Oleh harmen batubara
Indonesia sebagai leader Asean 2011, dan bagi kita yang sangat konsern dengan nasib para TKI atau para buruh migrant, maka dalam pidato Presiden SBY saat penutupan KTT Asean-18, terlihat secara jelas akan keengganan pemerintah mengakui kontribusi buruh migran Indonesia. Bukannya memperjuangkan perlindungan buruh migran Indonesia dalam ASEAN Summit, Presiden SBY justru ikut serta menstigma buruh migran sebagai sumber masalah politik, sosial, dan keamanan di ASEAN. Sesuatu yang sangat “mengecewakan”. Hingga ASEAN Summit ditutup pada 8 Mei 2011 tidak ada rekomendasi konkret untuk mengupayakan perlindungan hak-hak buruh migran ini di ASEAN. Para TKI itu sama sekali tidak mendapatkan perhatian apa-apa.
Menurut wahyu susilo (Analis Kebijakan Migrant Care dan Program Manager INFID), pada suatu masa dahulu, harapan sempat muncul ketika ASEAN berhasil merumuskan ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers. Deklarasi ditandatangani oleh 10 kepala negara dalam KTT ASEAN di Cebu, Filipina, Januari 2007. Dokumen ini—yang lahir lebih dahulu dari ASEAN Charter (Piagam ASEAN)—memandatkan adanya instrumen yang lebih operasional bagi perlindungan buruh migran yang bekerja di kawasan ASEAN.
Namun, hingga tahun keempat setelah dokumen dilahirkan, tak pernah ada kemajuan berarti dari proses pembahasan instrumen buruh migran ASEAN yang dilakukan oleh ASEAN Committee on Migrant Workers. Dalam setiap putaran pembahasan, negara-negara penerima (khususnya Malaysia dan Singapura) menyabotase mandat deklarasi dan selalu menghambat langkah yang lebih maju. Dalam konteks ASEAN, kita bisa mempertanyakan, apakah Malaysia, Singapura, dan Brunei akan tetap stabil sebagai negara dengan tingkat kemakmuran tinggi dan indeks pembangunan manusia tinggi tanpa kehadiran buruh migran?Intinya adalah secara nyata, buruh migrant sesungguhnya telah memberikan kontribusi yang patut untuk di apresiasi.
Dalam Human Development Report 2009 berjudul Overcoming Barriers: Human Mobility and Development disajikan data bahwa buruh migran telah memperlihatkan pengorbanan dalam peningkatan kualitas hidup pembangunan manusia, baik di negara asal maupun negara tempat bekerja. Namun, ini belum diimbangi dengan kualitas perlindungan terhadap buruh migran.
Namun sangat disayangkan hingga pidato penutupan KTT Asean-18 itu di ucapkan, sangat disayangkan bahwa pidato Presiden SBY sebagai Ketua Asean 2011, sama sekali tidak menyinggung kontribusi buruh migran yang memiliki efek ganda: memakmurkan negara asal maupun negara tujuan. Sekali lagi, terlihat bahwa tudingan terhadap ASEAN hanya merupakan wadah organisasi regional tempat berkumpul para elite negara ASEAN yang sepenuhnya dibiayai oleh uang rakyat. Namun Kebijakan ASEAN cenderung elitis dan bersifat wacana tanpa implementasi konkret. Kenyataannya memang demikian. Mereka seolah hanya memakai dana negara atau rakyatnya untuk sekedar kongkow-kongkow di berbagai hotel bintang lima di negara-negara Asean, bayangkan bisa mencapai 600 kali pertemuan dalam satu tahun. Untuk suatu manfaat yang tidak bisa dirasakan secara nyata di lapangan, padahal Asean itu sudah berdiri 40 tahun yang lalu.
Tingkat remitansi
Survei sosial ekonomi Komisi Sosial Ekonomi PBB untuk Sosial Ekonomi Asia Pasifik (UNESCAP) yang terbit 5 Mei 2011 juga memperlihatkan peningkatan luar biasa dari remitansi buruh migran di negara-negara kawasan Asia Tenggara. Penerimaan remitansi buruh migran Indonesia, Filipina, dan Kamboja cenderung meningkat melebihi penerimaan bantuan luar negeri melalui skema Official Development Assistance (ODA). Bahkan, penerimaan remitansi buruh migran Indonesia dan Filipina juga lebih besar dibandingkan keuntungan bersih yang diperoleh negara dari investasi asing (PMA).
