Oleh harmen batubara
Di perairan Natuna Indonesia bentrok dan mengusir “Nelayan Tradisional Tiongkok”. Sebab dalam bahasa perbatasan, Tiongkok bukanlah negara yang berbatasan dengan Indonesia. Klaim Tiongkok dengan alasan sebagai tradisional fishing groundnya dengan dasar “Nine Dash Line”, juga tidak terdapat dalam ketentuan “perbatasan” yang mengacu pada UNCLOS1982. Jadi menurut hemat kita. Indonesia sangat wajar bertindak seperti itu. Kalau mau kerja sama tentu ada saja caranya. Tetapi ini soal kisah dan cara Australia mengusir dan membakar kapal-kapal nelayan tradisional Indonesia; negara tetangga kita sendiri. Australia jelas-jelas tidak lagi menagkui HPT nelayan Indonesia di sekitar pulau-pulau Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet meski sebelumnya mereka akui. Pemerintah Australia, sejak awal mengakui adanya HPT tersebut. Tapi karena Indonesia kurang “ serius melobi” lama kelamaan hpt itu malah jadi malapetakan bagi para nelayan kita di sana.
Sesuai hukum laut Internasional. Hak Penangkapan Ikan Secara Tradisional (Traditional Fishing Right), yaitu hak yang diberikan kepada nelayan-nelayan tradisonal negara tetangga untuk menangkap ikan secara tradisional di Perairan Kepulauan tertentu berdasarkan perjanjian bilateral. Mengenai hal ini sudah diatur berdasarkan perjanjian bilateral sesuai ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut dan ketentuan Hukum Laut Internasional (HLI).
Perairan antara Indonesia dengan Australia meliputi wilayah yang sangat luas, terbentang lebih kurang 2.100 mil laut dari selat Torres sampai perairan P.Chrismas. Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia dengan Australia yang telah ditentukan dan disepakati, menjadi sesuatu yang menarik untuk dipelajari perkembangannya, karena perjanjian tersebut dilaksanakan baik sebelum berlakunya UNCLOS ’82 (menggunakan Konvensi Genewa 1958) maupun sesudahnya.
• Perjanjian yang telah ditetapkan juga menarik karena adanya negara Timor Leste yang telah merdeka sehingga ada perjanjian (Timor Gap Treaty) yang menjadi batal dan batas-batas laut yang ada harus dirundingkan kembali secara trilateral antara RI – Timor Leste – Australia.
• Secara Garis besar perjanjian batas maritim Indonesia – Australia dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :
• Perjanjian perbatasan pada tanggal 18 Mei 1971 mengenai Batas Landas Kontinen di wilayah perairan selatan Papua dan Laut Arafura.
• Perjanjian perbatasan pada tanggal 9 Oktober 1972 mengenai Batas Landas Kontinen di wilayah Laut Timor dan Laut Arafura.
• Perjanjian perbatasan maritim pada tanggal 14 Maret 1997 yang meliputi ZEE dan Batas Landas Kontinen Indonesia Australia dari perairan selatan P.Jawa termasuk perbatasan maritim di P.Ashmore dan P.Chrismas.
Pada tanggal 9 September 1989 telah disetujui pembagian Timor Gap yang dibagi menjadi 3 area (A,B dan C) dalam suatu Zone yang disebut ”Zone Of Cooperation”. Perjanjian Timor Gab ini berlaku efektif mulai tanggal 9 Februari 1991, perjanjian ini juga tidak membatalkan perjanjian yang sudah ada sebelumnya, namun dengan merdekanya Timor Leste maka perjanjian ini secara otomatis menjadi batal.
Catatan saya terkait Masalah Batas Laut RI-Australia sesuai dengan apa yang dimuat oleh harian Kompas (6/7/2011). Kompas menuliskannya sebagai berikut: Tata batas Laut Timor dan Laut Australia masih membingungkan nelayan di sepanjang pesisir selatan Nusa Tenggara Timur. Banyak nelayan ditangkap dan ditahan Australia karena dianggap melanggar batas wilayah perairan itu. Akan tetapi, menurut nelayan, mereka berada di perairan Indonesia saat ditangkap. Status hukum batas laut antara Indonesia dan Australia belum diratifikasi. Tahun 1997, kedua negara melakukan perjanjian mengenai batas wilayah laut, tetapi sampai hari ini perjanjian itu belum diratifikasi atau disahkan.