sekarang rusa sulit diperoleh. Seekor kanguru muda dijual kepada pengumpul Rp 20.000-Rp 30.000, yang kemudian akan dijual lagi di Merauke. ”Sepuluh tahun lalu rusa, babi, dan saham mudah dijumpai di belakang rumah. Sekarang susah,” tutur Ruben Gebze (57), warga Yanggandur.
Theresia Agnesia Maturbongs, guru SMPN Persiapan Yanggandur, menuturkan, sebagian besar siswa jarang sarapan. Banyak murid yang membolos untuk membantu orangtua masing-masing mencari bahan makanan, mulai dari memancing, memangkur sagu, hingga berburu. Karena itu, murid biasa membolos 1-2 minggu. Bahkan, dari 63 siswa kelas VII dan VIII, hanya separuh yang aktif bersekolah. Usia para murid 20-24 tahun. Biasanya mereka sekaligus jadi tulang punggung keluarga. Karena itu, masuk akal kalau mereka sering membolos.
SMPN Persiapan Yanggandur dibuka tahun 2010 dan hingga kini tak punya sarana memadai serta kurang guru. Karena hanya punya 40 meja dan 40 kursi, kalau banyak murid yang masuk, murid senior kelas VII terpaksa lesehan di lantai. Sekolah itu hanya terdiri atas tiga ruang, yaitu dua ruang untuk kelas VII dan VIII serta sebuah ruang kantor guru.Jumlah guru pun hanya empat orang, yaitu 1 guru PNS, 1 kepala sekolah merangkap guru, dan 2 guru honorer. Selain itu, ada 2 pengajar bantuan anggota TNI. Tidak dapat dibantah, wilayah perbatasan itu masih saja terabaikan. Masyarakat perbatasan harus berjuang setengah mati untuk mempertahankan hidup mereka. (Sumber ;kompas 29 Maret 2012).
Masih ingat Pulau Sipadan dan Ligitan? Selorohnya, untunglah kedua pulau itu jatuh ke tangah Malaysia, sehingga kedua pulau karang itu kini jadi daerah wisata papan atas dan sekaligus jadi Ikon Pariwisata Malaysia. Coba bayngkan kalau ia jadi milik Indonesia? Bisa dipastikan kedua pulau itu malah sudah jadi sarang perampok. Sedih memang. Negara kita kaya, masyarakatnya juga “ramah”, mudah diatur,tetapi sayangnya “negara kita” digeregoti oleh penyakit korupsi akut. Wilayah perbatasan misalnya, bukannya tidak ada yang memikirkannya. Untuk mengurusi wilayah itu ada 25 kementerian/lembaga yang menanganinya, ada pejabat setara eselon satu sebanyak 72 pejabat. Ada BNPP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan) yang jadi badan superbodi bagi pengelolaan wilayah perbatasan; tapi semua itu hanya jadi sarana untuk mengkorupsi uang negara; sampai sekarang yang kita lihat itu adalah besarnya anggaran yang diberikan ke wilayah perbatasan, tetapi hasilnya? Kata orang Nunukan, hanya Malaikat saja yang belum pernah ke wilayah perbatasan mereka, tetapi semua itu tidak membawa perubahan.
Semoga anak-anak muda, para prajurit, para peneliti dan semua personil Tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012- bisa melihat wilayahnya, khususnya wilayah perbatasan- wilayah yang selama ini masih tetap terisolasi; dan semoga semangat mereka memberikan pencerahan bagi pembangunan di wilayah nasional, khususnya di wilayah perbatasan: ( sumber : www.wilayahperbatasan.com).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H