Meskipun kontribusi remitansi buruh migran lebih besar dibandingkan dengan bantuan luar negeri dan investasi asing, negara masih abai terhadap kerentanan dan risiko yang dialami oleh buruh migran. Sebaliknya negara lebih ramah dan fasilitatif terhadap donor dan investasi asing. Tetapi yang dilihat Pimpinan Asean-2011 justeru sisi gelapnya, hal itu terlihat dari pidato SBY tersebut."Dan tidak dapat kita mungkiri, masih terjadi migrasi penduduk dalam jumlah yang besar, tidak teratur, dan tidak legal sehingga menyebabkan berbagai masalah politik, sosial, dan keamanan tidak hanya di negara tujuan ('countries of destination'), tetapi juga di negara yang mereka lalui ('transit countries')." Pidato pembukaan SBY pada saat pembukaan KTT ke -18 itu sungguh sungguh suatu ironi.Kontibusi nyata para buruh migrant itu, justeru dilihat dari sisi kekurangannya, bukan demi perbaikan tetapi justeru untuk mendiskreditkan realita atau fakta itu sendiri.
Sehingga menurut Susilo Wahyu dengan mencermati pidato Presiden dan kemudian mengaitkannya dengan persoalan buruh migran, tampaklah bahwa persoalan migrasi di kawasan Asia Tenggara masih lebih banyak dilihat sebagai ancaman politik kawasan daripada sebagai penggerak ekonomi regional kawasan. Pidato mencerminkan cara pandang negara dan tentunya ASEAN (sebagai institusi regional Asia Tenggara) terhadap realitas migrasi dan kaum buruh migran di kawasan ASEAN. Situasi ini semakin menjauhkan harapan masyarakat sipil terhadap ASEAN sebagai institusi yang mampu menyediakan instrumen regional untuk melindungi buruh migran di Asia Tenggara.
Sementara di china negara yang selama ini paling buruk memperlakukan para buruhnya justeru sudah mulai berubah. Dalam perayaan Hari Buruh 1 Mei 2010, Presiden Hu Jintao-merayakannya dengan menganugerahi penghargaan bagi ”buruh teladan”. Sejumlah 2.115 buruh teladan mendapat anugerah dari Hu. Dia menyatakan bahwa para buruh telah ”memberikan kontribusi sangat jelas dalam mendorong kemajuan sosial dan ekonomi bangsa”. Parade buruh teladan yang diadakan pada 1 Mei dihadiri oleh semua pemimpin tertinggi Partai Komunis China.
Beberapa minggu sebelumnya di bulan April, Hu Jintao menyatakan, kenaikan upah buruh tidak boleh ditunda-tunda. Hu rupanya merespons para demonstran yang menuntut kenaikan upah. Koran Rakyat (17 Juni 2010), corong resmi pemerintah, memuat perintah PM Wen Jiabao agar upah buruh dinaikkan.
Maka, pabrik-pabrik, terutama milik investor asing, menaikkan upah buruh sampai ke tingkat 30 persen. Foxconn dan Honda yang dilanda demonstran paling besar menaikkan upah buruhnya 24-30 persen. Pengusaha-pengusaha mengeluhkan perkembangan baru ini, tetapi mereka dihadapkan pada pilihan risiko yang sulit antara menaikkan ekspor atau dilanda demonstran dan kerusuhan. Pemerintah China tak melarang demonstrasi para buruh.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pemerintahan Hu Jintao dan Wen Jiabao memang memperlihatkan ciri kebijakan yang berbeda dari pendahulunya. Jiang Zemin dan Zhu Rongji jelas- jelas cenderung kepada kebijakan yang bersifat neoliberal, yang berdasar race to the bottom. Hu maupun Wen mau membalikkan keadaan ini, terutama karena mereka berpegang pada visi tentang ”masyarakat yang harmonis” (hexie shehui). Kesenjangan sosial yang makin lebar antara yang kaya dan yang miskin, antara desa dan perkotaan, mereka sadari benar dapat mengancam stabilitas politik maupun ekonomi.( I Wibowo Ketua Centre for Chinese Studies-FIB, UI)
Memberi pengakuan
Menurut Wahyu Susilo lagi, Konstruksi pemikiran yang sesat yang sampai kini terus dibangun oleh pemerintah Indonesia adalah dengan menyebut PRT migran sebagai pekerja tak berketerampilan (unskilled) dan informal. Dikotomi skilled dan unskilled dikritik kalangan feminis sebagai bentuk diskriminasi pekerjaan yang mempunyai implikasi pada pengupahan. Sementara konsep informal tak beda jauh sebenarnya dengan konsep tak resmi (ilegal). Ini merupakan bentuk penghindaran negara dalam memenuhi hak-hak normatifnya. Dalam demografi angkatan kerja, mayoritas pekerja yang dikonstruksikan sebagai unskilled dan informal itu adalah perempuan.
