Perlu Kerja Sama Lebih Lanjut
Indonesia dan Australia telah mempunyai MOU tentang “Memorandum of Understanding between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding the Operations of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of the Australia Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf” pada tanggal 7 November 1974. Dengan demikian, MOU 1974 ini dapat dijadikan sebagai landasan hukum bagi nelayan tradisional Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di beberapa zona perikanan eksklusif Australia beserta landas kontinennya. Adapun zona perikanan yang diperjanjikan kedua negara ini adalah meliputi, Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet. Artinya, di wilayah ini, Pemerintah Australia tidak akan menerapkan peraturan perikanananya kepada nelayan tradisional Indonesia.
Berdasarkan MOU 1974 tersebut, Australia mengakui nelayan tradisional Indonesia untuk menangkap ikan di beberapa wilayah perairannya, karena selama beberapa dekade, mereka telah melakukannya di sekitar perairan Australia secara tradisi tanpa mendapatkan hambatan atau larangan. Dengan demikian, hak perikanan tradisional di zona perikanan Australia merupakan satu-satunya hak perikanan tradisional yang diakui secara resmi.
Persoalan baru muncul setelah pemerintah Australia mengeluarkan UU Cagar Alam Australia (National Park and Wildlife Conservation), 16 Agustus 1984. UU ini menjadi larangan sepihak dan menuntut adanya amandemen terhadap MoU 1974. Pada tahun 1986 pemerintah Australia mengusulkan amandemen terhadap MOU 1974. Inti usulan amandemen tersebut antara lain :
- larangan nelayan-nelayan Indonesia untuk mendarat di Ashmore Reef;
- larangan mencari ikan dan organisme laut yang menetap di Ashmore Reef;
- sebagai gantinya pemerintah Australia mengusulkan tempat yang lebih luas di wilayah perairan Australia.
Sebagai negara tetangga, usulan itu sebenarnya dapat di kompromikan atau bahkan di tolak bilamana perlu. Pengaturan terkait perberlakuan akibat batas laut suatu negara harus selalu dilakukan dengan kesepakatan negara-negara bertetangga. Pengaturan tentang penentuan suatu wilayah berbatasan, baik di laut dan darat mewajibkan adanya suatu kesepakatan Negara-negara tetangga seperti yang ditegaskan dalam UNCLOS 1982, yaitu “penentuan batas wilayah laut suatu Negara harus dilakukan dengan suatu kesepakatan bilateral yaitu dengan melibatkan Negara Negara tetangga (neighboring countries).
Traditional fishing rights antara Indonesia-Australia sebenarnya mempunyai legalitas yang kuat dan hal ini mendapatkan pengakuan pada Bab IV Konvensi PBB tentang Hukum Laut UNCLOS 1982. Sangat di sayangkan, kedua Negara khususnya Indonesia kurang sungguh-sungguh dan belum pernah mendesak kesepakatan bersama tentang apa sebenarnya yang disebutkan dengan “nelayan tradisional” termasuk dengan perangkat penangkap ikan yang mereka pakai baik itu terkait kapalnya ataupun soal perorangan atau perusahaan.
Pengaturan Hak Penangkapan Ikan Tradisional
Sebelum Pemerintah Australia mengeluarkan UU Cagar Alam Australia (National Park and Wildlife Conservation), 16 Agustus 1984. Dalam pandangan penulis, dan melihat sejarah persahabatan antara Indonesia dan Australia saya cenderung mengatakan Australia itu sering melecehkan atau meng”under estimated Indonesia. Banyak hal alasan untuk dikemukakan untuk itu. Mulai dari pelanggaran perbatasan laut yang mereka lakukan; penyedapan hanphone para pejabat Indonesia; protes mereka atas ketidak mampuan “menjaring” kapal pencari suaka yang ahirnya banyak yang lolos ke Australia; cara mereka menyogok nakhoda kapal pencari suaka untuk mengembalikan para pengungsi yang mereka bawa kembali ke perairan Indonesia; dll masih banyak lagi.
Australia terlihat secara berkelanjutan memang mempunyai kebijakan khusus dan agresif dalam upaya melindungi hak berdaulatnya meski hal itu bertentangan dengan UU Internasional. Hal ini terlihat dari polanya. Nelayan Indonesia yang ditangkap di perairan Australia umumnya langsung ditahan di Darwin biasanya 1-2 minggu untuk diinterogasi dan proses lainnya. Dalam berbagai kasus, hampir semua nelayan ditetapkan bersalah dan langsung diterbangkan kembali ke Indonesia, sementara perahu, peralatan, dan sebagainya dibakar atau dimusnahkan. Para nelayan tersebut, secara sepihak malah dikategorikan sebagai 'trans-organized crime' yang termasuk pencari suaka, pelanggar imigrasi, bahkan sebagai penyelundup. Australia, menerapkan kebijakan Rapid Repatriation (RR) dan AMIS yang menurut saya cenderung bersifat diskriminatif khususnya bagi nelayan tradisional Indonesia, dan tidak dituangkan dalam perangkat perundang-undangan Australia secara memadai.
Kebijakan yang agresif ini, sebenarnya lebih menyerupai semangat melecehkan, dan ini bukanlah hal baru bagi Australia. Berbagai kebijakan dari tahun ke tahun telah terbukti mempersempit akses ke lokasi penangkapan ikan bagi nelayan tradisional Indonesia. Misalnya, perluasan kawasan Australian Fishing Zone (AFZ) dari 3 menjadi 12 mil tahun 1968 menjadikan wilayah tangkapan nelayan berkurang. Melalui kesepakatan MoU tahun 1974, penangkapan ikan hanya diperbolehkan pada wilayah 12 mil wilayah tertentu yang diklaim Australia di Laut Timor. Selanjutnya tahun 1979, dengan meluasnya kawasan AFZ dari 12 mil menjadi 200 mil, hak nelayan Indonesia semakin terbatas.
Membela Kepentingan Nasional Bersama