Sebagai ketua Umum HKTIPrabowo punya mimpi, yakni ingin mensejahterakan rakyat Indonesia dengan jalan memanfaatkan lahan terlantar untuk dijadikan lahan pertanian.
Prabowo Subianto meminta pemerintah memanfaatkan 70 juta hektar hutan yang rusak parah dan sedang untuk kegiatan ekonomi produktif bagi rakyat. Caranya dengan membagi lahan masing-masing 2 hektar kepada rakyat.Prabowo mengungkapkan itu pada Rabu (29/9) di Jakarta dalam seminar berjudul ”Tanah untuk Rakyat”. Menurut Prabowo, lebihdari 40 tahun Indonesia gagal membangun negara yang menyejahterakan rakyat. Oleh karenaitu, paradigma pembangunan ekonomi nasional harus diubah, dari yang propasar men-jadi prorakyat. Pengembangansektor pertanian mampu membangkitkan ekonomi negara. Mengacu patokan dunia,setiap 1 hektar lahan akan mendapat keuntungan 1.000 dollar AS, dengan mengelola 70 juta hektar lahan, keuntungan yang bakal didapat Rp 700 triliun setahun. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan, total luas daratan Indonesia 190 juta hektar. Dari jumlah itu, 70 persen adalah hutan dan 30 persen areal penggunaan lain. Dalam rangka mengangkat ekonomi masyarakat sekitar hutan, pemerintah pada tahun 2010 mencadangkan 580.000 hektar untuk dikelola masyarakat. Pemerintah juga memberikan permodalan untuk pengelolaan hutan hingga Rp 3 triliun. ”Ini akan berlangsung hingga tahun 2014 dan ditargetkan lahan yang bisa dimanfaatkan 6,5 juta hektar. Sekarang ini dari 580.000 hutan yang dicadangkan, baru dimanfaatkan 80.000 hektar,” katanya.(Kompas, 30/9/2010/MAS) Lemah Dalam Membangun Sistem Pada awal tahun 60 an, saat Orde Baru memulai kekuasaannya semangat untuk mensejahterakan rakyat itu masih kuat, hal itu terlihat dari Tritura; pada masa itu pemikiran yang berkembang adalah diperlukan skploitasi lingkungan demi kesejahteraan;sehinggaproduk hukum yang dihasilkan juga cenderung tak memperhatikan lingkungan hidup; antara lain UU Kehutanan, yang memberikan hak pengusahaan hutan yang pada realisasinyajusteru pengkaplingan hutan rakyat se Indonesia (HPH); sampaiawal tahun 2000 an, hutan kita sudah habis. Demikian pula dengan UU Pertambagan Minyak dan Gas Bumi seolah olah mengamanatkan bahwa SDA itu harus ditemukan dan dieksploitasi dengan semua cara, sepertinya tidak ada upaya untuk menyisakannya bagi anak cucu kita kelak dikemudian hari.
Barulah pada tahun awal 80an semangat atas kesadaran lingkungan mulai mengemuka, hal ini juga dipicu oleh konvensi Internasional, maka lahirlah UU No.4 Tahun 1982 mengenai Lingkungan Hidup, dan juga ditindak lanjuti dengan adanya Kementerian Lingkungan Hidup; tetapi ini saja kelihatannya belum optimal maka dibuat pulalah UU No.4 tahun 1992 mengenai Penataan Ruang; Pada tahun 1999, muncullah UU no.23 Tahun 1999 yang menegaskan kepeduliannya pada lingkungan, yakni dengan pengetarapan sanksi pada perusak lingkungan; tetapi muncullah semangat reformasi dengan UU no.22 tahun 1999 tentang Otonomi Pemerintahan Daerah; sayangnya pada UU tersebut tidak dibuat adanya hirarki antara Kabupaten/Kota dengan Provinsi, saat itu terlihat adanya kesetaraan antara Bupati/Walikota dengan Gubernur; pada saat itu pemerintah Kabupaten/Kota dengan leluasa mengubah RUTR demi perolehan PAD yang lebih besar, kerusakan lingkungan mencapai klimaksnya. Kemudian UU No.22 tahun 1999 direvisi dengan UU No.32 Tahun 2004, tetapi sekali lagi roh dari pembangunan yang berkelanjutan serta berkesinambungan belum sepenuhnya bisa dipahami.
Yang kita inginkan sebenarnya HKTI memberikan pemerintah Konsep bagaimana agar rakyat bisa mengolah lahan-lahan kosong yang tidak terurus itu; tapi sayangnya kemampuan kita baru pada sekedar wacana, padahal yang dibutuhkan adalah “action plan”, yakni langkah-langkah nyata serta sesuai dengan UU yang memungkinkan lahan terlantar kita itu bisa di ubah jadi lahan produktif. Sayangnya pada UU Pokok Agraria, pasal 3 dan pasal 5, memberikan kekuatan pada hak adat, tetapi pada prakteknya pemerintah ingin menghendaki agar hukum adat berada dibawah keinginan penguasa.Pada kenyataannya setiap ada pertentangan antara hak ulayat dengan keinginan pemerintah, biasanya yang dimenangkan adalah pemerintah, bukan menghormati hak adat yang berlaku di wilayah tersebut. Contoh adalah, pembangunan bandara Udara di Nusa Tenggara Barat, jelas-jelas bahwa tanah tersebut adalah hak adat masyarakat, tetapi pemerintah malah mengalahkannya. Mestinya antara hak ulayat dan hukum nasional harus sejajar. Jangan melihatnya demi pembangunan semata. Seharusnya pemerintah harus menghormati hak ulayat atau adat. Kalau di suatu wilayah ada hukum adat ya harus dihargai. Tetapi bagi wilayah yang tidak punya hak adat ya harus tunduk pada hukum nasional.
Nah masalahnya, masalah kita semua adalah; kemampuan kita dan pimpinan kita masih ada pada taraf wacana, bukan pada tahap aksi; padahal untuk bisa pada tahap aksi, itu berarti harus mempu mendesain sistem, paham akan adat, tahu atas hukum dan UU. Pada kenyataannya, tahun berlalu, pimpinan berganti, kita hanya berubah dari wacana yang satu ke wacana yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H