Di negara-negara yang memberikan pengakuan kesetaraan pada pekerja rumah tangga (baik dalam UU Perburuhan maupun UU Perlindungan PRT), tak ada lagi penyebutan diskriminatif terhadap pekerja rumah tangga sebagai pekerja unskilled dan informal. Dalam berbagai kesempatan, para pejabat negara selalu menyatakan bahwa Indonesia bertekad untuk mengurangi penempatan buruh migran yang unskilled dan nonformal dan berupaya meningkatkan penempatan buruh migran skilled di sektor formal untuk meningkatkan penerimaan remitansi. Pernyataan ini jelas merupakan ancaman terhadap pemenuhan hak kaum perempuan Indonesia untuk bekerja.
Ironisnya (atau lebih tepat kurang ajarnya), selama lebih kurang 40 tahun Pemerintah Indonesia menikmati remitansi jerih keringat PRT migran Indonesia yang merupakan wajah utama buruh migran Indonesia. Kebijakan resmi pertama Pemerintah Indonesia dalam penempatan buruh migran adalah pengiriman PRT migran ke Arab Saudi pada dekade 1970-an. Kebijakan ini memanfaatkan keresahan Pemerintah Arab Saudi dalam menghadapi PRT migran asal Filipina yang menuntut kondisi kerja dan upah layak.
Kondisi ini dijadikan peluang oleh Pemerintah Indonesia untuk menawarkan ”keunggulan komparatif” PRT migran Indonesia. Keunggulan komparatif itu adalah: bersedia dibayar murah dan penurut. Dengan modal keunggulan komparatif itulah sampai sekarang Indonesia mendominasi pasar tenaga kerja sektor PRT migran di kawasan Timur Tengah dan Asia Pasifik. Realitas ini memperlihatkan bahwa Pemerintah Indonesia sendiri menginginkan agar PRT migran Indonesia ”tetap layak jual” sehingga tak perlu memperjuangkan adanya standar upah yang layak serta tuntutan pemenuhan hak-hak normatif sebagai pekerja.
Sebagai Ketua Asean, sudah saatnya Pemerintah Indonesia mengakhiri “pikiran sesatnya” dan mau mengahiri eksploitasi terhadap PRT migran Indonesia sebagai komoditas yang memiliki keunggulan komparatif serta berhenti mendiskriminasi mereka sebagai pekerja unskilled dan informal. Pemenuhan hak-hak PRT migran harus dimulai dengan memberikan pengakuan bahwa pekerja rumah tangga (bukan pembantu rumah tangga) adalah pekerja yang dilindungi oleh hukum perburuhan.
Dengan adanya pengakuan tersebut, negara memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas kerja pekerja rumah tangga, menjamin upah yang layak, serta memiliki hak untuk berserikat. Dalam hal penempatan PRT migran keluar negeri, negara dituntut untuk memaksimalkan diplomasi perlindungan dan memastikan PRT migran bekerja di tempat yang aman.
Pada bulan Juni 2011, Organisasi Buruh Internasional (ILO) akan menyelenggarakan International Labour Conference dengan agenda utama penetapan Konvensi ILO tentang Pekerja Rumah Tangga. Konvensi ini menjadi penegas bahwa pekerja rumah tangga adalah profesi yang diakui dalam hukum perburuhan dan setara dengan profesi-profesi yang lain.
Untuk mengakhiri sesat pikir soal PRT migran yang selama ini melegitimasi eksploitasi dan diskriminasi PRT migran, Indonesia mutlak harus meratifikasi Konvensi ILO tentang Pekerja Rumah Tangga dan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Sebagai ketua Asean sangatlah tepat kalau Indonesia ikut memasyarakatkan agar Asean ikut meratifikasinya bersama-sama.
Cita-cita membangun Komunitas ASEAN tahun 2015 dengan prinsip Satu Visi, Satu Identitas, dan Satu Komunitas. Prinsip ini mensyaratkan adanya ownership (rasa memiliki) dan inklusivitas (pelibatan seluruh elemen komunitas) yang mustahil terwujud jika tidak ada pengakuan terhadap berbagai kontribusi yang diberikan oleh berbagai kalangan di dalamnya, dan salah satu kontribusi yang paling fenomenal itu adalah kontribusi buruh migran di ASEAN. Tetapi nampaknya hal pengakuan terhadap kontribusi buruh migrant di Asean itu masih jauh dari harapan dan kalau Indonesia sebagai Ketua Asean 2011 tidak peduli tentang isu ini. Memang hal itu sudah sangat keterlaluan serta sangat menyakiti perasaan warganya sendiri, terutama para keluarga besar kaum buruh migrant para TKIIndonesi yang sebenarnya adalah pahlawan Devisa bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI